BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Al-Qur’an adalah sebuah undang-undang bagi agama
Islam, yang diyakini oleh orang muslim akan keaslian dari Sang Ilahi, tanpa ada
campur tangan manusia dalam merubah atau menggati lafadz serta maknanya.
Ibarat pengemudi yang akan mengantarkan penumpangnya
ke jalan lurus selamat dan sukses di dunia maupun di akhirat, ia tidak akan
membawa penumpangnya menjadi tersesat dijalan, ataupun menjadi bingung dengan
jalan yang banyak bahkan murtad, namun ia akan menjadikan penumpangnya
merasakan ketenangan, mendapat petunjuk dan mengantar ketujuan penumpang dengan
selamat. Akan tetapi, terkadang juga ada penumpang yang masih mempunyai
keraguan dalam hatinya, terhadap jalur arah dan tujuan yang ditempuh si
pengemudi ini, dia masih melihat kanan-kiri jalan, apakah jalannya sudah lurus
apa tidak ?.
Tidak sedikit dari kalangan orang Islam sendiri yang
masih teromabang-ambingkan dalam laut keyakinan, yang bisa juga, menjadikan
orang Islam itu sendiri tenggelam dalam jurang kesesatan, padahal sudah jelas
kita sudah mempunyai peta dan petunjuk untuk menempuh lautan dunia.
Fonemana yang sering terjadi ditengah-tengah
perjalanan kehidupan kita, terkadang juga kita masih merasakan lemah dan
tipisnya pengetahuan tentang agama Islam, apalagi dikhalayak masyarakat yang
sangat sensitif sekali dengan masalah keyakinan, karena keyakinan agama mereka
terbentuk berdasarkan budaya disekitar yang masih berpontensi besar bergoyang
dan bergesar kekiri atau jatuh kebawah. Hal itu semua, tidak lain disebabkan
oleh kedangkalan dan buramnya Ilmu pengetahuan tentang agama Islam, baik dari
segi isi kandungan al-Qur’an, maupun tentang sejarah pembukuan al-Qur’an.
Dewasa ini para orientalis sudah menyoroti dan
memantau setiap aksi atau activitas yang dilakukan orang Islam, mereka sedang
mencari cela-cela kelemahan dan kebodohan orang Islam dalam beragama, mereka
hendak meruntuhkan ajaran Islam dan keyakinan melalui cela kebodohan itu.
Dikalangan orientalis berusaha menepis sejarah
punulisan al-Qur’an, kendati melihat rentang masa lima belas tahun setelah
wafatnya Rasulullah Saw. dengan didistribusikan naskah al-Qur’an ke pelbagai
wilayah dunia Islam, banyak mereka memaksakan pendapat tentang kemungkinan
terjadinya kesalah yang menyeruak ke dalam teks al- Qur’an dimasa itu.2
Maka dari sinilah pentingnya kita mempelajari historis
kodifikasi al-Qur’an pada masa Rasulullah hingga masa Ustman, serta mencari
argument-argument yang tidak diragukan lagi kebenaranya untuk menjawab dan
mematahkan pendapat para orientalis terhadap al- Qur’an, dan segera menutupi
cela jalan bagi orang orientalis yang hendak mendistorsikan permasalah yang
benar.
Dalam bahasan ini penulis mencoba menyoroti permasalah
yang diilustrasikan di atas yaitu
tentang kodifikasi al-Qur’an dari
masa Nabi Muhammad SAW, masa Abu Bakar dan masa Ustman bin ‘Afan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, Kami
merumuskan beberapa masalah yaitu sebagai berikut:
1.
Apa pengertian Kodifikasi Al-Qur’an?
2.
Bagaimana Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad
SAW?
3.
Bagaimana Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Kholifah Abu
Bakar?
4.
Bagaimana Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Kholifah Ustman bin ‘Afan?
1.3 Tujuan Penulisan
Mengacu pada rumusan masalah, maka ada beberapa
tujuan penulisan makalah ini, yaitu untuk:
1.
Mengetahui pengertian Kodifikasi Al-Qur’an
2.
Memahami Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad
SAW
3.
Memahami Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Kholifah Abu
Bakar
4.
Memahami Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Kholifah Ustman bin ‘Afan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kodifikasi
Al-Qur’an
Kata jama’a atau dalam bahasa populer adalah
kodifikasi. Dalam bahasa Arab kata jama’a dari segi bahasa mempunyai arti
menyusun yang terpisah atau yang tak beraturan. Yaitu mengumpulkan sesuatu
dengan mendekatkan bagian satu dengan bagian yang lain[1].
Dalam Ilmu al-Qur’an, kata jama’a mempunyai dua arti
yang nantinya dari makna itu akan melahirkan ma’lumat-ma’lumat yang luas. Yang
pertama jama’a mempunyai ma’na yaitu: menghafal semuanya. Dan makna yang kedua
yaitu: membukukan al-Qur’an semuanya dalam bentuk tulisan dari ayat dan surat
yang masih terpisah-pisah berkumpul menjadi satu[2].
Seperti apa yang pernah dikatakan oleh ‘Abdulaah bin
‘Amru: Aku sudah mengumpulkan Al-Qur’an setiap malam hari, maksudnya saya sudah
menghafalkan al-Qur’an. Dan selanjutnya yang telah dikatakan Abu Bakar kepada
Zaid bin Tsabit ; “Ikutilah al-Qur’an lalu kumpulkanlah, maksudnya tulis
al-Qur’an itu semuanya”.
Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dari langit oleh
Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril as. Sejarah
penurunannya selama 23 tahun secara berangsur-angsur telah memberi kesan yang
sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia. Di dalamnya terkandung pelbagai
ilmu, hikmah dan pengajaran yang tersurat maupun tersirat.
Sebagai umat Islam, kita haruslah berpegang kepada Al-Quran
dengan membaca, memahami dan mengamalkan serta menyebarluas ajarannya. Bagi
mereka yang mencintai dan mendalaminya akan mengambil iktibar serta pengajaran,
lalu menjadikannya sebagai panduan dalam meniti kehidupan dunia menuju akhirat
yang kekal abadi.
Mushaf Al Quran yang ada di tangan kita
sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama
kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang
sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas keotentikan Al
Quran langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ
“Sesungguhnya
Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar
memeliharanya” (QS. Al-Hijr: 9)
[793] Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian
dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.
2.2 Kodifikasi Al-Qur’an pada
masa Rosulullah SAW.
Pengumpulan Al Quran pada
zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
1.
Pengumpulan Al-Qur’an dalam
konteks Hafalan (Al
Jam'u Fis Sudur)
Rosulullah SAW sangat menyukai
wahyu, ia senantiasa menunggu kedatangan wahyu dengan rasa rindu, lalu
menghafal dan memehaminya, persis seperti dijanjiakan Allah;
¨bÎ) $uZøn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ
“Sesungguhnya
atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai)
membacanya”.
Oleh sebab itu, ia adalah hafidz (penghafal) Al-Qur’an pertama dan
merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai
bentuk kepada sumber aama dan risalah Islam[3].
Al-Qur’an diturunkkan selama 20
tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun hanya satu ayat dan
terkadang turun sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal
dalam dada dan diletakkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrati memeng
memiliki daya haal yang kuat. Sebab pada umumnya mereka buta huruf, sehingga
dalam penulisan berita-berita, syair-syair dan silsilah mereka dilakukan dengan
catatan di hati mereka
Al-Bukhori mengemukakan tujuh
penghafal Al-Qur’an dengan tiga riwayatnya, sebagai berikut:
- Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, ia berkata: Aku
mendengar Rosulullah SAW bersabda, “Ambillah
Al-Qur’an dari empat sahabatku; Abdullah bin MAs’ud, Mu’adz dan Ubay bin
Ka’ab”.[4]
- Diriwayatkan dari Qotadah, ia berakata: “Aku bertanya kepada Anas bin Malik, Siapa yang mengumpulkan Al-Qur’an
di masa Rosulullah?”. Dia menjawab: “Empat
orang, semua dari kaum Anshor, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit
dan Abu Zaid”. Aku bertanya lagi: “Abu
ZAid itu siapa?”. Dia menjawab: “Salah
seorang pamanku”.[5]
- Diriwayatkan melalui Tsabit dari Anas: “Rosulullah SAW wafat sedang Al-Qur’an belum dihafal kecuali oleh empat
orang: Abu Darda’, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid”.[6]
Setiap kali
Rasulullah SAW menerima wahyu, para sahabat langsung menghafalnya. Hal ini bisa
dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab
yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair
atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan
daya hafalannya.
2.
Pengumpulan Al-Qur’an dalam
konteks Penulisannya (Al Jam'u Fis Suthur)
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau
berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus
menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW
setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat
secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para
sahabat untuk menulis hadits-hadits beliau karena khawatir akan bercampur
dengan Al Quran.
Rasul SAW bersabda: “Janganlah
kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al Quran, barangsiapa yang menulis
sesuatu dariku selain Al Quran maka hendaklah ia menghapusnya” (Hadis
dikeluarkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud hal 8) dan Ahmad (hal 1).
Biasanya sahabat menuliskan Al Quran pada media yang
terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa' (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan
batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu (pelepah kurma). Sedangkan jumlah
sahabat yang menulis Al Quran waktu itu mencapai 40 orang.
Adapun hadits yang menguatkan bahwa penulisan Al Quran
telah terjadi pada masa Rasulullah SAW. adalah hadis yang di Takhrij
(dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia
berkata: "Suatu saat kita bersama
Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Al Quran (mengumpulkan) pada kulit binatang
".
Tulisan-tulisan Al-Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul
dalam satu mushaf. Biasanya yang ada di tangan seorang sahabat, belum tentu
dimiliki sahabat yang lain.[7]
Al-Qur’an belum terkumpul dalam satu mushaf menyeluruh
(lengkap), sebab Nabi masih menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Di
samping itu juga terdapat ayat yang menasakh ayat yang turun sebelumnya.
Andaikan Al-Qur’an itu terkumpul dalam satu mushaf, tentu akan membawa
perubahan setiap kali ayat turun.
Az-Zarkasyi berkata: “Al-Qur’an tidak dituliskan dalam satu
mushaf pada zaman Nabi agar tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu,
penulisannya dilakukan kemudian sesudah Al-Qoran turun semua, yaitu dengan
wafatnya Rosulullah”.[8]
Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah
terjadi penulisan Al-Quran pada waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang
membawa tulisan Al Quran ke wilayah musuh. Rasulullah SAW. bersabda:
"Janganlah kalian membawa catatan Al Quran kewilayah musuh, karena aku
merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan Al Quran tersebut jatuh ke tangan
mereka".
2.3 Kodifikasi Al-Qur’an pada
masa Abu Bakar As Shiddiq ra.
Abu Bakar menjalankan urusan Islam sesudah Rosulullah. Ia
dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan
sebagian orang Arab.karena itu Ia menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk
memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi
padatahun ke-12 H. melibatkan sejumlah sahabat yang hafal Al-Quar’an. Dalam
peperangan ini 70 Qori’ dari para sahabat gugur. Umar bin Khattab merasa sangat
kawatirmelihat kenyataan ini, lalu Ia menghadap Abu Bakar an engajukan usulan
kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an karna dikawatirkan akan
musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak menggugurkan para Qori’.[9]
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang
melatarbelakangi pengumpulan naskah-naskah Al Quran yang terjadi pada masa Abu
Bakar yaitu Atsar yang diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi:
"Suatu ketika Abu bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban pada
perang Yamamah , ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :" Umar
menghadap kapadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah
sangat banyak khususnya dari kalangan para penghafal Al Quran, aku khawatir
kejadian serupa akan menimpa para penghafal Al Quran di beberapa tempat
sehingga suatu saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Al Quran, menurutku
sudah saatnya engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpul-kan Al Quran,
lalu aku berkata kepada Umar : " bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu
yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW ?" Umar menjawab:
"Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan". Umar selalu saja mendesakku
untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka aku setuju dengan
usul umar untuk mengumpulkan Al-Quran.[10]
Zaid berkata: Abu bakar berkata kepadaku : "Engkau adalah
seorang pemuda yang cerdas dan pintar, kami tidak meragukan hal itu, dulu
engkau menulis wahyu (Al-Quran) untuk Rasulullah SAW, maka sekarang periksa dan
telitilah Al Quran lalu kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf". Zaid berkata
: "Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah
satu gunung tidak akan lebih berat dariku dan pada memerintahkan aku untuk
mengumpulkan Al Qur’an. Abu Bakar berkata: “Demi Allah ini baik”. Kemudian Abu
Bakar terus mendesakku,hingga Allah melapangkan hatiku sebagaimana melapangkan
hati Abu Bakar dan Umar. Kemudian aku teliti Al Quran dan mengumpulkannya dari
pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain. Aku
mendapatkan akhir surat At-Taubah pada Abu Khuzaimah Al-Anshori yang tidak aku
dapatkan pada yang lainnya, mak jadilah mushaf itu berada di tanan Abu Bakar
hingga wafat., kemudian berpindah kepada Umar, ketika masih hidup, kemidian
(setelah wafat Umar) berpindah ke tangan Hafshah binti Umar.[11]
Kemudian Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan
oleh Abu Bakar, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat
disimpan oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf
tersebut disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri Rasulullah SAW. yang
bernama Hafsah binti Umar ra.[12]
Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka
secara penuh terhadap apa yang telah dilakukan oleh Abu bakar berupa
mengumpulkan Al Quran menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para sahabat membantu
meneliti naskah-naskah Al Quran dan menulisnya kembali.
Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang
bersejarah ini dengan mengatakan : "Orang yang paling berjasa terhadap
Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang
pertama kali mengumpulkan Al Quran, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama
kali menyebut Al-Quran sebagai Mushaf).
Perintah kodifikasi
Al-Qur’an oleh Abu Bakar kepada Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang
lebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H. di bawah pengawasan Abu Bakar, Umar
dan para tokoh lainnya. Adapun Umar bin Khattab sebagai pemilik gagasan
kodifikasi Al-Qur’an, sedangkan Zaid bin Tsabit tercatat sebagai pelaksana
teknis.[13]
Menurut riwayat yang lain
orang yang pertama kali menyebut Al Quran sebagai Mushaf adalah sahabat Salim
bin Ma'qil pada tahun 12 H lewat perkataannya yaitu : "Kami menyebut di
negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Al Quran yang dikumpulkan dan di
bundel sebagai Mushaf" dari perkataan salim inilah Abu Bakar mendapat
inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Al Quran yang telah dikumpulkannya
sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan
naskah yang mulya). Dalam Al Quran sendiri kata Suhuf (naskah ; jama'nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah
satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 " Yaitu seorang Rasul
utusan Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Al Quran)"
2.4 Kodifikasi Al-Qur’an pada
masa Ustman bin Affan ra.
Pada masa pemerintahan Usman bin 'Affan terjadi perluasan
wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya
terdiri dari bangsa arab saja. Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan
negatif. Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al Quran, karena
bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi
secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang
pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al-yaman.[14]
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a bahwa suatu saat
Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah Syam
(sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu
termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas
realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Al Quran yang mengarah
kepada perselisihan. Ia berkata : "Wahai
utsman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Al Quran,
jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi
dan nasrani ".[15]
Kemudian Utsman mengutus seseorang untuk menemui Hafshah,
agar Hafshah berkenan mengirimkan mushaf yang ada padanya untuk kemudian
ditulis (disalin) kembali. Setelah naskah itu selesai maka naskah aslinya akan
dikembalikan kepada Hafshah. Maka Hafshah mengirimkan naskah aslinya kepada
Utsman, kemudian Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair,
Sa'id bin al'Ash, Abdurrahman bin al-Haris, lalu mereka menulis Mushaf yang
aslia ini dalam bentuk beberapa mushaf.[16]
Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf Al Quran ini
terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam
pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena Al Quran
diturunkan dengan gaya bahasa mereka.[17]
Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu hurf (dialeg) dari
tujuh hufr Al-Qur’an seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu
qira’at. Lalu Ia kirimkan pula ke setap wilayah masing-masing satu mushaf., dan
ditahannya satu mushaf di Madinah, yaitu mushafnya sendiri yang kemudian
dikenal denga nama “Mushaf Imam”.
Penamaan Mushaf Imam itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat
terdahulu diman Ia mengatakan “Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, dan
tulislah untuk semua orang satu Imam”.[18]
Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf Abu Bakar dikembalikan
lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan untuk membakar setiap
naskah-naskah dan manuskrip Al Quran selain Mushaf hasil salinannya yang
berjumlah 6 Mushaf. Mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar
yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk
ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam.
Telah diperselisihkan (oleh para ulama’)
tentang jumlah Mushaf yang dikirimkan oleh Utsman ke berbagai wilayah dan
negari Islam. Tetapi berdasarkan pendapat yang masyhur, ada lima mushaf.[19]
Ibnu Abi Daud mengeluarkan riwayat dari
jalan periwayatan Hamzah Az-Zayyat, ia berkata: “Utsman telah mengirimkan empat
Mushaf”. Ibnu ABi Daud juga berkata: “Aku pernah mendengar Abu Hatim
As-Sajastani berkata bahwa Utsman menulis tujuh mushaf, kemudian mengirimkan (mushaf-mushaf)
itu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan menahan satu mushaf di
Madinah”
Tindakan Usman untuk menyalin dan
menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam sehingga
ia manuai pujian dari umat Islam baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana
khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan Al Quran.
Adapun Tulisan yang dipakati oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin
Mushaf adalah berpegang pada Rasm al-Anbath tanpa harakat atau Syakl (tanda
baca) dan Nuqath (titik sebagai pembeda huruf).
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah meninjau pembahasan sebelumnya maka dapat
disimpulkan bahwa :
- Kodifikasi Al -Qur’an
adalah pengumpulan dalam arti hifzuhu( menghafalnya dalam hati ) dan pengumpulan
dalam arti kitabatuhu kullihi ( penulisan Al-Qur’an sepenuhnya ).
- Pada masa Rasulullah
SAW, ayat–ayat hanya dihafal dalam dada. Yang mula–mula
hafal dan pandai membacanya hanyalah Rasul SAW. Beliau senantiasa menunggu akan
turunnya Al-Qur’an dengan kerinduan dan hendak cepat membacanya, sehingga ia
dimantapkan Allah dalam waktu membacanya. Kemudian Banyak para sahabat Rasul SAW yang hafal Al-Qur’an
sehingga banyak diriwayatkan
dalam hadist – hadist Nabi.
- Pada masa Abu Bakar atas
motivasi adalah khawatir sirnanya
Al-Qur’an dengan syahidnya beberapa penghafal Al-Qur’an pada perang Yammah. Abu Bakar
melakukannnya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an yang terpencar pada
pelepah kurma, kulit unta, tulang dan sebagainya.
- Pada masa Utsman bin Affan atas motifasi karena terjadi banyak perselisihan
didalam cara membaca Al-Qur’an ( Qira’at ). Utsman melakukannya dengan mengumpulkan tulisan mushaf pada satu huruf agar tercipta persatuan dalam umat Islam yang sebelumnya sempat
berselisih.
- Perbedaan antara
proses kodifikasi pada masa Utsman dan Abu Bakar, bahwa tujuan pengkodifikasian
Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah menghimpun al-Qur’an secara keseluruhan
dalam satu Mushaf sehingga tidak ada satupun yang tercecer tanpa mendorong
orang-orang agar bersatu dalam satu Mushaf saja, dan hal ini dikarenakan belum
tampak implikasi yang signifikan. Sementara tujuan kodifikasi pada masa Utsman
adalah menghimpun Al-Qur’an secara keseluruhan dalam satu Mushaf namun
mendorong orang-orang agar bersatu dalam satu Mushaf.
Daftar
Pustaka
-
Anwar, Rosihon.
2004. Samudera al-Qur’an. Bandung:
Pustaka Setia
-
Dr. Fathi
Muhammad ghorib. Huquuqu Mahfudzoh li
Al-Mualif. Cetakan I
-
Imam Jalaluddin
As-Suyuthi. Al-Itqaan fi Ulum Al-Qur’an.
Cetakan I
-
Syaikh Manna’
Al-Qaththan. 2007. Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka
Al-Kautsar
-
HR. Al-Bukhori
- http://www.wordpress.com Diakses pada
tanggal 7 Oktober 2011
[1] Dr. Fathi Muhammad ghorib, huququ mahfudzoh lilmualif,
cet. I, hal 14.
[2] ibid.
[3] Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2007. Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Hal: 152
[4] HR. Al-Bukhori
[5] HR. Al-Bukhori
[6] HR. Al-Bukhori
[7] Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2007. Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Hal: 157
[8] Ibid. hal: 157-158
[9] Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2007. Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Hal: 158
[10] Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Al-Itqaan fi Ulum
Al-Qur’an. Hal: 244
[11] Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2007. Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Hal: 160
[12]
Rosihon Anwar. Samudera al-Qur’an. Hal:
97
[13] Dr. Subhi As-Shalih. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an.
Hal: 88
[14] Ibid. Hal: 90
[15] Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Al-Itqaan fi Ulum
Al-Qur’an. Hal: 250
[16] Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Al-Itqaan fi Ulum Al-Qur’an.
Hal: 250
[17] Rosihon Anwar. Samudera
al-Qur’an. Hal: 97
[18] Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2007. Pengantar Studi Ilmu
Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Hal: 166
[19] Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Al-Itqaan fi Ulum
Al-Qur’an. Hal: 253
terimakasih tulisannya sdh membantu
BalasHapusAlhamdulillah, sama-sama.
BalasHapus