Pages - Menu

Sabtu, 20 April 2013

III - Studi Qur'an - KODIFIKASI AL-QUR’AN



BAB I
PENDAHULUAN

1.1   Latar Belakang
Al-Qur’an adalah sebuah undang-undang bagi agama Islam, yang diyakini oleh orang muslim akan keaslian dari Sang Ilahi, tanpa ada campur tangan manusia dalam merubah atau menggati lafadz serta maknanya.
Ibarat pengemudi yang akan mengantarkan penumpangnya ke jalan lurus selamat dan sukses di dunia maupun di akhirat, ia tidak akan membawa penumpangnya menjadi tersesat dijalan, ataupun menjadi bingung dengan jalan yang banyak bahkan murtad, namun ia akan menjadikan penumpangnya merasakan ketenangan, mendapat petunjuk dan mengantar ketujuan penumpang dengan selamat. Akan tetapi, terkadang juga ada penumpang yang masih mempunyai keraguan dalam hatinya, terhadap jalur arah dan tujuan yang ditempuh si pengemudi ini, dia masih melihat kanan-kiri jalan, apakah jalannya sudah lurus apa tidak ?.
Tidak sedikit dari kalangan orang Islam sendiri yang masih teromabang-ambingkan dalam laut keyakinan, yang bisa juga, menjadikan orang Islam itu sendiri tenggelam dalam jurang kesesatan, padahal sudah jelas kita sudah mempunyai peta dan petunjuk untuk menempuh lautan dunia.
Fonemana yang sering terjadi ditengah-tengah perjalanan kehidupan kita, terkadang juga kita masih merasakan lemah dan tipisnya pengetahuan tentang agama Islam, apalagi dikhalayak masyarakat yang sangat sensitif sekali dengan masalah keyakinan, karena keyakinan agama mereka terbentuk berdasarkan budaya disekitar yang masih berpontensi besar bergoyang dan bergesar kekiri atau jatuh kebawah. Hal itu semua, tidak lain disebabkan oleh kedangkalan dan buramnya Ilmu pengetahuan tentang agama Islam, baik dari segi isi kandungan al-Qur’an, maupun tentang sejarah pembukuan al-Qur’an.
Dewasa ini para orientalis sudah menyoroti dan memantau setiap aksi atau activitas yang dilakukan orang Islam, mereka sedang mencari cela-cela kelemahan dan kebodohan orang Islam dalam beragama, mereka hendak meruntuhkan ajaran Islam dan keyakinan melalui cela kebodohan itu.
Dikalangan orientalis berusaha menepis sejarah punulisan al-Qur’an, kendati melihat rentang masa lima belas tahun setelah wafatnya Rasulullah Saw. dengan didistribusikan naskah al-Qur’an ke pelbagai wilayah dunia Islam, banyak mereka memaksakan pendapat tentang kemungkinan terjadinya kesalah yang menyeruak ke dalam teks al- Qur’an dimasa itu.2
Maka dari sinilah pentingnya kita mempelajari historis kodifikasi al-Qur’an pada masa Rasulullah hingga masa Ustman, serta mencari argument-argument yang tidak diragukan lagi kebenaranya untuk menjawab dan mematahkan pendapat para orientalis terhadap al- Qur’an, dan segera menutupi cela jalan bagi orang orientalis yang hendak mendistorsikan permasalah yang benar.
Dalam bahasan ini penulis mencoba menyoroti permasalah yang diilustrasikan di atas  yaitu tentang kodifikasi al-Qur’an dari masa Nabi Muhammad SAW, masa Abu Bakar dan masa Ustman bin ‘Afan.

1.2   Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi latar belakang di atas, Kami merumuskan beberapa masalah yaitu sebagai berikut:
1.      Apa pengertian Kodifikasi Al-Qur’an?
2.      Bagaimana Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW?
3.      Bagaimana Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Kholifah Abu Bakar?
4.      Bagaimana Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Kholifah Ustman bin ‘Afan?

1.3   Tujuan Penulisan
Mengacu pada rumusan masalah, maka ada beberapa tujuan penulisan makalah ini, yaitu untuk:
1.      Mengetahui pengertian Kodifikasi Al-Qur’an
2.      Memahami Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Nabi Muhammad SAW
3.      Memahami Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Kholifah Abu Bakar
4.      Memahami Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Kholifah Ustman bin ‘Afan


BAB II
PEMBAHASAN


2.1   Pengertian Kodifikasi Al-Qur’an
Kata jama’a atau dalam bahasa populer adalah kodifikasi. Dalam bahasa Arab kata jama’a dari segi bahasa mempunyai arti menyusun yang terpisah atau yang tak beraturan. Yaitu mengumpulkan sesuatu dengan mendekatkan bagian satu dengan bagian yang lain[1].
Dalam Ilmu al-Qur’an, kata jama’a mempunyai dua arti yang nantinya dari makna itu akan melahirkan ma’lumat-ma’lumat yang luas. Yang pertama jama’a mempunyai ma’na yaitu: menghafal semuanya. Dan makna yang kedua yaitu: membukukan al-Qur’an semuanya dalam bentuk tulisan dari ayat dan surat yang masih terpisah-pisah berkumpul menjadi satu[2].
Seperti apa yang pernah dikatakan oleh ‘Abdulaah bin ‘Amru: Aku sudah mengumpulkan Al-Qur’an setiap malam hari, maksudnya saya sudah menghafalkan al-Qur’an. Dan selanjutnya yang telah dikatakan Abu Bakar kepada Zaid bin Tsabit ; “Ikutilah al-Qur’an lalu kumpulkanlah, maksudnya tulis al-Qur’an itu semuanya”.
Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan dari langit oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW melalui malaikat Jibril as. Sejarah penurunannya selama 23 tahun secara berangsur-angsur telah memberi kesan yang sangat besar dalam kehidupan seluruh manusia. Di dalamnya terkandung pelbagai ilmu, hikmah dan pengajaran yang tersurat maupun tersirat.
Sebagai umat Islam, kita haruslah berpegang kepada Al-Quran dengan membaca, memahami dan mengamalkan serta menyebarluas ajarannya. Bagi mereka yang mencintai dan mendalaminya akan mengambil iktibar serta pengajaran, lalu menjadikannya sebagai panduan dalam meniti kehidupan dunia menuju akhirat yang kekal abadi.
Mushaf Al Quran yang ada di tangan kita sekarang ternyata telah melalui perjalanan panjang yang berliku-liku selama kurun waktu lebih dari 1400 tahun yang silam dan mempunyai latar belakang sejarah yang menarik untuk diketahui. Selain itu jaminan atas keotentikan Al Quran langsung diberikan oleh Allah SWT yang termaktub dalam firman-Nya
$¯RÎ) ß`øtwU $uZø9¨tR tø.Ïe%!$# $¯RÎ)ur ¼çms9 tbqÝàÏÿ»ptm: ÇÒÈ  
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan Sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya” (QS. Al-Hijr: 9)

[793] Ayat ini memberikan jaminan tentang kesucian dan kemurnian Al Quran selama-lamanya.

2.2   Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Rosulullah SAW.
Pengumpulan Al Quran pada zaman Rasulullah SAW ditempuh dengan dua cara:
1.      Pengumpulan Al-Qur’an dalam konteks Hafalan (Al Jam'u Fis Sudur)
Rosulullah SAW sangat menyukai wahyu, ia senantiasa menunggu kedatangan wahyu dengan rasa rindu, lalu menghafal dan memehaminya, persis seperti dijanjiakan Allah;
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ  
“Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya”.
Oleh sebab itu, ia adalah hafidz (penghafal) Al-Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai bentuk kepada sumber aama dan risalah Islam[3].
Al-Qur’an diturunkkan selama 20 tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun hanya satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan diletakkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrati memeng memiliki daya haal yang kuat. Sebab pada umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair dan silsilah mereka dilakukan dengan catatan di hati mereka
Al-Bukhori mengemukakan tujuh penghafal Al-Qur’an dengan tiga riwayatnya, sebagai berikut:
-    Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash, ia berkata: Aku mendengar Rosulullah SAW bersabda, “Ambillah Al-Qur’an dari empat sahabatku; Abdullah bin MAs’ud, Mu’adz dan Ubay bin Ka’ab”.[4]
-    Diriwayatkan dari Qotadah, ia berakata: “Aku bertanya kepada Anas bin Malik, Siapa yang mengumpulkan Al-Qur’an di masa Rosulullah?”. Dia menjawab: “Empat orang, semua dari kaum Anshor, Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid”. Aku bertanya lagi: “Abu ZAid itu siapa?”. Dia menjawab: “Salah seorang pamanku”.[5]
-    Diriwayatkan melalui Tsabit dari Anas: “Rosulullah SAW wafat sedang Al-Qur’an belum dihafal kecuali oleh empat orang: Abu Darda’, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit dan Abu Zaid”.[6]
Setiap kali Rasulullah SAW menerima wahyu, para sahabat langsung menghafalnya. Hal ini bisa dilakukan oleh mereka dengan mudah terkait dengan kultur (budaya) orang arab yang menjaga Turast (peninggalan nenek moyang mereka diantaranya berupa syair atau cerita) dengan media hafalan dan mereka sangat masyhur dengan kekuatan daya hafalannya.

2.      Pengumpulan Al-Qur’an dalam konteks Penulisannya (Al Jam'u Fis Suthur)
Yaitu wahyu turun kepada Rasulullah SAW ketika beliau berumur 40 tahun yaitu 12 tahun sebelum hijrah ke madinah. Kemudian wahyu terus menerus turun selama kurun waktu 23 tahun berikutnya dimana Rasulullah. SAW setiap kali turun wahyu kepadanya selalu membacakannya kepada para sahabat secara langsung dan menyuruh mereka untuk menuliskannya sembari melarang para sahabat untuk menulis hadits-hadits beliau karena khawatir akan bercampur dengan Al Quran.
Rasul SAW bersabda: “Janganlah kalian menulis sesuatu dariku kecuali Al Quran, barangsiapa yang menulis sesuatu dariku selain Al Quran maka hendaklah ia menghapusnya” (Hadis dikeluarkan oleh Muslim (pada Bab Zuhud hal 8) dan Ahmad (hal 1).
Biasanya sahabat menuliskan Al Quran pada media yang terdapat pada waktu itu berupa ar-Riqa' (kulit binatang), al-Likhaf (lempengan batu), al-Aktaf (tulang binatang), al-`Usbu (pelepah kurma). Sedangkan jumlah sahabat yang menulis Al Quran waktu itu mencapai 40 orang.
Adapun hadits yang menguatkan bahwa penulisan Al Quran telah terjadi pada masa Rasulullah SAW. adalah hadis yang di Takhrij (dikeluarkan) oleh al-Hakim dengan sanadnya yang bersambung pada Anas r.a., ia berkata: "Suatu saat kita bersama Rasulullah s.a.w. dan kita menulis Al Quran (mengumpulkan) pada kulit binatang ".
Tulisan-tulisan Al-Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu mushaf. Biasanya yang ada di tangan seorang sahabat, belum tentu dimiliki sahabat yang lain.[7]
Al-Qur’an belum terkumpul dalam satu mushaf menyeluruh (lengkap), sebab Nabi masih menanti turunnya wahyu dari waktu ke waktu. Di samping itu juga terdapat ayat yang menasakh ayat yang turun sebelumnya. Andaikan Al-Qur’an itu terkumpul dalam satu mushaf, tentu akan membawa perubahan setiap kali ayat turun.
Az-Zarkasyi berkata: “Al-Qur’an tidak dituliskan dalam satu mushaf pada zaman Nabi agar tidak berubah pada setiap waktu. Oleh sebab itu, penulisannya dilakukan kemudian sesudah Al-Qoran turun semua, yaitu dengan wafatnya Rosulullah”.[8]
Adapun hal-hal yang lain yang bisa menguatkan bahwa telah terjadi penulisan Al-Quran pada waktu itu adalah Rasulullah SAW melarang membawa tulisan Al Quran ke wilayah musuh. Rasulullah SAW. bersabda: "Janganlah kalian membawa catatan Al Quran kewilayah musuh, karena aku merasa tidak aman (khawatir) apabila catatan Al Quran tersebut jatuh ke tangan mereka".



2.3   Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Abu Bakar As Shiddiq ra.
Abu Bakar menjalankan urusan Islam sesudah Rosulullah. Ia dihadapkan dengan peristiwa-peristiwa besar berkenaan dengan kemurtadan sebagian orang Arab.karena itu Ia menyiapkan pasukan dan mengirimkannya untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi padatahun ke-12 H. melibatkan sejumlah sahabat yang hafal Al-Quar’an. Dalam peperangan ini 70 Qori’ dari para sahabat gugur. Umar bin Khattab merasa sangat kawatirmelihat kenyataan ini, lalu Ia menghadap Abu Bakar an engajukan usulan kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an karna dikawatirkan akan musnah, sebab peperangan Yamamah telah banyak menggugurkan para Qori’.[9]
Imam Bukhari meriwayatkan dalam shahihnya sebab-sebab yang melatarbelakangi pengumpulan naskah-naskah Al Quran yang terjadi pada masa Abu Bakar yaitu Atsar yang diriwatkan dari Zaid bin Tsabit r.a. yang berbunyi: "Suatu ketika Abu bakar menemuiku untuk menceritakan perihal korban pada perang Yamamah , ternyata Umar juga bersamanya. Abu Bakar berkata :" Umar menghadap kapadaku dan mengatakan bahwa korban yang gugur pada perang Yamamah sangat banyak khususnya dari kalangan para penghafal Al Quran, aku khawatir kejadian serupa akan menimpa para penghafal Al Quran di beberapa tempat sehingga suatu saat tidak akan ada lagi sahabat yang hafal Al Quran, menurutku sudah saatnya engkau wahai khalifah memerintahkan untuk mengumpul-kan Al Quran, lalu aku berkata kepada Umar : " bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW ?" Umar menjawab: "Demi Allah, ini adalah sebuah kebaikan". Umar selalu saja mendesakku untuk melakukannya sehingga Allah melapangkan hatiku, maka aku setuju dengan usul umar untuk mengumpulkan Al-Quran.[10]
Zaid berkata: Abu bakar berkata kepadaku : "Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas dan pintar, kami tidak meragukan hal itu, dulu engkau menulis wahyu (Al-Quran) untuk Rasulullah SAW, maka sekarang periksa dan telitilah Al Quran lalu kumpulkanlah menjadi sebuah mushaf". Zaid berkata : "Demi Allah, andaikata mereka memerintahkan aku untuk memindah salah satu gunung tidak akan lebih berat dariku dan pada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Al Qur’an. Abu Bakar berkata: “Demi Allah ini baik”. Kemudian Abu Bakar terus mendesakku,hingga Allah melapangkan hatiku sebagaimana melapangkan hati Abu Bakar dan Umar. Kemudian aku teliti Al Quran dan mengumpulkannya dari pelepah kurma, lempengan batu, dan hafalan para sahabat yang lain. Aku mendapatkan akhir surat At-Taubah pada Abu Khuzaimah Al-Anshori yang tidak aku dapatkan pada yang lainnya, mak jadilah mushaf itu berada di tanan Abu Bakar hingga wafat., kemudian berpindah kepada Umar, ketika masih hidup, kemidian (setelah wafat Umar) berpindah ke tangan Hafshah binti Umar.[11]
Kemudian Mushaf hasil pengumpulan Zaid tersebut disimpan oleh Abu Bakar, peristiwa tersebut terjadi pada tahun 12 H. Setelah ia wafat disimpan oleh khalifah sesudahnya yaitu Umar, setelah ia pun wafat mushaf tersebut disimpan oleh putrinya dan sekaligus istri Rasulullah SAW. yang bernama Hafsah binti Umar ra.[12]
Semua sahabat sepakat untuk memberikan dukungan mereka secara penuh terhadap apa yang telah dilakukan oleh Abu bakar berupa mengumpulkan Al Quran menjadi sebuah Mushaf. Kemudian para sahabat membantu meneliti naskah-naskah Al Quran dan menulisnya kembali.
Sahabat Ali bin Abi thalib berkomentar atas peristiwa yang bersejarah ini dengan mengatakan : "Orang yang paling berjasa terhadap Mushaf adalah Abu bakar, semoga ia mendapat rahmat Allah karena ialah yang pertama kali mengumpulkan Al Quran, selain itu juga Abu bakarlah yang pertama kali menyebut Al-Quran sebagai Mushaf).
Perintah kodifikasi Al-Qur’an oleh Abu Bakar kepada Zaid dapat diselesaikan dalam waktu kurang lebih satu tahun, yaitu pada tahun 13 H. di bawah pengawasan Abu Bakar, Umar dan para tokoh lainnya. Adapun Umar bin Khattab sebagai pemilik gagasan kodifikasi Al-Qur’an, sedangkan Zaid bin Tsabit tercatat sebagai pelaksana teknis.[13]
Menurut riwayat yang lain orang yang pertama kali menyebut Al Quran sebagai Mushaf adalah sahabat Salim bin Ma'qil pada tahun 12 H lewat perkataannya yaitu : "Kami menyebut di negara kami untuk naskah-naskah atau manuskrip Al Quran yang dikumpulkan dan di bundel sebagai Mushaf" dari perkataan salim inilah Abu Bakar mendapat inspirasi untuk menamakan naskah-naskah Al Quran yang telah dikumpulkannya sebagai al-Mushaf as Syarif (kumpulan naskah yang mulya). Dalam Al Quran sendiri kata Suhuf (naskah ; jama'nya Sahaif) tersebut 8 kali, salah satunya adalah firman Allah QS. Al Bayyinah (98):2 " Yaitu seorang Rasul utusan Allah yang membacakan beberapa lembaran suci. (Al Quran)"

2.4   Kodifikasi Al-Qur’an pada masa Ustman bin Affan ra.
Pada masa pemerintahan Usman bin 'Affan terjadi perluasan wilayah islam di luar Jazirah arab sehingga menyebabkan umat islam bukan hanya terdiri dari bangsa arab saja. Kondisi ini tentunya memiliki dampak positif dan negatif. Salah satu dampaknya adalah ketika mereka membaca Al Quran, karena bahasa asli mereka bukan bahasa arab. Fenomena ini di tangkap dan ditanggapi secara cerdas oleh salah seorang sahabat yang juga sebagai panglima perang pasukan muslim yang bernama Hudzaifah bin al-yaman.[14]
Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas r.a bahwa suatu saat Hudzaifah yang pada waktu itu memimpin pasukan muslim untuk wilayah Syam (sekarang syiria) mendapat misi untuk menaklukkan Armenia, Azerbaijan (dulu termasuk soviet) dan Iraq menghadap Usman dan menyampaikan kepadanya atas realitas yang terjadi dimana terdapat perbedaan bacaan Al Quran yang mengarah kepada perselisihan. Ia berkata : "Wahai utsman, cobalah lihat rakyatmu, mereka berselisih gara-gara bacaan Al Quran, jangan sampai mereka terus menerus berselisih sehingga menyerupai kaum yahudi dan nasrani ".[15]
Kemudian Utsman mengutus seseorang untuk menemui Hafshah, agar Hafshah berkenan mengirimkan mushaf yang ada padanya untuk kemudian ditulis (disalin) kembali. Setelah naskah itu selesai maka naskah aslinya akan dikembalikan kepada Hafshah. Maka Hafshah mengirimkan naskah aslinya kepada Utsman, kemudian Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa'id bin al'Ash, Abdurrahman bin al-Haris, lalu mereka menulis Mushaf yang aslia ini dalam bentuk beberapa mushaf.[16]
Kodifikasi dan penyalinan kembali Mushaf Al Quran ini terjadi pada tahun 25 H, Usman berpesan apabila terjadi perbedaan dalam pelafalan agar mengacu pada Logat bahasa suku Quraisy karena Al Quran diturunkan dengan gaya bahasa mereka.[17]
Mushaf-mushaf itu ditulis dengan satu hurf (dialeg) dari tujuh hufr Al-Qur’an seperti yang diturunkan agar orang bersatu dalam satu qira’at. Lalu Ia kirimkan pula ke setap wilayah masing-masing satu mushaf., dan ditahannya satu mushaf di Madinah, yaitu mushafnya sendiri yang kemudian dikenal denga nama “Mushaf Imam”. Penamaan Mushaf Imam itu sesuai dengan apa yang terdapat dalam riwayat-riwayat terdahulu diman Ia mengatakan “Bersatulah wahai sahabat-sahabat Muhammad, dan tulislah untuk semua orang satu Imam”.[18]
Setelah panitia selesai menyalin mushaf, mushaf Abu Bakar dikembalikan lagi kepada Hafsah. Selanjutnya Usman memerintahkan untuk membakar setiap naskah-naskah dan manuskrip Al Quran selain Mushaf hasil salinannya yang berjumlah 6 Mushaf. Mushaf hasil salinan tersebut dikirimkan ke kota-kota besar yaitu Kufah, Basrah, Mesir, Syam dan Yaman. Usman menyimpan satu mushaf untuk ia simpan di Madinah yang belakangan dikenal sebagai Mushaf al-Imam.
Telah diperselisihkan (oleh para ulama’) tentang jumlah Mushaf yang dikirimkan oleh Utsman ke berbagai wilayah dan negari Islam. Tetapi berdasarkan pendapat yang masyhur, ada lima mushaf.[19]
Ibnu Abi Daud mengeluarkan riwayat dari jalan periwayatan Hamzah Az-Zayyat, ia berkata: “Utsman telah mengirimkan empat Mushaf”. Ibnu ABi Daud juga berkata: “Aku pernah mendengar Abu Hatim As-Sajastani berkata bahwa Utsman menulis tujuh mushaf, kemudian mengirimkan (mushaf-mushaf) itu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan menahan satu mushaf di Madinah”  
Tindakan Usman untuk menyalin dan menyatukan Mushaf berhasil meredam perselisihan dikalangan umat islam sehingga ia manuai pujian dari umat Islam baik dari dulu sampai sekarang sebagaimana khalifah pendahulunya Abu bakar yang telah berjasa mengumpulkan Al Quran. Adapun Tulisan yang dipakati oleh panitia yang dibentuk Usman untuk menyalin Mushaf adalah berpegang pada Rasm al-Anbath tanpa harakat atau Syakl (tanda baca) dan Nuqath (titik sebagai pembeda huruf).



BAB III
PENUTUP


3.1   Kesimpulan
Setelah meninjau pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa :
-   Kodifikasi Al -Qur’an adalah pengumpulan dalam arti hifzuhu( menghafalnya dalam hati ) dan pengumpulan dalam arti kitabatuhu kullihi ( penulisan Al-Qur’an sepenuhnya ).
-   Pada masa Rasulullah SAW, ayat–ayat hanya dihafal dalam dada. Yang mula–mula hafal dan pandai membacanya hanyalah Rasul SAW. Beliau senantiasa menunggu akan turunnya Al-Qur’an dengan kerinduan dan hendak cepat membacanya, sehingga ia dimantapkan Allah dalam waktu membacanya. Kemudian Banyak para sahabat Rasul SAW yang hafal Al-Qur’an sehingga banyak diriwayatkan dalam hadist – hadist Nabi.
-   Pada masa Abu Bakar atas motivasi adalah khawatir sirnanya Al-Qur’an dengan syahidnya beberapa penghafal Al-Qur’an pada perang Yammah. Abu Bakar melakukannnya dengan mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur’an yang terpencar pada pelepah kurma, kulit unta, tulang dan sebagainya.
-   Pada masa Utsman bin Affan atas motifasi karena terjadi banyak perselisihan didalam cara membaca Al-Qur’an ( Qira’at ). Utsman melakukannya dengan mengumpulkan tulisan mushaf pada satu huruf agar tercipta persatuan dalam umat Islam yang sebelumnya sempat berselisih.
-   Perbedaan antara proses kodifikasi pada masa Utsman dan Abu Bakar, bahwa tujuan pengkodifikasian Al-Qur’an pada masa Abu Bakar adalah menghimpun al-Qur’an secara keseluruhan dalam satu Mushaf sehingga tidak ada satupun yang tercecer tanpa mendorong orang-orang agar bersatu dalam satu Mushaf saja, dan hal ini dikarenakan belum tampak implikasi yang signifikan. Sementara tujuan kodifikasi pada masa Utsman adalah menghimpun Al-Qur’an secara keseluruhan dalam satu Mushaf namun mendorong orang-orang agar bersatu dalam satu Mushaf.
Daftar Pustaka


-    Anwar, Rosihon. 2004. Samudera al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia
-    Dr. Fathi Muhammad ghorib. Huquuqu Mahfudzoh li Al-Mualif. Cetakan I
-    Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Al-Itqaan fi Ulum Al-Qur’an. Cetakan I
-    Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta:  Pustaka Al-Kautsar
-    HR. Al-Bukhori
-    http://www.wordpress.com Diakses pada tanggal 7 Oktober 2011


[1] Dr. Fathi Muhammad ghorib, huququ mahfudzoh lilmualif, cet. I, hal 14.
[2] ibid.
[3] Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta:  Pustaka Al-Kautsar. Hal: 152
[4] HR. Al-Bukhori
[5] HR. Al-Bukhori
[6] HR. Al-Bukhori
[7] Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta:  Pustaka Al-Kautsar. Hal: 157
[8] Ibid. hal: 157-158
[9] Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta:  Pustaka Al-Kautsar. Hal: 158
[10] Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Al-Itqaan fi Ulum Al-Qur’an. Hal: 244
[11] Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta:  Pustaka Al-Kautsar. Hal: 160
[12] Rosihon Anwar. Samudera al-Qur’an. Hal: 97
[13] Dr. Subhi As-Shalih. Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur’an. Hal: 88
[14] Ibid. Hal: 90
[15] Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Al-Itqaan fi Ulum Al-Qur’an. Hal: 250
[16] Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Al-Itqaan fi Ulum Al-Qur’an. Hal: 250
[17] Rosihon Anwar. Samudera al-Qur’an. Hal: 97
[18] Syaikh Manna’ Al-Qaththan. 2007. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur’an. Jakarta:  Pustaka Al-Kautsar. Hal: 166
[19] Imam Jalaluddin As-Suyuthi. Al-Itqaan fi Ulum Al-Qur’an. Hal: 253

2 komentar: