KONSTRUKSI
WAHYU DALAM PANDANGAN MUHAMMAD SYAHRUR
disusun
untuk memenuhi Tugas
Matakuliah: Pendekatan Studi Islam
Pengampu: Dr. Roibin, M.HI
Penyusun:
Elis
Farida (14720097)
Nadia
Afidati (14720042)
Roziqotun
Nadzifah (14720037)
Bayu
Kusferiyanto (14720081)
Hamzani
(14720098)
PENDIDIKAN
BAHASA ARAB
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
Juni,
2015
Kata
Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji-Syukur kami panjatkan kehadirat Allah
SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat
dan salam semoga terlimpah-curahkan kepada Rasul, Nabi Muhammad SAW, guru
semesta alam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas Matakuliah Teknologi Pembelajaran yang diampu Ibu Dr. Umi Mahmudah
dan Bapak Dr. Sutaman
dengan judul Teknologi Pembelajaran
besbasis Komputer dalam Pembelajaran Bahasa Arab: Kajian Teori dan Aplikasi
di Program Magister Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Maulana
Malik Ibrahim Malang.
Studi keislaman (ad-dirasah
al-islamiyyah) dalam dunia akademik menjadi objek kajian yang rupanya
benar-benar menarik. Motifnya baragam, ada yang untuk memperkaya khazanah
keilmuan Islam, supaya tidak fakum dan berada di dalam kejumudan, seperti yang
dilakukan filusuf dan pemikir kontemporer (yang belakangan ini ramao). Ada pula
yang mengkaji islam untuk motif “menyerang” Islam, mencacati Islam dengan
argumentasi-argumentasi yang seakan-akan benar, seperti yang dilakukan para
orientalis. Dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa pemikiran Muhammad
Syahrur, salah seorang pemikir Islam Kontemporer dalam memahami Wahyu (al-Qur’an)
atau Islam dalam lingkum yang lebih luas.
Kami berharap makalah ini dapat
berguna dalam rangka menambah wawasan serta ghirah kita dalam belajar
dan mensyi’arkan Islam. Kami juga menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat
banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami
berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang akan kami susun
berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami selaku penyusun
khususnya, atau bagi siapapun yang membacanya secara umum. Demikian dan akhirnya kami
ucapkan terimakasih.
Penyusun
Daftar Isi
Cover
Kata
Pengantar ......................................................................................... i
Daftar
Isi .................................................................................................... ii
BAB I :
PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN
........................................................................ 3
2.1 Landasan Pemikiran Muhammad Syahrur .................................... 3
A.
Filsafat Proses ........................................................................ 3
B.
Linguistik Historis ................................................................. 3
2.2 Terninologi al-Kitab, al-Qur’an, adz-Dzikr,
al-Furqon Muhammad Syahrur 6
A.
Al-Kitab .................................................................................. 6
B.
Al-Quran ................................................................................ 7
C.
Adz-Dzikr
............................................................................... 7
D.
Al-Furqon .............................................................................. 8
2.3 Wahyu (al-Kitab) dalam Pandangan Muhammad
Syahrur ........... 11
BAB III : PENUTUP
................................................................................ 14
Kesimpulan ................................................................................... 14
Daftar Pustaka .......................................................................................... 15
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Perkembangan
yang pesat dalam ranah studi dan akademika sekarang, khususnya yang berkembang
di Barat, ternyata membuat beberapa pemikir dari ummat Islam silau, dimana
kemudian mereka mengambil beberapa hal dari perkembangan keilmuan dari Barat
untuk kemudian mereka terapkan dalam kajian studi Islam. Tetapi yang patut
digarisbawahi disini ialah, harus adanya sikap kritis dan hati-hati ummat Islam
dalam mengambil beberapa aspek keilmuan di Barat, karena tidak semua hal yang diambil
dari sana dapat diterapkan dalam studi Islam. Perbedaan akan nilai-nilai ajaran
serta konsep keilmuan menjadi hal yang mendasari tindakan ini. Seperti telah
diketahui bahwa dinamika kehidupan dan keilmuan di Barat dipenuhi dengan
aspek-aspek relativisme, liberalisme, dan menjunjung tinggi kebebasan berfikir
tanpa dibatasi norma-norma agama.
Studi
hermeneutika Al-Quran yang
dilakukan Syahrur menjadi salah satu contohnya. Dalam bukunya al-Kitab wa al-Quran, terlihat
jelas bagaimana ia melakukan pendekatan hermeneutika linguisitik dalam mengkaji
al-Quran. Sesuai
dengan konsep triadik yang ia canangkan, ia mendudukkan al-Quran sebagai
suatu objek yang dinamis-relatif, akan selalu berubah mengikuti perkembangan
zaman. Sebagai konsekuensi dari paham linguistiknya, dimana ia menolak adanya
sinonimitas dalam bahasa, yang berimbas pada upaya Syahrur dalam mendefinisikan
al-Kitab, al-Quran, al-Furqon dan ad-Dzikr, dimana kesemua
definsi tersebut sebagai justifikasinya akan kerelatifan dan kedinamisan Al-Quran.
Memang tak
bisa dinafikan bahwa dinamika intelektual dan akademik Barat tengah berkembang
pesat pada beberapa dekade ini, dan merupakan suatu keniscayaan bilamana ummat
Islam mengambil beberapa tradisi berpikir dari sana. Namun satu hal yang perlu
diperhatikan adalah perlunya tindakan hati-hati dan sikap kritis dalam
memilah-milah hal mana yang bisa diambil dan hal yang mana yang harus ditinggalkan
dan diluruskan, sehingga tidak mencacati khazanah keilmuan Islam. Wallahu
a’lam.
Dari
paparan di atas mengenai studi keislaman berikut perkembangan pemikirannya,
maka dalam makalah ini akan dijelaskan beberapa hal terkait pemikiran Muhammad
Syahrur dalam memahami al-Qur’an, Hukum (hudud), lebih luas lagi
dalam memahami Islam. Makalah ini ditulis secara sistematis sesuai rumasan
masalah dan tujuan di bawah ini.
1.2 Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, Kami merumuskan beberapa
masalah yaitu sebagai berikut:
1.
Bagaimana landasan pemikiran Muhammad
Syahrur?
2.
Bagaimana terma al-Kitab,
al-Qur’an, adz-Dzikr, al-Furqon menurut Muhammad Syahrur?
3.
Bagaimana konsep wahyu (al-Kitab)
dalam pandangan Muhammad Syahrur?
1.3 Tujuan
Mengacu pada rumusan masalah, maka ada beberapa tujuan
penulisan makalah ini, yaitu untuk:
1.
Mengetahui landasan pemikiran
Muhammad Syahrur.
2.
Mengetahui terma al-Kitab,
al-Qur’an, adz-Dzikr, al-Furqon menurut Muhammad Syahrur.
3.
Mengetahui konsep wahyu (al-Kitab)
dalam pandangan Muhammad Syahrur>
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Landasan
Pemikiran Muhammad Syahrur
A. Filsafat
Proses
Pemikiran
Muhammad Syahrur sejatinya dipengaruhi dari berbagai aspek, diantaranya :
filsafat proses, metode historis linguistik, dana juga unsur-unsur dari
relativisme dan dialektika Hegel. Namun, dari semua itu, ada dua aspek yang
paling nampak dalam pemikiran Syahrur ialah filsafat proses yang teraplikan
dalam konsep triodik keadaaan awal-kondisi menjadi-kondisi jadi (Being-Progress-Becoming)
dan metode linguistik historisnya.
Filsafat
proses yang menjadi landasan pemikiran hermeneutika Syahrur ini tampak ketika
ia membicarakan tentang konsep triodik nya yaitu keadaan awal, keadaan menjadi,
dan keadaan jadi atau dalam bahasa arabnya al kaynunah, as
sayrurah dan as soyruroh. Filsafat proses berpendapat bahwa segala
yang ada dalam dunia ini selalu berhubungan satu sama lainnya, dan semuanya
selalu dalam keadaan berkembang dan dinamis tanpa pernah berhenti.[1]
Adapun yang pertama kali mengungkapkan filsafat proses ini ialah Alfred White
Northead. Oleh Syahrur, filsafat proses ini ia terjemahkan menjadi suatu konsep
triadik seperti diatas yang mana menurutnya salah satu unsur dari konsep
triadik tersebut tak bisa berdiri sendiri dan akan selalu berhubungan dengan
unsur lainnnya.
Sebagai
kondisi awal atau Being, Syahrur berpendapat bahwasanya yang dimaksud Being
ialah segala wujud yang material. Dan sebagaimana diungkapkan diatas,
bahwasanya segala sesuatu yang dalam keadaan being ini akan menuju
keadaan selanjutnya, yaitu keadaan menjadi atau progress dan keadaan
jadi atau becoming.[2]
Dalam hal ini Syahrur meletakkan segala sesuatu yang ada di dunia ini dalam
posisi Being termasuk dalam pembahasan tentang Al Quran, hal ini berarti
bahwasanya Al Quran beserta maknanya akan selalu berubah dan berkembang
mengikuti perkembangan zaman. Memang Syahrur tetap beranggapan bahwasanya teks
Al Quran ialah teks yang tetap dan abolut, yang mana langsung berasal dari
Allah, tetapi makna Al Quran selalu berubah mengikuti perkembangan zaman serta
bagaimana kondisi masyarakat yang melingkupinya dan interaksi masyarakat
terhadap teks Al Quran tersebut. Pada tahap ini maka posisi Al Quran sudah
berubah dari yang Being menjadi Progress. Setelah mengalami progress,
maka hasil yang dihasilkan ialah kajian akan makna Al Quran yang benar-benar
baru, yang mana ia mengikuti perkembangan dan tuntutan zaman. Dari sini pula
lah, maka akan mengasilkan dimensi keilmuan baru dalam ilmu kalam, fiqh, dan
cabang ilmu lain sebagainya, yang mana mengikuti perkembangan zaman dan
tuntutan dan kebutuhan hidup manusia.
Dari
pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwasanya Syahrur berpandangan bahwa segala
sesuatu yang ada pada zaman yang lalu tidak dapat disamakan dengan hari ini,
karena semua yang ada di dunia ini akan selalu berubah dan bergerak sesuai
dengan konsep triadik. Termasuk dalam hal ini Al Quran dan makna nya yang juga
akan berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan interaksi manusia dengan nya.
Hal ini sebagaimana ditulis Syahrur dalam bukunya:[3]
"Abad
ketujuh tentunya berbeda dengan abad ke sepuluh, dua puluh, atau abad empat
puluh. Manusia pada abad-abad ini tentunya juga berbeda satu sama lainnya dalam
hal pengetahuan, kebiasaan, tantangan kehidupan, politik, ekonomi, dan dinamika
keilmuan mereka. Masing-masing dari mereka akan meingterpretasikan at tanzil
(Al Quran) sesuai dengan taraf keilmuan mereka dan kondisi mereka. Maka sebagian
dari mereka akan menemukan apa yang tidak orang lain temukan, begitupun
sebaliknya".
Muhammad
Syahrur dalam filsafat prosesnya menggunakan tiga kunci dasar, yaitu Pertama, kainunah
(being/kondisi menjadi). Kedua, sairurah (process/kondisi berproses).
Ketiga, shairurah (becoming/kondisi menjadi). Ketiga kunci dasar
tersebut akan selalu saling terkait dan merupakan starting point dalam kajian
apapun dalam filsafat termasuk tentang ke-Tuhanan (theology), alam
(naturalistic), maupun manusia (antropologi). Persoalan tentang ke-Tuhanan,
alam, dan manusia sebagai suatu yang ada/being/kainunah akan selalu
mengalami kondisi berada (kainunah) yang tidak terlepas dari perjalanan
masa (sairurah) sebagai kondisi berproses yang terus mengalami
perkembangan dan perubahan dalam tiap tahapannya, karena itulah akan selalu
mengalami kondisi menjadi (shairuurah) sebagai goal/tujuan.
Kainunah atau being
(keberadaan) adalah awal dari sesuatu yang ada; Sairurah (proses) adalah
gerak perjalanan masa; sementara shairuurah atau becoming
(menjadi) adalah sesuatu yang menjadi tujuan bagi “keberadaan pertama” setelah
melalui “fase berproses”.[4]
Pusat kainunah (benda) dan sairurah (masa) sebagai bentuk yag tercermin dalam
wujud dengan semua tingkatannya, sedangkan pusat shairurah (bentuk benda) itu
tercermin dalam peredaran dan perubahan dalam wujud.
Hal
ini dapat dipahami bahwa hubungan antara benda/materi dengan masa dan bentuk
baru dari materi. Dalam al-Qur’an tidak ada pemisahan antara kainunah, sairurah
dan shairurah yang kentara pada ayat 5 surat al-haj, dimana penyebutan kainunah
(benda) pada kalimat خلقكم من تراب yang kemudian berpindah pada sairurah
(proses) yakni menjadi ma’ (air mani) kemudian berbentuk shairurah (bentuk
lain) yakni manusia yang sempurna. Muhammad Syahrur, menggunakan kerangka teori
ini dalam memotret beberapa paradigma baru. Ia mempertanyakan mampukah kita
menerapkan konsep ini pada wujud Allah, bagaimana penerapannya dalam masyarakat
sosial.
Landasan
dasar di atas mengindikasikan adanya anjuran Syahrur untuk sadar sejarah dalam
memahami al-Qur’an terutama pada konsep sairurah dalam bahasa Amin
Abdullah sebagai cara baca historis. Karena bagaimanapun juga produk tafsir
beserta metodologinya adalah bagian dari eksistensi kainunah yang tak
lekang oleh perjalanan sejarah (sairurah) yang tentu harus berkembang
bahkan berubah sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan zaman, sehingga proyek
metodologi dalam memahami al-Qur’an sebagai “kondisi berproses” dari perjalanan
tafsir sebagai upaya pembumian al-Qur’an era klasik bisa jadi telah usang
karena mengalami “kondisi menjadi”.
B.
Linguistik Historis
Selain
menggunakan filsafat proses sebagai landasan studi hermeneutika Al-Qurannya,
Syahrur juga berangkat dari metode linguitik historis untuk menganalisa makna
di dalam Al-Quran.
Disini Syahrur melihat bahwasanya setiap kata memiliki latar belakang historisnya
sendiri. Hal inilah yang ia gunakan untuk menganalisa struktur kata dan kalimat
dalam Al-Quran. Hal
ini sebagaimana diakui oleh Dr. Ja’far dak Al Bab, dalam pengantar buku “ Al
Kitab wa Al Quran, Qiraah Mu’ashirah”:[5]
"Syahrur
berangkat dari metode linguisitk historis dalam studinya terhadap bahasa, yang
mana ia gunakan untuk menganalisa struktur dalam suatu bahasa."
Dalam
menggunakan metode linguistik historisnya, Syahrur mengambil refrensi dari Mu’jam
Maqoyis al Lughoh milik Abu Ali Al Farisi, selain itu ia juga terinspirasi
dari studi tentang bahasa yang dilakukan oleh Ibnu al Jinni, dan Imam al
Jurjani. Dari itu semua, ia sampai kepada beberapa poin kesimpulan yaitu:
1.
Bahwasanya disiplin ilmu bahasa
selalu dalam keadaan dinamis, selalu bergerak mengikuti alur zaman dan kondisi
masyarakat.
2.
Adanya keterikatan atau hubungan
antara pikiran manusia dan bahasa. Hal ini berimplikasi bahwa setiap makna dari
kata berasal dari pemikiran manusia dan konteksnya sendiri.
3.
Menolak adanya sinonimitas dalam
bahasa.
Beranjak
dari beberapa poin diatas, maka Syahrur menolak persamaan makna antara Al
Kitab, Al Quran, Al Furqon, dan At Tanzil, dimana menurutnya masing-masing dari
istilah tersebut memiliki maknanya tersendiri. Disini Syahrur memberi makna dan
definisi masing-masing dari setiap kata tersebut. Hal ini berbeda dengan apa
yang disepaki oleh para ulama’, yang mana kesemua kata tersebut hanyalah
nama lain untuk Al Quran.
2.2
Terninologi al-Kitab, al-Qur’an,
adz-Dzikr, al-Furqon Muhammad Syahrur
Sebagaimana
disampaikan diatas bahwasya Syahrur menolak adanya sinonimitas di dalam bahasa,
yang mana hal tersebut merupakan aplikasi lebih lanjut dari konsep triadik
diatas. Dalam hal ini Syahrur membedakan term antara Al-Kitab, Al-Quran,
Ad-Dzikr dan Al-Furqon. Syahrur memberikan batasan makna antara satu term
dengan term lainnya, dimana masing-masing memiliki konsep dan arti tersendiri.
Padahal menurut ulama tafsir sendiri pun, keempat term tersebut hanyalah nama
lain dari Al Quran dan merujuk kepada satu makna dan konsep yang sama. Menurut
para Ulama Tafsir, perbedaan antara satu term dengan lainnya, hanyalah
perbedaan dalam nama, bukan makna. Disinilah titik awal pemikiran hermeneutika
Syahrur berasal. Maka untuk lebih lanjutnya, akan dibahas mengenai perbedaaan
antara ke empat term tersebut menurut Syahrur.
A.
Al-Kitab
Menurut
Syahrur Al Kitab adalah definisi umum dari apa yang diwahyukan oleh Allah Swt
kepada nabi Muhammad Saw, yang mana di dalam Al Kitab ini juga mencakup konsep
tentang Al Quran dan Al Furqon. Berdasarkan ayat yang terdapat di dalamnya,
Syahrur membagi Al Quran menjadi dua bagian, al muhkam dan al
mutasyabih, yang mana pengklasifikasian ini berdasarkan pada QS. Al Imran ayat 7:
uqèd üÏ%©!$# tAtRr& y7øn=tã |=»tGÅ3ø9$# çm÷ZÏB ×M»t#uä ìM»yJs3øtC £`èd Pé& É=»tGÅ3ø9$# ãyzé&ur ×M»ygÎ7»t±tFãB ( $¨Br'sù tûïÏ%©!$# Îû óOÎgÎ/qè=è% Ô÷÷y tbqãèÎ6®Kusù $tB tmt7»t±s? çm÷ZÏB uä!$tóÏGö/$# ÏpuZ÷GÏÿø9$# uä!$tóÏGö/$#ur ¾Ï&Î#Írù's? 3 $tBur ãNn=÷èt ÿ¼ã&s#Írù's? wÎ) ª!$# 3 tbqãź§9$#ur Îû ÉOù=Ïèø9$# tbqä9qà)t $¨ZtB#uä ¾ÏmÎ/ @@ä. ô`ÏiB ÏZÏã $uZÎn/u 3 $tBur ã©.¤t HwÎ) (#qä9'ré& É=»t6ø9F{$# ÇÐÈ
Berdasarkan
ayat ini, Syahrur membagi ayat Al Quran menjadi dua bagian, ayat muhkam dan
mutasyabih. Ayat muhkam atau yang dia sebut juga dengan Ummul Kitab ialah ayat-ayat
yang membahas selain tentang masalah aqidah, sedangkan ayat mutasyabih ialah
ayat yang membahas tentang masalah, ibadah, akhlaq dan hukum, dimana makna dari
ayat-ayat tersebut dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat dan waktu.[6]
Di ayat mutasyabih inilah terjadinya proses relatifisme makna, yang mana akan
melahirkan pandangan dan konsep baru dalam studi makna dan ayat-ayat Al Quran.
Hal ini sebagaimana tampak pada upaya syahrur menjelaskan tentang konsep hijab
wanita, yang akan dijelaskan pada pembahasan nanti. Di sini pulalah Syahrur
mengaplikasikan konsepnya tentang filsafat proses dan konsep triadiknya, dimana
semua hal di dunia ini akan selalu bergerak dan berubah mengikuti perkembangan
waktu.
B.
Al-Quran
Syahrur
membedakan makna antara al-Kitab dan al-Quran, yang mana
perbedaan ini ia landaskan pada
penyebutan kata al-Kitab dan al-Quran dalam Al-Quran itu sendiri.
Di dalam surat Al-Baqarah ayat 2 tertulis:
y7Ï9ºs
Ü=»tGÅ6ø9$#
w
|=÷u
¡
ÏmÏù
¡
Wèd
z`É)FßJù=Ïj9
ÇËÈ
“Kitab ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang
bertaqwa”
Sementara
itu, di dalam surat Al-Baqarah ayat 185
tertulis:
ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4 `yJsù yÍky ãNä3YÏB tök¤¶9$# çmôJÝÁuù=sù ( `tBur tb$2 $³ÒÍsD ÷rr& 4n?tã 9xÿy ×o£Ïèsù ô`ÏiB BQ$r& tyzé& 3 ßÌã ª!$# ãNà6Î/ tó¡ãø9$# wur ßÌã ãNà6Î/ uô£ãèø9$# (#qè=ÏJò6çGÏ9ur no£Ïèø9$# (#rçÉi9x6çGÏ9ur ©!$# 4n?tã $tB öNä31yyd öNà6¯=yès9ur crãä3ô±n@ ÇÊÑÎÈ
“ (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang
di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil)”.
Syahrur
melihat bahwasanya penyebutan kata Al Kitab pada ayat yang pertama diposisikan
sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa, sementara penyebutan kata Al Quran
diposisikan sebagai petunjuk bagi ummat manusia (Hudan li an naas). Hal
ini berarti bahwa Al Quran lebih bersifat global, dimana ia ditujukan bagi
seluruh ummat manusia, baik yang muslim ataupun tidak. Sementara itu Al Kitab
lebih bersifat khusus, dimana ia ditujukan untuk orang yang bertaqwa kepada
Allah saja, atau ummat muslim. Dari sini Syahrur mengambil kesimpulan
bahwasanya Al Kitab dan Al Quran ialah dua hal yang berbeda.
C. Adz-Dzikr
Term al Dzikr, dapat didefinisikan sebagai pengubahan (Al
Qur’an) menjadi bentuk bahasa manusia yang secara literal berupa linguistik
Arab. Bentuk seperti inilah yang digunakan untuk memahami dan mempelajari Al
Qur’an. Bentuk bahasa Al Qur’an adalah memakai bahasa Arab,[7]
oleh karena itu, ia dikatakan kepada bangsa Arab dalam QS: Al Anbiya’: 10
ôs)s9 !$uZø9tRr& öNä3ös9Î) $Y6»tGÅ2 ÏmÏù öNä.ãø.Ï (
xsùr& cqè=É)÷ès? ÇÊÉÈ
“Sesungguhnya
telah Kami turunkan kepada kamu sebuah kitab yang di dalamnya terdapat
sebab-sebab kemuliaan bagimu. Maka Apakah kamu tiada memahaminya?”
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa di dalam Al Qur’an
terdapat wahyu bahasa Arab yang tersuarakan dalam media bahasa Arab murni. Oleh
karena itu, dalam ayat ini Allah menggunakan kata:Fiihi Dzikrukum. Pada
dataran inilah tersembunyi atau tersirat kehebatan bangsa Arab dimuka bumi ini.[8]
üÉ 4
Éb#uäöà)ø9$#ur Ï Ìø.Ïe%!$# ÇÊÈ
“Shaad,
demi Al Quran yang mempunyai keagungan”.
Jika kita perhatikan hubungan
yang mengikat anatara term al-Quran dan Adz-Dzikr pada ayat ini, terdapat
atribut ‘dzi’ yang menandakan pada sifat sesuatu (memiliki sebuah sifat
tertentu) bukan pada entitas itu sendiri. Dalam konteks ini, kata al-Quran yang
berkedudukan sebagai yang disifati, sedangkan Adz-Dzikr adalah kata sifatnya.
Sehingga pengertiannya dan Al-Quran adalah “pemilik Adz-Dzikr”.
Pada dasarnya, al-Quran
tidak berbentuk
linguistik, kemudian oleh allah diubah menjadi berbentuk linguistik berdasarkan
firmannya:
$¯RÎ) çm»oYù=yèy_ $ºRºuäöè% $|Î/ttã öNà6¯=yè©9 cqè=É)÷ès? ÇÌÈ
“Sesungguhnya
Kami menjadikan Al Quran dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya)”.
Proses penggubahan
al-Quran menjadi berbentuk bahasa manusia dalam format linguistik Arab
berlangsung scara sempurna yang bentuk finalnya berupa ‘bentuk bahasa literal’
(shighah mantuqah) (yang dapat diucapkan dan dapat dimengerti). Oleh
karena itu, dikatakan bahwa al-Quran adalah bacaan yang dilantunkan dalam
bentuk literal, baik dapat didengar maupun tidak.
Bentuk al-Quran yang
baru diciptakan inilah yang menduduki posisi sebagai bentuk wahyu yang dinilai
ibadah. Ketika manusia membaca bentuk literal al-Quran meskipun tanpa pemahaman
tetap bernilai ibadah. Seluruh manusia baik Arab ataupun non Arab jika membaca
alquran maka tindakannya tetap bernialai ibadah.
Menurut Muhamad Syahrur, kata Al Furqon dalam Al Kitab
disebut sebanyak enam kali dalam bentuk Ma’rifah. Term Al Furqon pertama kali
oleh Allah diturunkan kepada Musa bersamaan dengan diturunkannya Al Kitab.
x8u$t6s? Ï%©!$# tA¨tR tb$s%öàÿø9$# 4n?tã ¾ÍnÏö6tã tbqä3uÏ9 úüÏJn=»yèù=Ï9 #·ÉtR ÇÊÈ
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al
Furqaan (Al Quran) kepada hamba-Nya, agar Dia menjadi pemberi peringatan kepada
seluruh alam”.
Pengertiannya bahwa Al Furqon diturunkan secara
terpisah dari Al Kitab. Allah mengatakan kata Al Furqon ini dalam ayat lain
dalam QS Ali Imran ayat:3-4, bahwa Al Furqon, Injil, Taurat oleh Allah
diturunkan sebelum Al Kitab diturunkan kepada Nabi Muhammad.
tA¨tR øn=tã |=»tGÅ3ø9$# Èd,ysø9$$Î/ $]%Ïd|ÁãB $yJÏj9 tû÷üt/ Ïm÷yt tAtRr&ur sp1uöqG9$# @ÅgUM}$#ur ÇÌÈ `ÏB ã@ö7s% Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 tAtRr&ur tb$s%öàÿø9$# 3
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ÏM»t$t«Î/ «!$# óOßgs9 Ò>#xtã ÓÏx© 3
ª!$#ur ÖÍtã rè BQ$s)ÏFR$# ÇÍÈ
“Dia menurunkan Al kitab (Al Quran)
kepadamu dengan sebenarnya; membenarkan kitab yang telah diturunkan sebelumnya
dan menurunkan Taurat dan Injil. Sebelum (Al Quran), menjadi petunjuk bagi manusia,
dan Dia menurunkan Al Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap
ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi
mempunyai Balasan (siksa)”.
ãöky tb$ÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$# Èb$s%öàÿø9$#ur 4
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil).
Karena dalam lafadz ini Al Furqon sejajar dengan Al Qur’an
yang memakai kata penghubung (a’tuf), maka dari itu menurut Muhamad
Syahrur Al Furqon berbeda atau bukan Al Qur’an, namun Al Furqon merupakan
bagian dari isi Al Kitab.[10]
Term al-Furqan pertama
kali diturunkan kepada Musa bersamaan dengan diturunkannya al-Kitab.
Pnegertiannya, bahwa al-Furqan diturunkan secara terpisah dari al-Kitab.
Pernyataan al-Furqon ini disampaikan Allah dalam surat Ali Imran bahwa al-Furqon,
Taurat dan Injil diturunkan sebelum al-Kitab diturunkan kepada Nabi Muhammad.
Al-Furqon yang diturunkan kepada Nabi Musa adalah al-Furqon yang sama yang
digunakan kepada Muhammad dalam bulan Ramadhan sebagaimana redaksi syahru
romadhona (al-Baqarah: 185). Karen al-Furqan disebut sejajar (ma’tuf)
dengan al-Quran, maka dapat disimpulkan bahwa al-Furqan bukan al-Quran.
¢OèO $oY÷s?#uä ÓyqãB |=»tGÅ3ø9$# $·B$yJs? n?tã üÏ%©!$# z`|¡ômr& WxÅÁøÿs?ur Èe@ä3Ïj9 &äóÓx« Yèdur ZpuH÷quur Nßg¯=yè©9 Ïä!$s)Î=Î/ óOÎgÎn/u tbqãZÏB÷sã ÇÊÎÍÈ
“Kemudian
Kami telah memberikan Al kitab (Taurat) kepada Musa untuk menyempurnakan
(nikmat Kami) kepada orang yang berbuat kebaikan, dan untuk menjelaskan segala
sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat, agar mereka beriman (bahwa) mereka
akan menemui Tuhan mereka”.
øÎ)ur $oY÷s?#uä ÓyqãB |=»tGÅ3ø9$# tb$s%öàÿø9$#ur öNä3ª=yès9 tbrßtGöksE ÇÎÌÈ
“Dan
(ingatlah), ketika Kami berikan kepada Musa al-Kitab (Taurat) dan
keterangan yang membedakan antara yang benar dan yang salah, agar kamu mendapat
petunjuk”.
`ÏB ã@ö7s% Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 tAtRr&ur tb$s%öàÿø9$# 3
¨bÎ) tûïÏ%©!$# (#rãxÿx. ÏM»t$t«Î/ «!$# óOßgs9 Ò>#xtã ÓÏx© 3
ª!$#ur ÖÍtã rè BQ$s)ÏFR$# ÇÍÈ
“Sebelum
(Al Quran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al Furqaan[182].
Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh
siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai Balasan (siksa)”.
Dari ketiga ayat diatas, dapat
disimpulkan bahwa al-Furqan telah diturunkan kepada Musa sebelum
ia diturunkan kepada Muhammad. Dengan demikiam. Syahrur menyimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan al-Furqan adalah sepuluh wasiat yang diturunkan kepada Musa dan
ditetapkan juga kepada Isa, kemudian terakhir kali diturunkan kepada Muhammad.
Al-Furqan adalah titik temu ketiga agama samawi yang menjadi wilayah bersama (al-qosim
al-musytarak) antar ketiga agama tersebut. Didalamnya terdapat ketakwaan
sosial yang disebut dengan akhlak. Ia bukan penjelasan tentang ibadah ritual,
melainkan wahyu yang mengandung karakter universal dan manusiawi.
2.3
Wahyu (al-Kitab) dalam
Pandangan Muhammad Syahrur
Dalam
pembacaannya terhadap al-Qur'an, Syahrur menggunakan pendekatan
hermeneutika dengan penekanan pada aspek filologi (fiqh al-lughah).[11]
Dimana prinsip yang ia gunakan adalah keyakinannya kepada anti sinonimitas
(ketidaksamaan) istilah dalam al-Qur'an. Sebagaimana jelas terlihat
dalam karyanya Al-Kitab wa Al-Qur'an, ia menggunakan metode klasifikasi
istilah yang menjadi bahan awal teori interpretasinya. Al-Kitab terbagi
kepada al-Qur'an dan Umm al-Kitab. Al-Kitab ia gunakan
untuk istilah umum yang mencakup pengertian seluruh kandungan teks tertulis (mushaf),
yang dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri surat al-Nas. Al-Qur'an
adalah istilah khusus yang hanya mencakup salah satu bagian dari al-Kitab
yang terdiri dari ayat-ayat mutasyabihat yang berdimensi al-nubuwwah.
Sementara Umm al-Kitab merupakan salah satu bagian dari al-Kitab
yang terdiri dari ayat-ayat muhkamat yang berdimensi al-risalah.
Ia juga melakukan pembedaan terhadap sejumlah pasangan atau kelompok istilah,
antara lain antara inzal/tanzil, furqan/qur'an, imam mubin/kitab mubin,
ummul kitab/ lauh al-mahfuzh, qada/qadar, zaman/waqt, mu'min/muslim,
uluhiyyah/rububiyyah, dan manna/salwa. Semuanya didefinisikan secara
terpisah.[12]
Kerangka
teori yang Syahrur gunakan dalam memformulasi ide-idenya adalah penilaian
ajaran Islam yang berdimensi nubuwwah dan risalah. Ia
mengklasifikasi kandungan al-Kitab kepada nubuwwah dan risalah.
Nubuwwah adalah kumpulan informasi dan pengetahuan tentang kealaman dan
kesejarahan yang dengan itu dapat dibedakan antara benar dan salah yang
terdapat di alam wujud (realitas empiris). Jadi Nubuwwah bersifat
objektif dimana ia berisi kumpulan aturan hukum yang berlaku di alam semesta
dan berada di luar kesadaran manusia. Sementara Risalah adalah kumpulan
ajaran yang wajib dipatuhi manusia berupa ibadah, mu'amalah, akhlak, dan hukum
halal-haram. Risalah bersifat subjektif yang berarti kumpulan aturan
hukum yang harus dijadikan sebagai bagian dari kesadaran dalam diri manusia
didalam berprilaku.[13]
Selaras
dengan itu, al-Kitab mempunyai sifat hanifiyyah dan istiqamah.
Hanifiyyah berarti penyimpangan dari garis lurus, sedang istiqamah berarti
kualitas sifat dari garis lurus itu sendiri atau yang mengikutinya. Hukum Islam
bersifat hanafiyyah yang bergerak tidak lurus menyesuaikan dengan perubahan
yang terjadi di masyarakat. Untuk mengontrol gerak perubahan tersebut, maka
mesti ada istiqamah. Dialektika yang terus berjalan seiring antara hanafiyyah
dan istiqamah mengawal perubahan hukum yang tunduk kepada realitas
masyarakat. Dengan kata lain, juga dapat dikatakan al-Kitab menurut
Syahrur, didalamnya al-Qur'an yang terdiri dari mutasyabihat dan
berdimensi nubuwwah bersifat objektif. Sebaliknya Umm al-Kitab
yang terdiri dari muhkamat dan berdimensi risalah bersifat
subjektif, dapat berubah dan relatif. Maka proyek hermeneutika Syahrur dari
klasifikasi istilah tersebut, membuahkan rumusan dalam menginterpretasi
ayat-ayat hukum dengan memaparkan tiga wacana filsafat. Pertama, al-kaynunah
(kondisi berada, dasein, being). Kedua, al-sayrurah
(kondisi berproses, der prozess, the process). Ketiga, al-Shairurah
(kondisi menjadi, das warden, becoming). Ia menyatakan, "Ketiga
kata kerja (istilah) itu selalu menjadi pusat pembahasan dalam filsafat dan
landasan inti bagi semua pembahasan teologis (Tuhan), naturalistik (alam), dan
antropologis (manusia), dengan memandang bahwa kaynunah atau being adalah
awal dari sesuatu yang ada, sayrurah (proses) adalah gerak perjalanan
masa, dan shairurah (menjadi) adalah sesuatu yang menjadi tujuan bagi
keberadaan pertama setelah melalui fase berproses."[14]
Keniscayaan
antara tiga kondisi tersebut menunjukan bahwa tidak ada kondisi yang tidak
terkait dengan kondisi lainnya. Maka dengan sendirinya, dengan relasi ketiga
kondisi ini melahirkan hukum yang akan terus berubah-ubah mengikuti
perkembangan masa ke masa. Dengan kata lain, yang menjadi pijakan hukum adalah
kondisi khusus yang terbatasi dalam setting sosial, bukan nash yang ada dalam
ayat tersurat dalam al-Qur'an. Syahrur menyebut kondisi perubahan hukum ini
dengan hukum dialektika negatif (qanun al-nafy wa nafy al-nafy; hukum
negasi dan penegasian negasi) atau disebut juga dengan dialektika internal.[15]
Ayat-ayat hukum dalam al-Qur'an, yang dalam bahasa Syahrur sebagai Umm
al-Kitab, walaupun sifatnya qath'i dan dipahami secara dzahir
dan maknanya dengan jelas akan pula terjadi penegasian hukum melalui proses
waktu yang berputar, dan menghasilkan hukum baru sesuai dengan kondisi dan situasi
sosial zamannya yang menyebabkan keniscayaan penafsiran yang relatif. Dia
mengatakan;
"Abad ketujuh itu beda dengan abad ke sepuluh, dengan abad kedua puluh atau dengan keempat puluh. Manusia dari masing-masing abad tersebut berbeda-beda dalam hal tingkat pengetahuan, perangkat-perangkat saintifik, problem-problem sosial, ekonomi, dan politik serta problematika pengetahuan. Semua akan membaca al-Tanzil al-Hakim[16] dalam kerangka tingkat pengetahuan dan problematika tersebut diatas yang membatasinya. Mereka mendapati atau memahami dalam al-Tanzil al-Hakim hal-hal yang tidak didapati oleh yang lain. Hal ini menegaskan bahwa al-Tanzil al-Hakim mengandung karakter kehidupan, memilki konsep berada pada dirinya, dan mengandung kondisi berproses dan kondisi menjadi untuk lainnya (yakni: interpretasi). Inilah yang selalu kami maksud, ketika berbicara tentang tetapnya teks dan bergeraknya kandungan makna, dan tentang dialektika teks dan kandungan makna."[17]
"Abad ketujuh itu beda dengan abad ke sepuluh, dengan abad kedua puluh atau dengan keempat puluh. Manusia dari masing-masing abad tersebut berbeda-beda dalam hal tingkat pengetahuan, perangkat-perangkat saintifik, problem-problem sosial, ekonomi, dan politik serta problematika pengetahuan. Semua akan membaca al-Tanzil al-Hakim[16] dalam kerangka tingkat pengetahuan dan problematika tersebut diatas yang membatasinya. Mereka mendapati atau memahami dalam al-Tanzil al-Hakim hal-hal yang tidak didapati oleh yang lain. Hal ini menegaskan bahwa al-Tanzil al-Hakim mengandung karakter kehidupan, memilki konsep berada pada dirinya, dan mengandung kondisi berproses dan kondisi menjadi untuk lainnya (yakni: interpretasi). Inilah yang selalu kami maksud, ketika berbicara tentang tetapnya teks dan bergeraknya kandungan makna, dan tentang dialektika teks dan kandungan makna."[17]
"Al-Qur'an
yang selalu dijaga oleh kekuatan Ilahi (Tuhan), adalah suatu 'kekayaan' yang
telah dimiliki oleh generasi paling awal hingga generasi sekarang. Karena
masing-masing generasi menafsirkan al-Qur'an berdasar pada realitas tertentu
pada masa mereka hidup, kita yang hidup pada abad 20 ini juga berhak menafsirkan
al-Qur'an berdasar 'semangat zaman' yang mencitrakan kondisi pada masa
sekarang."[18]
Pandangan
Syahrur dalam pengklasifikasian al-Kitab kepada al-Qur'an bersifat tetap, tidak
bisa berubah teks atau maknanya, dan tidak ada ijtihad dalam ranah tersebut. Tetapi
dalam konteks Umm al-Kitab, ijtihad tersebut terbuka lebar, meskipun kejelasan
nash dzahir didapat (qath'i). Dengan konsep itu, Syahrur secara blak-blakan
telah mendekonstruksi konsep ijtihad yang dipahami para 'ulama. Dia menyatakan
bahwa, "ijtihad hanya terdapat pada teks suci". Adapun kaidah yang
mengatakan, tidak (diperkenankan) berijtihad tentang sesuatu yang telah
disebutkan dalam teks, tidak kami terima. Seandainya ada seseorang yang
mengatakan: 'Berijtihadlah (tentang sesuatu) yang berada di luar teks al-Qur'an
(atau hadits)!', maka saya akan mengatakan: Mengapa saya harus berijtihad
ketika tidak didapati satu teks (ayat) pun dalam al-Qur'an (atau hadits)?
Ketika tidak adanya teks, seorang penetap hukum diperkenankan menetapkan hukum
sesukanya." Lebih lanjut dia menyatakan bahwa ketepatan ijtihad ditentukan
oleh kesesuaiannya dengan realitas. Jadi hasil sebuah ijtihad bisa dipandang
benar dan diterima jika seiring dengan realitas objektif pada saat melakukan
pembacaan historis. Pemahaman dan keserasian dengan realitas objektif merupakan
tolak ukur seberapa jauh penafsiran atau pembacaan hermeneutika itu benar atau
salah.[19]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari pembahasan
diatas, pemikiran Syahrur
dalam studi al-Quran atau lebih luasnya studi Islam, ada beberapa kesimpulan. Pertama,
Syahrur melandasi pemikirannya dari konsep triadik filsafatnya, yang mana ia
meletakkan segala sesuatu di dunia ini, termasuk al-Quran, dalam konsep ini.
Hal ini berimplikasi bahwa al-Quran akan selalu berada dalam proses dinamis,
dan bersifat relatif, karena ia akan selalu mengikuti perkembangan zaman.
Kedua, dalam mendasari kajian linguistiknya terhadap al-Quran, ia menolak
adanya sinonimitas di dalam bahasa, termasuk dalam al-Quran sendiri. Dari
sinilah ia menolak adanya persamaan makna dan definisi antara istilah al-Kitab,
al-Quran, al-Furqon, dan ad-Dzikr, dimana ia memberikan penjelasan
dan konsep tersendiri untuk masing-masing istilah itu.
Syahrur
memberikan makna yang berbeda dari masing-masing istilah al-Kitab, Al-Quran,
Al-Furqon dan ad-Dzikr. Bagi Syahrur, al-Kitab ialah sebuah
istilah umum bagi apa yang diwahyukan oleh Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW
yang mana tercakup di dalamnya al-Quran, al-Furqon dan ad-Dzikr.
Berdasarkan ayatnya, al-Kitab dibagi menjadi dua bagian yaitu kitab
muhkan dan kitab mutasyabih. Kitab muhkam atau Sab’u
al-Matsany bersifat mutlak dan tetap (Qot’i Tsubut). Sementara itu, kitab
mutasyabih bersifat relatif. Dengan kata lain interpretasi makna kitab
mutasybih ini selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Dengan ini, maka
sebenarnya konsep kitab mutasyabih yang diajukan Syahrur ini merupakan
aplikasi dari penerapan konsep triadik, dimana segala hal akan selalu mengalami
perubahan dan perkembangan. Pun begitu, Syahrur melihat bahwasanya interpretasi
dan penafsiran al-Quran pada zaman dahulu tidak bisa lagi diterapkan pada hari
ini. Oleh karena itu ia membutuhkan suatu penafsiran yang menyesuaikan dengan
pembaharuan hari ini. Konsep pemikiran Syahrur diatas tentu saja tidak bisa
dibenarkan semuanya, dimana dalam hal ini membutuhkan sebuah tindakan analisis
dan kritik terhadapnya.
Daftar Pustaka
Andreas Chrismann "Bentuk Teks (Wahyu)
Tetap, Tetapi Kandungannya (Selalu) Berubah: Tekstualitas dan Penafsirannya
Dalam al-Kitab wa al-Qur'an" dalam Pengantar Muhammad Syahrur, Dirasah
Islamiyyah: Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqh al-Islami, terjemah Sahiron
Syamsuddin. 2008.
Metodologi
Fiqih Islam Kontemporer, eLSAQ Press: Yogyakarta,
C. Robert Meslee. 2008. Proccess Relational Philosophy An Introduction
to Alfred North Whitehead. West Conshohocken: Templeton
Foundation Press
Muhammad Syahrur. 2000. Nahwa Ushul al Jadidal Lil Fiqh al
Islami. Damaskus: al Ahali li
at Thiba’ah wa an Nasyr wa at Tauzi’
Muhammad Syahrur. 2000. Al-Kitab wa al-Qur’an:
Qira’ah Mu`ashirah.
Beirut: Syarikat al-Mathbu’at li
al-Tauzi wa al-Nasyr
Ja’far dak Al-Bab. 1990. pengantar
buku al-Kitab
wa al-Quran: Qira’ah
Muashirah. Damaskus: Al-Ahali
Sahiron Syamsudin dan
Burhanuddin Zaki.
2007. Prinsip dan Dasar
Hermeneutik Hukum Islam Kontemporer.
Yogyakarta: eLSAQ Press
Sahiron Syamsudin (ed.). 2003. Hermeneutik Al-Qur’an
Mazhab Yogya.
Yogyakarta: Islamika
Sohiron
Syamsudin. 2004. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Jakarta: eLSAQ
Press
http://muhammadbaru.blogspot.com/2015/05/konsep-tafsir-muhamad-syahrur.html
diakses pada 9 Juni 2015 13.50
http://cakgopar.com/2014/03/pandangan-shahrur-tentang-konsep-kata-al-dzikr-dalam-al-quran/
diakses pada 9 Juni 2015 14.05
[1] C. Robert Meslee, Proccess
Relational Philosophy An Introduction to Alfred North Whitehead (West
Conshohocken : Templeton Foundation Press, 2008) hal 8
[2] Muhammad Syahrur, Nahwa Ushul al
Jadidal Lil Fiqh al Islami (Damaskus, al Ahali li at Thiba’ah wa an
Nasyr wa at Tauzi’, 2000) hal 27
[4] Muhammad Syahrur,
Nahw Ushul Jadidiah lil Fiqh al Islami diterjemahkan oleh Sahiron Syamsuddin
dan Burhanuddin dalam Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, cet X
(Yogyakarta:2010). Hal 55
[5] Ja’far dak Al Bab
dalam pengantar buku Al Kitab wa Al Quran, QIra’ah Muashirah ( Damaskus :
Penerbit Al Ahali, 1990) hal 20
[8] http://muhammadbaru.blogspot.com/2015/05/konsep-tafsir-muhamad-syahrur.html
diakses pada 9 Juni 2015 13.50
[9] http://cakgopar.com/2014/03/pandangan-shahrur-tentang-konsep-kata-al-dzikr-dalam-al-quran/
diakses pada 9 Juni 2015 14.05
[11] Amin Abdullah, Neo
Ushul Fiqih, 150
[12] Andreas Chrismann,
'Bentuk Teks', 30
[13] Lihat Muhammad
Syahrur, Al-Kitab wa Al-Qur'an: Qira'ah Mu'ashirah, Dar al-Ahali: Damaskus,
1990, 54, 90,, dan 103
[14] Muhamad Syahrur, Nahwa
Ushul Jadidah, Al-Ahali: Damaskus, 2000, 27
[15] Ibid, 30
[16] Syahrur membedakan
inzal dan tanzil, sebagaimana al-Qur'an dan Umm al-Kitab, mutasyabihat dan
muhkamat, nabawiyyah dan risalah, dan istiqamah dan hanifiyyah. Semua antonym
itu, yang pertama menunjukan objektifitas dan ketetapan, dan kedua menunjukan
subjektifitas dan perubahan
[17] Ibid, 55
[18] Muhamad Shahrur,
al-Kitab wa al-Qur'an: Qira'ah Mu'ashirah (Kaioro dan Damaskus: Sina lil al-
Nasr, 1992, 44, 47 dalam Wael B. Hallaq Membaca Teori Batas M. Shahrur dalam M.
Shahrur, al-Kitab wa al-Qur'an: Qira'ah Mu'ashirah, terjemah Sahiron Syamsuddin
Prinsip DasarHermeneutika Hukum Islam Kontemporer, Jogyakarta,2007, 3
[19] Muhammad Syahrur,
Dirasah Islamiyyah: Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqh al-Islami, terjemah Sahiron
Syamsuddin, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, eLSAQ Press: Yogyakarta, 2008,
97. Selanjutnya disingkat Metodologi Fiqih
Tidak ada komentar:
Posting Komentar