MODERNISME ISLAM DI MESIR
A.
Potret Mesir sebelum Modernisme Islam
Mesir
pada abad sembilan belas dan dua puluh menyerupai Turki sekalipun dalam
beberapa hal penting terdapat perbedaan. Dari pemerintahan Usmani dan dari
masyarakat yang Islamis, Mesir berkembang menjadi sebuah masyarakat sekuler.
Meskipun sebagai bagian dari wilayah imperium Usmani, Mesir mempertahankan
identitas politik dan kulturalmya sendiri. Di bawah pemerintahan Usmani, Mesir
benar-benar diperintah oleh beberapa faksi militer Mamluk setempat.
Pada
rentang abad delapan belas, disebabkan lemahnya kontrol Usmani, persaingan
antara beberapa faksi Mamluk mengakibatkan terbengkalainya irigasi, kemerosotan
pajak, dan meningkatkan otonomi pastoralisme dan kesukuan. Melemahnya pengaruh
Usmani menyebabkan perubahan besar dalam seluruh sistem kemasyarakatan Mesir.
Kondisi tersebut membuka kesempatan bagi serangan Napoleon pada tahun 1798,
membuka kesempatan bagi intervensi pihak Inggris, dan berakhir dengan
penunjukan Muhammad Ali sebagai gebernur Mesir pada tahun 1805.
Muhammad
Ali melancarkan beberapa kebijakan asing secara gigih. Ia menundukkan kaum
Wahabi dan memperkokoh kekuasaan Mesir atas Arabia Barat, kota suci Mekah dan
Madinah. Ia memperluas kekuasaan Mesir di Sudan, dan mendukung kekuatan Usmani
dalam peperangan kemerdekaan Yunani. Pada tahun 1831, ia menyerbu Syria dan megancam
keutuhan imperium Usmani. Muhammad Ali berusaha menciptakan kekuasaan diktator
yang dibangan di atas kekuasaan militer Turki, Kurdi, Circassia, dan beberapa
pasukan militer lainnya. Ia menyusun sistem perpajakan baru dengan mempekerjakan
petugas penarik pajak yang diberi gaji tetap, menggantikan pajak pertanian yang
lama. Ia juga menghancurkan seluruh kekuatan politik, memusnahkan keluarga
Mamluk.
Muhammad
Ali melakukan reorganisasi perekonomian secara total. Ia memprakarsai pengembangan
perkebunan tebu dan kapas karena keduanya adalah komoditas utama dalam pasar
Internasional. Kontrol negara terhadap kegiatan petanian dan peragangan
memungkinkan Muhammad Ali membeli kapas dari petani dengan harga yang sangat
murah lalu menjualnya kepada eksporter dengan keuntungan yang tinggi. Ahli-ahli
mesin dan teknisi didatangkan untuk membangun sejumlah pabrik yang menghasilkan
kapas, wool, benang tekstil, gula, ketas, barang kulit dan senjata.
Reorganisasi
tersebut secara tidak langsung menghancurkan tata aturan masyarakat sehingga
nyaris menjadi sebuah kegaduhan terbesar dibandingkan yang pernah terjadi di
wilayah imperium Usmani lainnya. Kebijakan Muhammad Ali di bidang ekonomi dan
administrasi menyebabkan tumbuhnya elite baru para tuan tanah. Anggota keluarga
pemerintah diberi perkebunan atau tanah yang disebut jifliks, dan
sejumlah tanah bebas pajak diberikan kepada syaikh-syaikh kampung yang bertugas
mengawasi pajak dan kopi. Penghapusan tanggung jawab warga kampung secara
kolektif menyebabkan tiap-tiap individu di kampung bertanggung jawab membayar
pajak. Kontrol pemerintah dan sistem pemilikan pribadi mengganti sistem
kolektivitas perkampungan. Penghapusan ini menimbulkan ketidakberdayaan kaum
petani, fungitivisme, dan menimbulkan serangkaian pemberontakan petani yang
mewarnai Mesir pada tahun 1798 dan 1812, sepanjang tahun 1820-an, dari tahun 1846
sampai 1854, dan dari 1863 sampai 1865.
Elite
Agama juga mengalami perubahan drastis. Pada abad delapan belas, ulama’ Mesir
berperan sebagai penengah antara pemerintah dan masyarakat umum. Setelah
perebutan kekuasaan antara Muhammad Ali dan pihak Mamluk lokal, ulama’ mencapai
posisi tertingginya. Namun setelah Muhammad Ali memperkokoh kekuasaannya, ia
mengharuskan kepatuhan ulama’ kepada rezim, mengasingkan tokoh-tokoh vokal
mereka, menghapus hak pajak pertanian dan hak wakaf mereka, dan menjadikan
penghasilan mereka bergantung kepada penguasa. Mereka kehilangan pengaruhnya
dalam beberapa kebijakan yang bersifat publik dan bertahan dalam wilayah yang
lebih sempit, yaitu dalam urusan pendidikan dan peradilan. Kaum Sufi juga
mengalami pembatasan. Meskipun thariqoh, keluarga wali dan zawiyah abad delapan
belas teta bertahan, namun Muhammad Ali menjadikan mereka berada di bawah
kontrol negara.
Penundukan
ulama’ dan lahirnya elite pedagang - tuan tanah dan elite intelektual membuka
jalan bagi semakin radikalnya perubahan di tengah masyarakat Mesir. Sebelum
elite baru ini meraih pengaruhnya, Mesir keburu jatuh di bawah kekuasaan
Inggris. Inggris sangat berkepentingan untuk memperkokoh imperiumnya di India.
Lebih dari itu pihak Inggris menginginkan sebuah kepentingan dalam perekonomian
masyarakat Mesir. Pembaharuan yang dilakukan Muhammad Ali menjadikan Mesir
sebagai pengekspor kapas dan menjadikan negeri ini merambah pasar internasional,
membuat Mesir menjadi pengimpor pakaian Inggris. Hutang Mesir yang sangat besar
untuk mendatangkan barang-barang mewah, perlengkapan persenjataan, mesin industri,
perlengkapan berat untuk pembangunan kereta api dan penggalian Terusan Suez
mengantarkan Mesir pada kepailitan, dan menerima bantuan administrasi manajemen
asing. Bantuan inilah yang menjadi cikal bakal pemerintahan kolonial. Ia
menimbulkan konflik antara kepentingan pihak asing dan kepentingan elite baru
Mesir. Sehingga pada tahun 1879 dan 1881, pajabat tinggi militer yang bernama
Urabi memimpin demonstrasi merebut kekuasaan atas kementrian perang dan
membentuk sebuah pemerintahan parlementer. Inggris menolak kompromi dan
membombarder kota Alexandria mangalahkan kekuatan Urabi, dan pada tahun 1882
mengambil alih kekuasaan sepenuhnya atas negeri ini atas nama pemegang hak
obligasi.
Pada
tahun 1882 hingga Perang Dunia Pertama, Inggris menangani perekonomian Mesir
secara efisien, namun kebijakan ini semata untuk kepentingan pemerintahan
imperialnya. Dari sini tumbuh kebencian yang sangat mendalam terhadap
pemerintahan Inggris dalam menggunakan kekuatan, ketidak-seimbangan dalam
berbagai kebijakan perekonomian, pemecatan pejabat-pejabat Mesir yang
digantikan pejabat-pejabat Inggris, pengabaian pendidikan dan eksploitasi Mesir
secara menyeluruh. Elite tuan tanah dan elite intelektual Mesir melanjutkan
perlawanan mereka. Elite ini menyatakan jati dirinya melalui dua posisi
ideologis; modernisme Islam dan Nasionalisme Mesir.
B.
Lahir Modernisme Islam di Mesir
Juru
bicara terbesar bagi modernisme Islam Mesir abad sembilan belas adalah
Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) dan muridnya Muhammad Abduh (1849-1905). Al-Afghani
berkebangsaan Iran belakangan mengklaim sebagai warga Afghan dalam rangka
meyakinkan kesesuaiannya dengan kalangan Muslim Sunni. Sebagai seorang yang
terdidik dalam ajaran Syi’ah, ia sangat dikenal sebagai filosof Muslim. Karir
politiknya mengantarkan dirinya ke India, Afghanistan, Mesir, Prancis, England,
Iran dan akhirnya ke Istambul, tempat ia meninggal dunia.
Al-Afghani
berusaha membangkitkan kesadaran Muslim terhadap ancaman dominasi bangsa Eropa
dan untuk menentang penguasa Muslim yang bersekongkol dengan intervensi pihak
Kristen. Sebagai penggugah politik yang penuh semangat, seorang dosen yang
penuh gagasan, seorang penggagas ide-ide novel dan penuh imajenatif, ia
mencurahkan pikiran dan usianya untuk mempengaruhi penguasa agar memoderkan Islam.
Di mana-mana kehadirannya selalu dicurigai, bahkan ia diasingkan oleh sejumlah
penguasa negara.
Tujuan
utama al-Afghani adalah menggerakkan perlawanan terhadap kekuatan Eropa. Ia
menginginkan pemulihan zaman keemasan Islam masa silam. Dalam pandangannya,
perjuangan untuk mencapai kemerdekaan memerlukan solidaritas dan kaum Muslim
harus menjadi masyarakat ilmiah modern dan cakap secara teknik. Menurutnya,
Islam sangat tepat dijadikan landasan bagi sebuah masyarakat modern. Ia
berdalih bahwa al-Qur’an harus ditafsirkan dengan akal dan pastilah dibuka
kesempatan penafsiran ulang (reinterpretasi) oleh para individu pada setiap
zaman. Dengan menekankan penafsiran al-Qur’an secara rasional, ia yakin bahwa
Islam mampu menjadi dasar bagi sebuah masyarakat ilmiah modern. Ia juga
berdalih jika dipahami secara baik, Islam merupakan keyakinan yang dinamis,
sebab ia mendorong sikap aktif, yaitu sikap bertanggung jawab terhadap urusan
dunia. Lebih jauh, Islam merupakan dasar patriotisme dan loyalitas terhadap
sebuah bangsa. Al-Afghani yakin bahwasanya tugas Muslim sekarang ini adalah
memoderkan Islam, bahkan keyakinan dalam Islam merupakan syarat bagi
modernitas.
Modernisme
Islam menjadi berbeda di tangan seorang murid al-Afghani, yakni Muhammad Abduh.
Abduh lahir di sebuah keluarga terdidik dan ia dididik di Azhar. Ia terlibat
pemberontakan Urabi tahun 1881, diasingkan di tahun 1882, dan kembali ke Mesir
tahun 1888, dimana ia ditunjuk sebagai hakim, kemudian ditunjuk sebagai mufti
atau kepala hukum Islam dari tahun 1889 sampai 1905. Upaya Abduh sebagai mufti
diarahkan kepada pemodernan hukum Islam. Sebagaimana al-Afghani, ia menaruh
perhatian besar terhadap pertahanan masyarakat Muslim dalam menghadapi Eropa.
Abduh mengarah pada upaya reformulasi Islam, memisahkan yang esensial dari yang
tidak esensial. Ia membenarkan al-Qur’an dan Hadits sebagai petunjuk Tuhan,
tetapi ia menyatakan bahwa pemikiran adalah unsur utama dalam hal-hal yang
tidak tercantum dalam al-Qur’an dan Hadits.
Di
balik konsepnya inilah, Abduh menggagas gerakan internasional reformasi Islam,
dan ide membangkitkan semangat masyarakat Mesir abad delapan belas - sembilan
belas terhadap al-Qur’an dan Hadits. Gerakan reformasi tersebut bersekutu
dengan penyatuan thariqoh Naqsabandiyah di Syria dan di beberapa wilayah
kekuasaan Usmani lainnya.
Modernisme
Islam dan reformasi Islam merupakan program ideologis kelompok intelegensi
Mesir dalam beberapa dekade antara pemberontakan Urabi dan akhir abad ini.
Tujuan utama tidak lain yaitu untuk kebangkitan Islam dari keterpurukan. Sementara
al-Afghani lebih pada tujuan pragmatis terhadap solidaritas sosial-politik,
sedangkan Abduh lebih mengarah pada pendidikan hukum dan reformasi spiritual-agama.
Meski
tidak sepenuhnya berhasil mencapai tujuan yang dicanangkan, keduanya berhasil
melahirkan gerakan intelektual. Termasuk para penerus kedua pembaru ini, yaitu
Qasim Amin (w. 1908), orang pertama yang menyerang poligami, perceraian dan
penggunaan jilbab, dan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935), lahir di Kalamun
Libanon Utara, yang pergi ke Mesir pada tahun 1897, menyunting karya-karya
Muhammad Abduh, menulis biografinya, dan mempublikasikan tradisinya di majalah
al-Manar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar