Pages - Menu

Senin, 22 Februari 2016

I - Studi Peradaban Islam - Modernisme Islam di Mesir

MODERNISME ISLAM DI MESIR
A.      Potret Mesir sebelum Modernisme Islam
Mesir pada abad sembilan belas dan dua puluh menyerupai Turki sekalipun dalam beberapa hal penting terdapat perbedaan. Dari pemerintahan Usmani dan dari masyarakat yang Islamis, Mesir berkembang menjadi sebuah masyarakat sekuler. Meskipun sebagai bagian dari wilayah imperium Usmani, Mesir mempertahankan identitas politik dan kulturalmya sendiri. Di bawah pemerintahan Usmani, Mesir benar-benar diperintah oleh beberapa faksi militer Mamluk setempat.
Pada rentang abad delapan belas, disebabkan lemahnya kontrol Usmani, persaingan antara beberapa faksi Mamluk mengakibatkan terbengkalainya irigasi, kemerosotan pajak, dan meningkatkan otonomi pastoralisme dan kesukuan. Melemahnya pengaruh Usmani menyebabkan perubahan besar dalam seluruh sistem kemasyarakatan Mesir. Kondisi tersebut membuka kesempatan bagi serangan Napoleon pada tahun 1798, membuka kesempatan bagi intervensi pihak Inggris, dan berakhir dengan penunjukan Muhammad Ali sebagai gebernur Mesir pada tahun 1805.
Muhammad Ali melancarkan beberapa kebijakan asing secara gigih. Ia menundukkan kaum Wahabi dan memperkokoh kekuasaan Mesir atas Arabia Barat, kota suci Mekah dan Madinah. Ia memperluas kekuasaan Mesir di Sudan, dan mendukung kekuatan Usmani dalam peperangan kemerdekaan Yunani. Pada tahun 1831, ia menyerbu Syria dan megancam keutuhan imperium Usmani. Muhammad Ali berusaha menciptakan kekuasaan diktator yang dibangan di atas kekuasaan militer Turki, Kurdi, Circassia, dan beberapa pasukan militer lainnya. Ia menyusun sistem perpajakan baru dengan mempekerjakan petugas penarik pajak yang diberi gaji tetap, menggantikan pajak pertanian yang lama. Ia juga menghancurkan seluruh kekuatan politik, memusnahkan keluarga Mamluk.
Muhammad Ali melakukan reorganisasi perekonomian secara total. Ia memprakarsai pengembangan perkebunan tebu dan kapas karena keduanya adalah komoditas utama dalam pasar Internasional. Kontrol negara terhadap kegiatan petanian dan peragangan memungkinkan Muhammad Ali membeli kapas dari petani dengan harga yang sangat murah lalu menjualnya kepada eksporter dengan keuntungan yang tinggi. Ahli-ahli mesin dan teknisi didatangkan untuk membangun sejumlah pabrik yang menghasilkan kapas, wool, benang tekstil, gula, ketas, barang kulit dan senjata.
Reorganisasi tersebut secara tidak langsung menghancurkan tata aturan masyarakat sehingga nyaris menjadi sebuah kegaduhan terbesar dibandingkan yang pernah terjadi di wilayah imperium Usmani lainnya. Kebijakan Muhammad Ali di bidang ekonomi dan administrasi menyebabkan tumbuhnya elite baru para tuan tanah. Anggota keluarga pemerintah diberi perkebunan atau tanah yang disebut jifliks, dan sejumlah tanah bebas pajak diberikan kepada syaikh-syaikh kampung yang bertugas mengawasi pajak dan kopi. Penghapusan tanggung jawab warga kampung secara kolektif menyebabkan tiap-tiap individu di kampung bertanggung jawab membayar pajak. Kontrol pemerintah dan sistem pemilikan pribadi mengganti sistem kolektivitas perkampungan. Penghapusan ini menimbulkan ketidakberdayaan kaum petani, fungitivisme, dan menimbulkan serangkaian pemberontakan petani yang mewarnai Mesir pada tahun 1798 dan 1812, sepanjang tahun 1820-an, dari tahun 1846 sampai 1854, dan dari 1863 sampai 1865.
Elite Agama juga mengalami perubahan drastis. Pada abad delapan belas, ulama’ Mesir berperan sebagai penengah antara pemerintah dan masyarakat umum. Setelah perebutan kekuasaan antara Muhammad Ali dan pihak Mamluk lokal, ulama’ mencapai posisi tertingginya. Namun setelah Muhammad Ali memperkokoh kekuasaannya, ia mengharuskan kepatuhan ulama’ kepada rezim, mengasingkan tokoh-tokoh vokal mereka, menghapus hak pajak pertanian dan hak wakaf mereka, dan menjadikan penghasilan mereka bergantung kepada penguasa. Mereka kehilangan pengaruhnya dalam beberapa kebijakan yang bersifat publik dan bertahan dalam wilayah yang lebih sempit, yaitu dalam urusan pendidikan dan peradilan. Kaum Sufi juga mengalami pembatasan. Meskipun thariqoh, keluarga wali dan zawiyah abad delapan belas teta bertahan, namun Muhammad Ali menjadikan mereka berada di bawah kontrol negara.
Penundukan ulama’ dan lahirnya elite pedagang - tuan tanah dan elite intelektual membuka jalan bagi semakin radikalnya perubahan di tengah masyarakat Mesir. Sebelum elite baru ini meraih pengaruhnya, Mesir keburu jatuh di bawah kekuasaan Inggris. Inggris sangat berkepentingan untuk memperkokoh imperiumnya di India. Lebih dari itu pihak Inggris menginginkan sebuah kepentingan dalam perekonomian masyarakat Mesir. Pembaharuan yang dilakukan Muhammad Ali menjadikan Mesir sebagai pengekspor kapas dan menjadikan negeri ini merambah pasar internasional, membuat Mesir menjadi pengimpor pakaian Inggris. Hutang Mesir yang sangat besar untuk mendatangkan barang-barang mewah, perlengkapan persenjataan, mesin industri, perlengkapan berat untuk pembangunan kereta api dan penggalian Terusan Suez mengantarkan Mesir pada kepailitan, dan menerima bantuan administrasi manajemen asing. Bantuan inilah yang menjadi cikal bakal pemerintahan kolonial. Ia menimbulkan konflik antara kepentingan pihak asing dan kepentingan elite baru Mesir. Sehingga pada tahun 1879 dan 1881, pajabat tinggi militer yang bernama Urabi memimpin demonstrasi merebut kekuasaan atas kementrian perang dan membentuk sebuah pemerintahan parlementer. Inggris menolak kompromi dan membombarder kota Alexandria mangalahkan kekuatan Urabi, dan pada tahun 1882 mengambil alih kekuasaan sepenuhnya atas negeri ini atas nama pemegang hak obligasi.
Pada tahun 1882 hingga Perang Dunia Pertama, Inggris menangani perekonomian Mesir secara efisien, namun kebijakan ini semata untuk kepentingan pemerintahan imperialnya. Dari sini tumbuh kebencian yang sangat mendalam terhadap pemerintahan Inggris dalam menggunakan kekuatan, ketidak-seimbangan dalam berbagai kebijakan perekonomian, pemecatan pejabat-pejabat Mesir yang digantikan pejabat-pejabat Inggris, pengabaian pendidikan dan eksploitasi Mesir secara menyeluruh. Elite tuan tanah dan elite intelektual Mesir melanjutkan perlawanan mereka. Elite ini menyatakan jati dirinya melalui dua posisi ideologis; modernisme Islam dan Nasionalisme Mesir.
B.       Lahir Modernisme Islam di Mesir
Juru bicara terbesar bagi modernisme Islam Mesir abad sembilan belas adalah Jamaluddin al-Afghani (1839-1897) dan muridnya Muhammad Abduh (1849-1905). Al-Afghani berkebangsaan Iran belakangan mengklaim sebagai warga Afghan dalam rangka meyakinkan kesesuaiannya dengan kalangan Muslim Sunni. Sebagai seorang yang terdidik dalam ajaran Syi’ah, ia sangat dikenal sebagai filosof Muslim. Karir politiknya mengantarkan dirinya ke India, Afghanistan, Mesir, Prancis, England, Iran dan akhirnya ke Istambul, tempat ia meninggal dunia.
Al-Afghani berusaha membangkitkan kesadaran Muslim terhadap ancaman dominasi bangsa Eropa dan untuk menentang penguasa Muslim yang bersekongkol dengan intervensi pihak Kristen. Sebagai penggugah politik yang penuh semangat, seorang dosen yang penuh gagasan, seorang penggagas ide-ide novel dan penuh imajenatif, ia mencurahkan pikiran dan usianya untuk mempengaruhi penguasa agar memoderkan Islam. Di mana-mana kehadirannya selalu dicurigai, bahkan ia diasingkan oleh sejumlah penguasa negara.
Tujuan utama al-Afghani adalah menggerakkan perlawanan terhadap kekuatan Eropa. Ia menginginkan pemulihan zaman keemasan Islam masa silam. Dalam pandangannya, perjuangan untuk mencapai kemerdekaan memerlukan solidaritas dan kaum Muslim harus menjadi masyarakat ilmiah modern dan cakap secara teknik. Menurutnya, Islam sangat tepat dijadikan landasan bagi sebuah masyarakat modern. Ia berdalih bahwa al-Qur’an harus ditafsirkan dengan akal dan pastilah dibuka kesempatan penafsiran ulang (reinterpretasi) oleh para individu pada setiap zaman. Dengan menekankan penafsiran al-Qur’an secara rasional, ia yakin bahwa Islam mampu menjadi dasar bagi sebuah masyarakat ilmiah modern. Ia juga berdalih jika dipahami secara baik, Islam merupakan keyakinan yang dinamis, sebab ia mendorong sikap aktif, yaitu sikap bertanggung jawab terhadap urusan dunia. Lebih jauh, Islam merupakan dasar patriotisme dan loyalitas terhadap sebuah bangsa. Al-Afghani yakin bahwasanya tugas Muslim sekarang ini adalah memoderkan Islam, bahkan keyakinan dalam Islam merupakan syarat bagi modernitas.
Modernisme Islam menjadi berbeda di tangan seorang murid al-Afghani, yakni Muhammad Abduh. Abduh lahir di sebuah keluarga terdidik dan ia dididik di Azhar. Ia terlibat pemberontakan Urabi tahun 1881, diasingkan di tahun 1882, dan kembali ke Mesir tahun 1888, dimana ia ditunjuk sebagai hakim, kemudian ditunjuk sebagai mufti atau kepala hukum Islam dari tahun 1889 sampai 1905. Upaya Abduh sebagai mufti diarahkan kepada pemodernan hukum Islam. Sebagaimana al-Afghani, ia menaruh perhatian besar terhadap pertahanan masyarakat Muslim dalam menghadapi Eropa. Abduh mengarah pada upaya reformulasi Islam, memisahkan yang esensial dari yang tidak esensial. Ia membenarkan al-Qur’an dan Hadits sebagai petunjuk Tuhan, tetapi ia menyatakan bahwa pemikiran adalah unsur utama dalam hal-hal yang tidak tercantum dalam al-Qur’an dan Hadits.
Di balik konsepnya inilah, Abduh menggagas gerakan internasional reformasi Islam, dan ide membangkitkan semangat masyarakat Mesir abad delapan belas - sembilan belas terhadap al-Qur’an dan Hadits. Gerakan reformasi tersebut bersekutu dengan penyatuan thariqoh Naqsabandiyah di Syria dan di beberapa wilayah kekuasaan Usmani lainnya.
Modernisme Islam dan reformasi Islam merupakan program ideologis kelompok intelegensi Mesir dalam beberapa dekade antara pemberontakan Urabi dan akhir abad ini. Tujuan utama tidak lain yaitu untuk kebangkitan Islam dari keterpurukan. Sementara al-Afghani lebih pada tujuan pragmatis terhadap solidaritas sosial-politik, sedangkan Abduh lebih mengarah pada pendidikan hukum dan reformasi spiritual-agama.

Meski tidak sepenuhnya berhasil mencapai tujuan yang dicanangkan, keduanya berhasil melahirkan gerakan intelektual. Termasuk para penerus kedua pembaru ini, yaitu Qasim Amin (w. 1908), orang pertama yang menyerang poligami, perceraian dan penggunaan jilbab, dan Muhammad Rasyid Ridha (w. 1935), lahir di Kalamun Libanon Utara, yang pergi ke Mesir pada tahun 1897, menyunting karya-karya Muhammad Abduh, menulis biografinya, dan mempublikasikan tradisinya di majalah al-Manar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar