Pages - Menu

Senin, 22 Februari 2016

II - Studi Hadits - Review Erwin Hafid - Mustofa Azami dan Kritik Pemikiran Hadis orientalis

Review Erwin Hafid: Mustofa Azami dan Kritik Pemikiran Hadis orientalis[1]

1.1    Pendahuluan
Hadits Nabi SAW diyakini oleh mayoritas umat Islam sebagai realisasi dari ajaran Al-Quran. Dalam hubungan antara keduanya, hadits berfungsi sebagai penjelas Al-Quran.[2] Para ahli sejarah mencatat, hadits baru seabad lebih kemudian dibukukan. Selama itulah hadits bertebaran di masyarakat Islam dan umumnya hanya dilestarikan hanya dalam bentuk hafalan saja. Hal ini memungkinkan adanya unsur-unsur budaya masuk generasi periwayat hadits masuk dalam periwayatan mereka. Karena itu untuk mengungkap periwayatan hadits, harus dikaitkan dengan generasi awal periwayat hadits itu sendiri, yakni para sahabat Nabi. Para ahli hadits kontemporer dalam menilai peranan sahabat dalam periwayatan hadits sangat beragam. Umumnya kritis sehingga konsep al-Jarh wa al-Ta’dil, yakni suatu ilmu untuk menilai diterima atau ditolaknya seorang rawi hadits, tampak diberlakukan juga pada sahabat.[3]
Disebabkan lamanya tenggang waktu antara Rasulullah dengan masa
pembukuan Hadis ini, menjadikan Hadis sebagai sasaran empuk bagi orang yang tidak senang dengan agama Islam, khsusnya oleh kaum orientalis yang ingin menginginkan agar umat Islam tidak percaya kepada Hadis, atau paling tidak membuat umat Islam meragukan sumber hukum Islam yang kedua itu dari hasil penelitian yang mereka lakukan.
Ada 3 alasan tidak ditulisnya hadits secara resmi pada zaman Nabi dan sahabat itu lebih disebabkan antara lain: Pertama, karena Nabi sendiri memang pernah melarangnya, meskipun di antara sahabat atas izin Nabi juga telah mencatat sebagian hadits yang disampaikan beliau.[4] Kedua, karena sebagian besar sahabat cenderung lebih konsen memperhatikan al-Quran untuk dihafal dan ditulisnya pada papan, pelepah kurma, kulit binatang dan lain sebagiannya. Sedangkan terhadap hadits Nabi sendiri, disamping menghafalnya, mereka cenderung langsung melihat praktek yang dilakukan Nabi, lalu mereka mengikutinya. Ketiga, karena ada kekhawatiran terjadinya iltibas (campur aduk) antara ayat Al-Quran dengan hadits.[5]
Kenyataan ini telah memicu berbagai spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits. Beberapa penulis dari kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas al-Hadits.[6] Namun disisi lain ada pakar hadits yang dengan pembuktian ilmiah mampu mematahkan teori usang tersebut. Pakar hadits yang penulis maksud adalah M M. Azami. Maka dari itu dalam tulisan singkat ini penulis akan membahas sosok Azami dan bagaimana metodologi beliau mengenai bagaimana cara menguji keotentikan sebuah hadits nabi.
Banyak pemikir hadis baik dari kalangan muslim maupun orientalis yang telah memberikan warna dalam kajian hadis. Sementara itu bila dilihat dari sisi kecenderungan, terdapat perbedaan mencolok dalam kajian hadis di Barat, yakni kelompok yang sering disebut skeptis dan believers.[7] Kelompok pertama mengkaji hadis berangkat dari keraguan menerima hadis yang banyak bertentangan dengan kenyataan sejarah oleh karenanya tidak terbukti otentik.[8] Sedangkan kelompok kedua mengkaji hadis didasarkan pada keyakinan akan kebenaran hadis, baik sisi historis maupun keotentikannya. Hadis merupakan sumber hukum dan doktrin teologis sehingga kecenderungannya berupaya menjaga keberadaan hadis.[9]

1.2    Mengenal M. M. Azami
Nama Azami adalah Muhammad Mustafa Azami, dalam beberapa literatur ada yang menyebut al-A’zhami, dan Azmi. Meski cara penuturan yang berbeda tetapi maksud dari penyebutan ini adalah sama. Di dalam penelitian ini peneliti menggunakan penyebutan Muhammad Mustafa Azami ditulis inisialnya saja yakni M.M. dan ini seringkali tidak disebut melainkan hanya disebut nama belakangnya yakni Azami. Alasannya untuk meringkas dalam penyebutan dan penulisan.
Azami dilahirkan di Mano, Azamgarh dalam wilayah Uttar Pradesh, daerah di India Utara, pada tahun 1932. Kata Azami atau al-A’zhami adalah nisbah pada daerah Azamgarh.[10] Azami dikenal sebagai seorang yang cinta ilmu pengetahuan khususnya keislaman (hadis) dan sangat membenci ideologi imperalisme. Tidak heran jika ayahnya sendiri amat membenci bahasa Inggris dan melarangnya untuk mempelajari bahasa tersebut. Kenyataan ini dirasakannya ketika ia dilarang ayahnya masuk pendidikan yang menggunakan bahasa Inggris dan lebih mengarahkan kepada pendidikan agama dan menggunakan pengantar bahasa Arab dalam studinya, dan di sinilah hadis dan ilmu hadis mulai dipelajarinya.
Hal ini dimaklumi sebab daerah India kala itu merupakan daerah jajahan Inggris. Dampak dari penjajahan itu adalah hancurnya kesatuan rakyat India menjadi kepada kelompok-kelompok kecil sehingga mudah dikuasai.[11] Azami salah seorang cendikiawan bidang hadis yang memang cukup berbeda bila dibandingkan dengan para tokoh lain sewaktu belajar di pusat orientalis atau negara non-Muslim. Fokus kajiannya cenderung kepada kajian di bidang hadis dan ilmu hadis.[12] Azami merupakan peneliti yang ikut andil dalam perdebatan kajian hadis di Barat bersama para orientalis. Ciri khusus dari spesialisasi Azami adalah mengkritik pandangan mereka terhadap kajian Islam, khususnya hadis Nabi saw. Riwayat pendidikan Azami cukup dipengaruhi oleh bimbingan dan arahan ayahnya. Kemanapun pendidikan masa kecil Azami selalu dalam arahan orang tua dan bukan kemauan pribadi Azami semata. Azami memiliki ayah seorang pencari ilmu dan benci penjajahan, termasuk bahasa Inggris.
Setelah selesai melalui pendidikan tingkat menengah, Azami meneruskan pendidikan tingkat perguruan tinggi di India, lalu melanjutkan ke universitas al-Azhar dan ke Cambirdge Inggris. Secara sederhana, perjalanan intelektual Azami dapat dibagi kepada dua fase yang cukup berpengaruh terhadap kecenderungan dan pola pikir Azami dalam kajian hadis. Fase pertama (1952-1964) Pada periode ini, Azami mengalami transformasi pemikiran dari Collegeof Science di Deoband dan Universitas al-Azhar Kairo. Fase II (1964-1966)bersentuhan langsung dengan pemikiran orientalis di Cambridge Inggris.
1.3    M. M. Azami dan Orientalis
Gugatan orientalis terhadap hadits bermula pada pertengahan abad ke-19 M. Adalah Alois Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad saw, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).[13] Sementara itu Ignaz Goldziher berpendapat bahwa dari sekian banyak hadits nabi yang ada, sebagian besarnya tidak dapat dijamin keasliannya alias palsu. Sebagaimana dikutip oleh Juynboll, Goldziher megatakan “Scarcely a single tradition could be proven to be the genuine words of the prophet or reliable description of his behaviour". Ini artinya bahwa Goldziher telah mencoba memasukkan virus keraguan dalam pikiran umat islam mengenai otentisitas hadits. Kalaupun ada hadits yang benar-benar otentik dari Nabi, itu sangat sedikit sekali.[14]
Teori Ignaz Goldziher ini kemudian dilanjutkan oleh J. Schacht, orientalis Jerman yang juga keturunan Yahudi. Dalam bukunya, Schacht menyatakan bahwa tidak ada hadits yang benar-benar asli dari Nabi saw, dan kalaupun ada dan bisa dibuktikan, maka jumlahnya sangat sedikit sekali: “we shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic”.[15] Masih menurut Schacht, sistem periwayatan berantai atau isnad berasal dari bentuk sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengkaitkan doktrin aliran-aliran fiqih klasik kepada tokoh-tokok yang lebih awal seperti sahabat dan akhirnya kepada Nabi, karena isnad merupakan rekayasa sebagai hasil dari pertententangan antara aliran fikih klasik dan ahli Hadits, tak satu pun Hadits Nabi, lebih-lebih yang berkenaan dengan masalah hukum dapat dipertanggung jawabkankan sebagai Hadits shahih. Singkatnya Hadits tidak berasal dari Nabi, tapi dari generasi tabi‟in.[16]
Bagi M.M Azami, otentisitas hadits itu sampai sekarang tetap dapat dibuktikan secara ilmiah dan historis. Kehidupan Nabi merupakan model yang harus di ikuti oleh kaum muslimin tanpa terikat oleh ruang dan waktu. Karena alasan ini, maka para sahabat bahkan sejak beliau masih hidup telah mulai menyebarluaskan pengetahuan tentang sunnah dan Nabi sendiri juga memerintahkan mereka melakukan hal itu.[17]
Untuk membantah teori yang dikemukakan oleh para orientalis, khususnya Prof. Schacht, yang meneliti dari aspek sejarah, maka M.M. Azami menghancurkan teori Schacht ini juga melalui penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus tentang Hadis-Hadis nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail) adalah murid Abu Hurairah shahabat nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis. Sementara azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka. Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai 30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang mereka riwayatkan redaksinya sama.9
Azami berkesimpulan bahwa sangat mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah berkumpul untuk membuat Hadis palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat mustahil pula bila mereka masing-masing membuat Hadis, kemudian oleh generasi berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu sama. Kesimpulan Azami ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht, baik tentang rekontruksi terbentuknya sanad hadis, maupun bunyi teks (matan) Hadis tersebut.
Sebagai contoh, Azami mengemukakan Hadis yang artinya di mana Nabi saw. bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu bangun dari tidurnya, maka hendaknya ia mencuci tangannya, karena ia tidak tahu semalam tangannya berada di mana”. Hadis ini dalam naskah Suhail bin Abi Shaleh berada pada urutan nomor 7, dan pada jenjang pertama (generasi shahabat) diriwayatkan oleh lima orang, yaitu Abu Hurairah, Ibn Umar, Jabir, Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib. Abu Hurairah sendiri kemudian meriwayatkan Hadis tersebut kepada tiga belas orang tabi’in (generasi kedua). Tiga belas orang tabi’in ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru negeri Islam. Delapan orang tetap tinggal di Madinah, seorang tinggal di Kufah, dua orang tinggal di Basharah, seorang tinggal di Yaman, dan seorang lagi tinggal di Syam. Tiga belas Tabi’in ini kemudian meriwayatkan lagi kepada generasi berikutnya (generasi ketiga = Tabi’ Tabi’in), dan jumlah mereka menjadi = tidak kurang dari enam belas orang. Mereka tinggal di Madinah (enam orang), Bashrah (empat orang), Kufah (dua orang), Makkah (satu orang), Yaman (satu orang), Khurasan (satu orang), dan Himsh-Syam (satu orang).[18] Maka mustahil lima belas orang yang domisilinya terpencar-pencar di tujuh kota yang berjauhan itu pernah berkumpul pada satu saat untuk bersama-sama membuat Hadis palsu yang redaksinya sama, atau mustahil pula, bila mereka secara sendiri-sendiri di kediamannya masing-masing membuat Hadis, dan kemudian diketahui bahwa bahwa redaksi Hadis tersebut secara kebetulan sama. Enam belas orang rawi di atas adalah hanya dari jalur Abu Hurairah. Apabila jumlah rawi itu ditambah dengan rawi-rawi dari empat jalur lainnya, yaitu Ibn Umar, Jubir, Aisyah, dan Ali, maka jumlah perawi itu akan menjadi lebih banyak.[19]
Dengan demikian apa yang dikembangkan oleh Prof. Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah tidak benar, hal ini sudah dibuktikan oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang muttashil sampai kepada rasulullah saw. melalui jalur-jalur yang telah disebutkan di atas. Hal ini membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang sekarang bukanlah buatan para qadhi, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan yang datang dari rasul saw. sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.
Untuk memperoleh otentitas hadits, menurut M M Azami, maka seseorang harus melakukan kritik hadits. Menurutnya, kritik hadits sejauh menyangkut nash atau dokumen terdapat beberapa metode. Namun hampir semua metode tersebut dapat dimasukkan dalam kategori perbandingan atau cross reference. Dengan mengumpulkan semua bahan yang berkaitan atau katakanlah semua hadits yang berkaitan, membandingkannya dengan cermat satu sama lain, orang akan menilai keakuratan para ulama‟. Dalam hal ini sebagaimana dikutip M.M Azami, Ibn Mubarak pernah berkata: “untuk mencapai pernyataan yang otentik, orang perlu membandingkan kata-kata para ulama’ satu dengan yang lain”.[20]
Masih menurut M. M. Azami, untuk mengetahui otentitas hadits, maka seseorang harus melakukan kritik hadits baik itu menyangkut sanad hadits maupun matannya. Adapun rumusan metodologis yang ditawarkan untuk membuktikan keotentikan hadits nabi diantaranya:[21]
1.         Memperbandingkan hadits-hadits dari berbagai murid seorang guru.
2.         Memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari para ulama dari beberapa waktu yang berbeda.
3.         Memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis.
4.         Memperbandingkan hadits-hadits dengan Ayat al-Qur‟an yang berkaitan.



1.4    Simpulan
M M. Azami merupakan ilmuwan hadits yang memadukan metodologi barat (kritik sejarah) dan metodologi kritik hadits/sanad yang dikembangkan oleh ulama di masa lampau yang sudah mapan. Walau beliau pernah mengenyam pendidikan di Barat, namun ia tetaplah hanif, pemikirannya tidak liberal sebagaimana sarjana muslim lainnya ketika selesai menempuh studi di Barat.
Menurut M M. Azami, para orientalis yang meragukan adanya sistem isnad, disebabkan karena terjadi kesalahan metodologis dalam meneliti materi studi sanad itu sendiri. Mereka umumnya meneliti sanad bukan dari kitab hadits asli, melainkan dari kitab sirah atau kitab fiqh, yang cara penyusunanya berbeda sekali dengan penyusunan kitab hadits. Lebih parah lagi, kesimpulan dari hasil kajian tersebut lalu digeneralisir, sehingga ada orientalis berkesimpulan bahwa teori sistem isnad merupakan rekayasa sebagai hasil dari pertententangan antara aliran fikih klasik dan ahli Hadits.
Otentisitas hadits sesungguhnya dapat dibuktikan secara ilmiah melalui metodologi kritik hadits, antara lain dengan: 1) membandingkan haditsdis-hadits dari berbagai murid seorang syeikh (guru); 2) memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari seorang ulama‟ yang dikeluarkan pada waktu-waktu yang berlainan 3) memperbandingkan pembacaan lisan dengan dokumen tertulis 4) memperbandingkan hadits-hadits dengan ayat al-Quran yang berkaitan dengannya.



Daftar Pustaka


Abdurrahman Wahid (et.al). 2002. M.M. Azami Pembela Eksistensi Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus
Ali Masrur. 2007. Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi. cet. ke-1. Yogyakarta: LKiS
Badri Khaeruman. 2004. Otentisitas Haditst. Bandung: Rosda
Hasbi Ash-Shiddieqy. 2009. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra
Joseph Schacht. 2010. The Origins of Muhammadan Jurisprudence: Tentang asal-usul Hukum Islam dan Masalah Otentitas Sunnah. Yogyakarta: Insan Madani
Kamarudin Amin. 2009. cet. Ke-1. Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis. Jakarta: Hikmah
Kamarudin Amin, “Diskursus Hadits di Jerman” dalam www.islampeace.net diakses pada 25 Juni 2015
Masykur Hakim. 2009. “Dari India untuk Dunia: Peran D_rul Ulum Deoband dalam Pelestarian Hadis dan Ulumul Hadis” dalam Refleksi Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. XI, No. 2
M. M. Azami. 2006. Hadis Nabawi dan Sejarah kodifikasinya. terj. Ali Mustafa Yakub Jakarta: Pustaka Firdaus
M. M. Azami. 1977. Studies in Hadith: Methodology and Literature. Indiana Polis: American Trust Publications
M. M. Azami. 1978. Studies in Early Hadits Literature. Indianapolis-Indiana: American Trust Publication
Syamsuddin Arif. 2008. Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema insani
Ugi Suharto. 2004. “Peranan tulisan dalam Periwayatan Haditst” dalam Majalah Islamia Thn 1 No. 2, Juni-Agustus



[1] Jurnal Al-Fikr Volume 14 No. 2 Tahun 2010 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar Jl. St. Alauddin No. 36 Samata, Gowa, Sulawesi-Selatan
[2] Badri Khaeruman, Otentisitas Haditst, (Bandung: Rosda, 2004), hal. 27
[3] Studi hadits di Barat berbeda secara fundamental dari studi hadits di tempat lain seperti di Timur Tengah dan Indonesia. Kalau di Timur Tengah dan Indonesia studi hadits menekankan pada bagaimana melakukan takhrij hadits untuk menentukan otentisitasnya, maka studi hadits di Barat menekankan bagaimana melakukan dating (penanggalan) hadits untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang terjadi pada masa awal Islam. Lihat Kamarudin Amin, “Diskursus Hadits di Jerman” dalam www.islampeace.net (Di akses pada 25 Juni 2015)
[4] Riwayat Muslim yang menyatakan bahwa Rasulullah menyuruh sahabatnya menghapus seluruh catatan hadits selain al-Qur’an, maksud larangan diantaranya dimaksudkan hanya apabila haditst ditulis bersamaan dengan al-Qur’an dalam satu lembaran. Sumber: Ugi Suharto, “Peranan tulisan dalam Periwayatan Haditst” dalam Majalah Islamia Thn 1 No. 2, Juni-Agustus 2004. hal 78
[5] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hal. 31
[6] Goldziher misalnya, dalam bukunya Muhammedanische Studien, berpendapat bahwa dari sekian banyak haditst yang ada, sebagian besarnya –untuk tidak mgatakan seluruhnya- tidak dapat dijamin keasliaannya alias palsu dan karena itu, tidak dapat dijadikan sumber informasi mengenai sejarah Islam.
[7] Ali Masrur mengutip pandangan J. Koren dan Y.D. Nevo menggunakan istilah tradisional bagi kelompok pengkaji hadis yang cenderung mengikuti metode dan arah pemikiran sarjana muslim secara umum. Sementara revisionis diperuntukan bagi kelompok pengkaji hadis yang cenderung skeptic terhadap keberadaan hadis. Kelompok terakhir terdiri Dari kalangan orientalis dan mereka yang memiliki pemahaman sama. Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan Hadis Nabi, cet. ke-1 (Yogyakarta: LKiS, 2007), 31
[8] Abdurrahan Wahid mencoba membuat klasifikasi masa kemunculan skeptisisme terhadap hadis kepada tiga periode, yakni: masa pra Goldziher, masa Goldziher cs menyusun teori mereka, dan masa setelah Goldziher. Perkembangan pemikiran skeptisisme ini berkembang pesat pada masa Goldziher dan lainnya. Masamasa sesudah mereka hanya mengikuti arah kajian dan memperlebar serta mengokohkan tesis Goldziher semata. Abdurrahman Wahid (et.al) M.M. Azami Pembela Eksistensi Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), 27-34
[9] Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta: Hikmah, 2009), cet. Ke-1, 1
[10] M. Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yakub (Jakarta; pustaka Firdaus, 2006), cet. ke-3, 700. Ada ulama Arab yang memiliki gelar al-A’z}ami dari wilayah Iraq seperti seorang syeikh Qira’at yakni Syeikh al-A’z}ami yang berasal dari wilayah al-‘Az}amiyah, Iraq. Sementara tokoh yang menjadi fokus kajian disertasi ini adalah Azami.
[11] Masykur Hakim, “Dari India untuk Dunia: Peran D_rul Ulum Deoband dalam Pelestarian Hadis dan Ulumul Hadis” dalam Refleksi Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. XI, No. 2, 2009, 135
[12] Belakangan Azami mencoba mengkancah studi al-Qur’an dengan tema “The History of the Qur’anic Text, From Revelation to Compilation. A Comparative Study with the Old and New Testaments”. Sohirin Solihin dan kawan-kawan menterjemahkan ke dalam edisi Indonesia dan untuk pertama kali diterbitkan tahun 2005
[13] Syamsuddin Arif, Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, (Jakarta: Gema insani, 2008), hal. 28
[14] Pendapat Goldziher turut diamini oleh orientalis Inggris bernama Alfred Guilaume. Dalam bukunya mengenai sejarah haditst sebagaimana dikutip oleh Syamsuddin arif, mantan guru besar Universitas Oxford ini mengklaim bahwa sangat sulit untuk mempercayai literratur haditst secara keseluruhannya sebagai rekaman otentik dari semua perkataan dan perbuatan Nabi saw. Baca: Syamsuddin Arif, Ibid, hal 31
[15] Lihat Joseph Schacht, The Origins of Muhammadan Jurisprudence: Tentang asal-usul Hukum Islam dan Masalah Otentitas Sunnah (Yogyakarta: Insan Madani, 2010), hal. 77
[16] Ibid, hal 97-98
[17] M. M. Azami, Studies in Hadith: Methodology and Literature. (Indiana Polis: American Trust Publications, 1977), hal. 46
[18] M. M. Azami, Studies in Early Hadits Literature, Indianapolis-Indiana, American Trust Publication, 1978, hlm. 225-226
[19] Ibid, hlm 227
[20] Ibid, hal. 51-52
[21] Ibid, hal. 52

Tidak ada komentar:

Posting Komentar