Review Erwin Hafid:
Mustofa Azami dan Kritik Pemikiran Hadis orientalis[1]
1.1 Pendahuluan
Hadits Nabi SAW diyakini
oleh mayoritas umat Islam sebagai realisasi dari ajaran Al-Quran. Dalam
hubungan antara keduanya, hadits berfungsi sebagai penjelas Al-Quran.[2] Para ahli sejarah
mencatat, hadits baru seabad lebih kemudian dibukukan. Selama itulah hadits
bertebaran di masyarakat Islam dan umumnya hanya dilestarikan hanya dalam
bentuk hafalan saja. Hal ini memungkinkan adanya unsur-unsur budaya masuk
generasi periwayat hadits masuk dalam periwayatan mereka. Karena itu untuk
mengungkap periwayatan hadits, harus dikaitkan dengan generasi awal periwayat
hadits itu sendiri, yakni para sahabat Nabi. Para ahli hadits kontemporer dalam
menilai peranan sahabat dalam periwayatan hadits sangat beragam. Umumnya kritis
sehingga konsep al-Jarh wa al-Ta’dil, yakni suatu ilmu untuk menilai
diterima atau ditolaknya seorang rawi hadits, tampak diberlakukan juga pada
sahabat.[3]
Disebabkan lamanya
tenggang waktu antara Rasulullah dengan masa
pembukuan Hadis ini, menjadikan Hadis sebagai sasaran empuk bagi orang yang tidak senang dengan agama Islam, khsusnya oleh kaum orientalis yang ingin menginginkan agar umat Islam tidak percaya kepada Hadis, atau paling tidak membuat umat Islam meragukan sumber hukum Islam yang kedua itu dari hasil penelitian yang mereka lakukan.
pembukuan Hadis ini, menjadikan Hadis sebagai sasaran empuk bagi orang yang tidak senang dengan agama Islam, khsusnya oleh kaum orientalis yang ingin menginginkan agar umat Islam tidak percaya kepada Hadis, atau paling tidak membuat umat Islam meragukan sumber hukum Islam yang kedua itu dari hasil penelitian yang mereka lakukan.
Ada 3 alasan tidak ditulisnya hadits
secara resmi pada zaman Nabi dan sahabat itu lebih disebabkan antara lain: Pertama,
karena Nabi sendiri memang pernah melarangnya, meskipun di antara sahabat
atas izin Nabi juga telah mencatat sebagian hadits yang disampaikan beliau.[4]
Kedua, karena sebagian besar sahabat cenderung lebih konsen
memperhatikan al-Quran untuk dihafal dan ditulisnya pada papan, pelepah kurma,
kulit binatang dan lain sebagiannya. Sedangkan terhadap hadits Nabi sendiri,
disamping menghafalnya, mereka cenderung langsung melihat praktek yang
dilakukan Nabi, lalu mereka mengikutinya. Ketiga, karena ada
kekhawatiran terjadinya iltibas (campur aduk) antara ayat Al-Quran
dengan hadits.[5]
Kenyataan ini telah memicu berbagai
spekulasi berkaitan dengan otentisitas al-Hadits. Beberapa penulis dari
kalangan orientalis menjadikan hal ini sebagai sasaran tembak untuk membangun
teorinya yang mengarah pada peraguan terhadap otentisitas al-Hadits.[6]
Namun disisi lain ada pakar hadits yang dengan pembuktian ilmiah mampu
mematahkan teori usang tersebut. Pakar hadits yang penulis maksud adalah M M.
Azami. Maka dari itu dalam tulisan singkat ini penulis akan membahas sosok
Azami dan bagaimana metodologi beliau mengenai bagaimana cara menguji
keotentikan sebuah hadits nabi.
Banyak pemikir hadis baik dari kalangan muslim maupun
orientalis yang telah memberikan warna dalam kajian hadis. Sementara itu bila
dilihat dari sisi kecenderungan, terdapat perbedaan mencolok dalam kajian hadis
di Barat, yakni kelompok yang sering disebut skeptis dan believers.[7]
Kelompok pertama mengkaji hadis berangkat dari keraguan menerima hadis yang
banyak bertentangan dengan kenyataan sejarah oleh karenanya tidak terbukti
otentik.[8]
Sedangkan kelompok kedua mengkaji hadis didasarkan pada keyakinan akan
kebenaran hadis, baik sisi historis maupun keotentikannya. Hadis merupakan
sumber hukum dan doktrin teologis sehingga kecenderungannya berupaya menjaga
keberadaan hadis.[9]
1.2
Mengenal
M. M. Azami
Nama Azami adalah Muhammad Mustafa Azami, dalam
beberapa literatur ada yang menyebut al-A’zhami, dan Azmi. Meski cara penuturan
yang berbeda tetapi maksud dari penyebutan ini adalah sama. Di dalam penelitian
ini peneliti menggunakan penyebutan Muhammad Mustafa Azami ditulis inisialnya
saja yakni M.M. dan ini seringkali tidak disebut melainkan hanya disebut nama
belakangnya yakni Azami. Alasannya untuk meringkas dalam penyebutan dan
penulisan.
Azami dilahirkan di Mano, Azamgarh dalam wilayah Uttar
Pradesh, daerah di India Utara, pada tahun 1932. Kata Azami atau al-A’zhami
adalah nisbah pada daerah Azamgarh.[10]
Azami dikenal sebagai seorang yang cinta ilmu pengetahuan khususnya keislaman
(hadis) dan sangat membenci ideologi imperalisme. Tidak heran jika ayahnya
sendiri amat membenci bahasa Inggris dan melarangnya untuk mempelajari bahasa
tersebut. Kenyataan ini dirasakannya ketika ia dilarang ayahnya masuk
pendidikan yang menggunakan bahasa Inggris dan lebih mengarahkan kepada
pendidikan agama dan menggunakan pengantar bahasa Arab dalam studinya, dan di
sinilah hadis dan ilmu hadis mulai dipelajarinya.
Hal ini dimaklumi sebab daerah India kala itu
merupakan daerah jajahan Inggris. Dampak dari penjajahan itu adalah hancurnya
kesatuan rakyat India menjadi kepada kelompok-kelompok kecil sehingga mudah
dikuasai.[11]
Azami salah seorang cendikiawan bidang hadis yang memang cukup berbeda bila
dibandingkan dengan para tokoh lain sewaktu belajar di pusat orientalis atau
negara non-Muslim. Fokus kajiannya cenderung kepada kajian di bidang hadis dan
ilmu hadis.[12]
Azami merupakan peneliti yang ikut andil dalam perdebatan kajian hadis di Barat
bersama para orientalis. Ciri khusus dari spesialisasi Azami adalah mengkritik
pandangan mereka terhadap kajian Islam, khususnya hadis Nabi saw. Riwayat
pendidikan Azami cukup dipengaruhi oleh bimbingan dan arahan ayahnya. Kemanapun
pendidikan masa kecil Azami selalu dalam arahan orang tua dan bukan kemauan
pribadi Azami semata. Azami memiliki ayah seorang pencari ilmu dan benci
penjajahan, termasuk bahasa Inggris.
Setelah selesai melalui pendidikan tingkat menengah,
Azami meneruskan pendidikan tingkat perguruan tinggi di India, lalu melanjutkan
ke universitas al-Azhar dan ke Cambirdge Inggris. Secara sederhana, perjalanan
intelektual Azami dapat dibagi kepada dua fase yang cukup berpengaruh terhadap
kecenderungan dan pola pikir Azami dalam kajian hadis. Fase pertama (1952-1964)
Pada periode ini, Azami mengalami transformasi pemikiran dari Collegeof Science
di Deoband dan Universitas al-Azhar Kairo. Fase II (1964-1966)bersentuhan
langsung dengan pemikiran orientalis di Cambridge Inggris.
1.3
M.
M. Azami dan Orientalis
Gugatan
orientalis terhadap hadits bermula pada pertengahan abad ke-19 M. Adalah Alois
Sprenger, yang pertama kali mempersoalkan status hadits dalam Islam. Dalam pendahuluan
bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad saw, misionaris asal
Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadits merupakan
kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).[13]
Sementara itu Ignaz Goldziher berpendapat bahwa dari sekian banyak hadits nabi
yang ada, sebagian besarnya tidak dapat dijamin keasliannya alias palsu.
Sebagaimana dikutip oleh Juynboll, Goldziher megatakan “Scarcely a single
tradition could be proven to be the genuine words of the prophet or reliable
description of his behaviour". Ini artinya bahwa Goldziher telah
mencoba memasukkan virus keraguan dalam pikiran umat islam mengenai otentisitas
hadits. Kalaupun ada hadits yang benar-benar otentik dari Nabi, itu sangat
sedikit sekali.[14]
Teori
Ignaz Goldziher ini kemudian dilanjutkan oleh J. Schacht, orientalis Jerman
yang juga keturunan Yahudi. Dalam bukunya, Schacht menyatakan bahwa tidak ada
hadits yang benar-benar asli dari Nabi saw, dan kalaupun ada dan bisa
dibuktikan, maka jumlahnya sangat sedikit sekali: “we shall not meet any
legal tradition from the prophet which can be considered authentic”.[15]
Masih menurut Schacht, sistem periwayatan berantai atau isnad berasal dari
bentuk sederhana, lalu diperbaiki sedemikian rupa dengan cara mengkaitkan
doktrin aliran-aliran fiqih klasik kepada tokoh-tokok yang lebih awal seperti
sahabat dan akhirnya kepada Nabi, karena isnad merupakan rekayasa sebagai hasil
dari pertententangan antara aliran fikih klasik dan ahli Hadits, tak satu pun
Hadits Nabi, lebih-lebih yang berkenaan dengan masalah hukum dapat
dipertanggung jawabkankan sebagai Hadits shahih. Singkatnya Hadits tidak
berasal dari Nabi, tapi dari generasi tabi‟in.[16]
Bagi M.M Azami, otentisitas hadits itu
sampai sekarang tetap dapat dibuktikan secara ilmiah dan historis. Kehidupan
Nabi merupakan model yang harus di ikuti oleh kaum muslimin tanpa terikat oleh
ruang dan waktu. Karena alasan ini, maka para sahabat bahkan sejak beliau masih
hidup telah mulai menyebarluaskan pengetahuan tentang sunnah dan Nabi sendiri
juga memerintahkan mereka melakukan hal itu.[17]
Untuk membantah teori yang dikemukakan
oleh para orientalis, khususnya Prof. Schacht, yang meneliti dari aspek
sejarah, maka M.M. Azami menghancurkan teori Schacht ini juga melalui
penelitian sejarah, khususnya sejarah Hadis. Azami melakukan penelitian khusus
tentang Hadis-Hadis nabi yang terdapat dalam naskah-naskah klasik. Di antaranya
adalah naskah milik Suhail bin Abi Shaleh (w.138 H). Abu Shaleh (ayah Suhail)
adalah murid Abu Hurairah shahabat nabi saw. Naskah suhail ini berisi 49 Hadis.
Sementara azami meneliti perawi Hadis itu sampai kepada generasi Suhail, yaitu
jenjang ketiga (al-thabaqah altsalitsah). Termasuk jumlah dan domisili mereka.
Azami membuktikan bahwa pada jenjang ketiga, jumlah perawi berkisar 20 sampai
30 orang, sementara domisili mereka terpencar-pencar dan berjauhan, antara
India sampai Maroko, antara Turki sampai Yaman. Sementara teks hadis yang
mereka riwayatkan redaksinya sama.9
Azami berkesimpulan bahwa sangat
mustahil menurut ukuran situasi dan kondisi pada saat itu mereka pernah
berkumpul untuk membuat Hadis palsu sehingga redaksinya sama. Dan sangat
mustahil pula bila mereka masing-masing membuat Hadis, kemudian oleh generasi
berikutnya diketahui bahwa redaksi hadis yang mereka buat itu sama. Kesimpulan
Azami ini bertolak belakang dengan kesimpulan Schacht, baik tentang rekontruksi
terbentuknya sanad hadis, maupun bunyi teks (matan) Hadis tersebut.
Sebagai contoh, Azami mengemukakan Hadis
yang artinya di mana Nabi saw. bersabda: “Apabila salah seorang di antara
kamu bangun dari tidurnya, maka hendaknya ia mencuci tangannya, karena ia tidak
tahu semalam tangannya berada di mana”. Hadis ini dalam naskah Suhail bin
Abi Shaleh berada pada urutan nomor 7, dan pada jenjang pertama (generasi
shahabat) diriwayatkan oleh lima orang, yaitu Abu Hurairah, Ibn Umar, Jabir,
Aisyah, dan Ali bin Abi Thalib. Abu Hurairah sendiri kemudian meriwayatkan
Hadis tersebut kepada tiga belas orang tabi’in (generasi kedua). Tiga belas orang
tabi’in ini kemudian menyebar ke berbagai penjuru negeri Islam. Delapan orang
tetap tinggal di Madinah, seorang tinggal di Kufah, dua orang tinggal di
Basharah, seorang tinggal di Yaman, dan seorang lagi tinggal di Syam. Tiga
belas Tabi’in ini kemudian meriwayatkan lagi kepada generasi berikutnya
(generasi ketiga = Tabi’ Tabi’in), dan jumlah mereka menjadi = tidak kurang
dari enam belas orang. Mereka tinggal di Madinah (enam orang), Bashrah (empat orang),
Kufah (dua orang), Makkah (satu orang), Yaman (satu orang), Khurasan (satu orang),
dan Himsh-Syam (satu orang).[18] Maka mustahil lima belas orang yang domisilinya
terpencar-pencar di tujuh kota yang berjauhan itu pernah berkumpul pada satu
saat untuk bersama-sama membuat Hadis palsu yang redaksinya sama, atau mustahil
pula, bila mereka secara sendiri-sendiri di kediamannya masing-masing membuat
Hadis, dan kemudian diketahui bahwa bahwa redaksi Hadis tersebut secara
kebetulan sama. Enam belas orang rawi di atas adalah hanya dari jalur Abu
Hurairah. Apabila jumlah rawi itu ditambah dengan rawi-rawi dari empat jalur
lainnya, yaitu Ibn Umar, Jubir, Aisyah, dan Ali, maka jumlah perawi itu akan
menjadi lebih banyak.[19]
Dengan demikian apa yang dikembangkan
oleh Prof. Schacht dengan teorinya Projecting Back, yang mengemukakan bahwa
sanad Hadis itu baru terbentuk belakangan dan merupakan pelegitimasian pendapat
para qadhi dalam menetapkan suatu hukum, adalah tidak benar, hal ini sudah
dibuktikan oleh Azami dengan penelitiannya bahwa sanad Hadis itu memang
muttashil sampai kepada rasulullah saw. melalui jalur-jalur yang telah
disebutkan di atas. Hal ini membuktikan juga bahwa Hadis-hadis yang berkembang
sekarang bukanlah buatan para qadhi, tetapi merupakan perbuatan atau ucapan
yang datang dari rasul saw. sebagai seorang Nabi dan panutan umat Islam.
Untuk memperoleh otentitas hadits, menurut
M M Azami, maka seseorang harus melakukan kritik hadits. Menurutnya, kritik
hadits sejauh menyangkut nash atau dokumen terdapat beberapa metode. Namun
hampir semua metode tersebut dapat dimasukkan dalam kategori perbandingan atau cross
reference. Dengan mengumpulkan semua bahan yang berkaitan atau katakanlah
semua hadits yang berkaitan, membandingkannya dengan cermat satu sama lain,
orang akan menilai keakuratan para ulama‟. Dalam hal ini sebagaimana dikutip
M.M Azami, Ibn Mubarak pernah berkata: “untuk mencapai pernyataan yang
otentik, orang perlu membandingkan kata-kata para ulama’ satu dengan yang lain”.[20]
Masih menurut M. M. Azami, untuk mengetahui
otentitas hadits, maka seseorang harus melakukan kritik hadits baik itu
menyangkut sanad hadits maupun matannya. Adapun rumusan
metodologis yang ditawarkan untuk membuktikan keotentikan hadits nabi
diantaranya:[21]
1.
Memperbandingkan hadits-hadits dari
berbagai murid seorang guru.
2.
Memperbandingkan pernyataan-pernyataan
dari para ulama dari beberapa waktu yang berbeda.
3.
Memperbandingkan pembacaan lisan dengan
dokumen tertulis.
4.
Memperbandingkan hadits-hadits dengan Ayat
al-Qur‟an yang berkaitan.
1.4
Simpulan
M M. Azami merupakan ilmuwan hadits yang
memadukan metodologi barat (kritik sejarah) dan metodologi kritik hadits/sanad
yang dikembangkan oleh ulama di masa lampau yang sudah mapan. Walau beliau
pernah mengenyam pendidikan di Barat, namun ia tetaplah hanif, pemikirannya
tidak liberal sebagaimana sarjana muslim lainnya ketika selesai menempuh studi
di Barat.
Menurut M M. Azami, para orientalis yang
meragukan adanya sistem isnad, disebabkan karena terjadi kesalahan metodologis
dalam meneliti materi studi sanad itu sendiri. Mereka umumnya meneliti sanad
bukan dari kitab hadits asli, melainkan dari kitab sirah atau kitab fiqh, yang
cara penyusunanya berbeda sekali dengan penyusunan kitab hadits. Lebih parah
lagi, kesimpulan dari hasil kajian tersebut lalu digeneralisir, sehingga ada
orientalis berkesimpulan bahwa teori sistem isnad merupakan rekayasa sebagai
hasil dari pertententangan antara aliran fikih klasik dan ahli Hadits.
Otentisitas hadits sesungguhnya dapat
dibuktikan secara ilmiah melalui metodologi kritik hadits, antara lain dengan:
1) membandingkan haditsdis-hadits dari berbagai murid seorang syeikh (guru); 2)
memperbandingkan pernyataan-pernyataan dari seorang ulama‟ yang dikeluarkan
pada waktu-waktu yang berlainan 3) memperbandingkan pembacaan lisan dengan
dokumen tertulis 4) memperbandingkan hadits-hadits dengan ayat al-Quran yang
berkaitan dengannya.
Daftar Pustaka
Abdurrahman Wahid (et.al). 2002. M.M. Azami Pembela
Eksistensi Hadis. Jakarta: Pustaka Firdaus
Ali Masrur. 2007. Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar
Kesejarahan Hadis Nabi. cet. ke-1. Yogyakarta: LKiS
Badri Khaeruman. 2004. Otentisitas
Haditst. Bandung: Rosda
Hasbi Ash-Shiddieqy. 2009.
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra
Joseph Schacht. 2010. The
Origins of Muhammadan Jurisprudence: Tentang asal-usul Hukum Islam dan Masalah
Otentitas Sunnah. Yogyakarta: Insan Madani
Kamarudin Amin. 2009. cet. Ke-1. Menguji Kembali
Keakuratan Metode Kritik Hadis. Jakarta: Hikmah
Kamarudin Amin, “Diskursus
Hadits di Jerman” dalam www.islampeace.net diakses pada 25 Juni 2015
Masykur Hakim. 2009. “Dari India untuk Dunia: Peran
D_rul Ulum Deoband dalam Pelestarian Hadis dan Ulumul Hadis” dalam Refleksi
Jurnal Ilmu-ilmu Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. XI, No. 2
M. M. Azami. 2006. Hadis Nabawi dan Sejarah
kodifikasinya. terj. Ali Mustafa Yakub Jakarta: Pustaka Firdaus
M. M. Azami. 1977. Studies
in Hadith: Methodology and Literature. Indiana Polis: American Trust
Publications
M.
M. Azami. 1978. Studies in Early Hadits Literature. Indianapolis-Indiana:
American Trust Publication
Syamsuddin Arif. 2008. Orientalisme
dan Diabolisme Pemikiran. Jakarta: Gema insani
Ugi Suharto. 2004.
“Peranan tulisan dalam Periwayatan Haditst” dalam Majalah Islamia Thn 1 No.
2, Juni-Agustus
[1] Jurnal Al-Fikr Volume 14
No. 2 Tahun 2010 Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Alauddin Makassar
Jl. St. Alauddin No. 36 Samata, Gowa, Sulawesi-Selatan
[3] Studi hadits di Barat
berbeda secara fundamental dari studi hadits di tempat lain seperti di Timur
Tengah dan Indonesia. Kalau di Timur Tengah dan Indonesia studi hadits
menekankan pada bagaimana melakukan takhrij hadits untuk menentukan
otentisitasnya, maka studi hadits di Barat menekankan bagaimana melakukan
dating (penanggalan) hadits untuk menaksir historisitasnya dan bagaimana
melakukan rekonstruksi sejarah terhadap peristiwa yang terjadi pada masa awal
Islam. Lihat Kamarudin Amin, “Diskursus Hadits di Jerman” dalam
www.islampeace.net (Di akses pada 25 Juni 2015)
[4] Riwayat Muslim yang
menyatakan bahwa Rasulullah menyuruh sahabatnya menghapus seluruh catatan
hadits selain al-Qur’an, maksud larangan diantaranya dimaksudkan hanya apabila
haditst ditulis bersamaan dengan al-Qur’an dalam satu lembaran. Sumber: Ugi
Suharto, “Peranan tulisan dalam Periwayatan Haditst” dalam Majalah Islamia Thn
1 No. 2, Juni-Agustus 2004. hal 78
[5] Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah
dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009), hal. 31
[6] Goldziher misalnya,
dalam bukunya Muhammedanische Studien, berpendapat bahwa dari sekian
banyak haditst yang ada, sebagian besarnya –untuk tidak mgatakan seluruhnya-
tidak dapat dijamin keasliaannya alias palsu dan karena itu, tidak dapat
dijadikan sumber informasi mengenai sejarah Islam.
[7] Ali Masrur
mengutip pandangan J. Koren dan Y.D. Nevo menggunakan istilah tradisional bagi
kelompok pengkaji hadis yang cenderung mengikuti metode dan arah pemikiran
sarjana muslim secara umum. Sementara revisionis diperuntukan bagi kelompok
pengkaji hadis yang cenderung skeptic terhadap keberadaan hadis. Kelompok
terakhir terdiri Dari kalangan orientalis dan mereka yang memiliki pemahaman
sama. Ali Masrur, Teori Common Link G.H.A. Juynboll: Melacak Akar Kesejarahan
Hadis Nabi, cet. ke-1 (Yogyakarta: LKiS, 2007), 31
[8] Abdurrahan Wahid mencoba membuat klasifikasi masa
kemunculan skeptisisme terhadap hadis kepada tiga periode, yakni: masa pra
Goldziher, masa Goldziher cs menyusun teori mereka, dan masa setelah Goldziher.
Perkembangan pemikiran skeptisisme ini berkembang pesat pada masa Goldziher dan
lainnya. Masamasa sesudah mereka hanya mengikuti arah kajian dan memperlebar
serta mengokohkan tesis Goldziher semata. Abdurrahman Wahid (et.al) M.M. Azami
Pembela Eksistensi Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), 27-34
[9] Kamarudin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode
Kritik Hadis (Jakarta: Hikmah, 2009), cet. Ke-1, 1
[10] M. Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah
kodifikasinya, terj. Ali Mustafa Yakub (Jakarta; pustaka Firdaus, 2006), cet.
ke-3, 700. Ada ulama Arab yang memiliki gelar al-A’z}ami dari wilayah Iraq
seperti seorang syeikh Qira’at yakni Syeikh al-A’z}ami yang berasal dari
wilayah al-‘Az}amiyah, Iraq. Sementara tokoh yang menjadi fokus kajian
disertasi ini adalah Azami.
[11] Masykur Hakim, “Dari India untuk Dunia: Peran D_rul
Ulum Deoband dalam Pelestarian Hadis dan Ulumul Hadis” dalam Refleksi Jurnal
Ilmu-ilmu Ushuluddin, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vol. XI, No. 2, 2009,
135
[12] Belakangan Azami mencoba mengkancah studi al-Qur’an
dengan tema “The History of the Qur’anic Text, From Revelation to Compilation.
A Comparative Study with the Old and New Testaments”. Sohirin Solihin dan
kawan-kawan menterjemahkan ke dalam edisi Indonesia dan untuk pertama kali
diterbitkan tahun 2005
[14] Pendapat Goldziher turut
diamini oleh orientalis Inggris bernama Alfred Guilaume. Dalam bukunya mengenai
sejarah haditst sebagaimana dikutip oleh Syamsuddin arif, mantan guru besar
Universitas Oxford ini mengklaim bahwa sangat sulit untuk mempercayai
literratur haditst secara keseluruhannya sebagai rekaman otentik dari semua
perkataan dan perbuatan Nabi saw. Baca: Syamsuddin Arif, Ibid, hal 31
[15] Lihat Joseph Schacht, The
Origins of Muhammadan Jurisprudence: Tentang asal-usul Hukum Islam dan Masalah
Otentitas Sunnah (Yogyakarta: Insan Madani, 2010), hal. 77
[17] M. M. Azami, Studies
in Hadith: Methodology and Literature. (Indiana Polis: American Trust
Publications, 1977), hal. 46
[18] M.
M. Azami, Studies in Early Hadits Literature, Indianapolis-Indiana, American
Trust Publication, 1978, hlm. 225-226
Tidak ada komentar:
Posting Komentar