Pages - Menu

Kamis, 18 Februari 2016

I - Studi al-Qur’an - KEHARMONISAN DALAM TUMAH TANGGA - Perspektif Al-Qur’an

KEHARMONISAN DALAM TUMAH TANGGA
Perspektif Al-Qur’an






Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas
Matakuliah: Studi al-Qur’an
Pengampu: Dr. H. Zaed B. Smeer, Lc., MA





Penyusun:
1.      Bayu Kusferiyanto
2.      Hamzani
3.      Moh. Shodiqin








Description: Description: Description: F:\DATA VISUAL\ARSIP GAMBAR\Logo Maulana\LOGO UIN MMI trans .png
 
















PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

DESEMBER, 2014



Kata Pengantar


Bismillahirrahmanirrahim.
Puji-Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga terlimpah-curahkan kepada Rasul, Nabi Muhammad SAW, guru semesta alam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah Studi al-Qur’an yang diampu Bapak Dr. H. Zaed B. Smeer, Lc., MA dengan judul “Keharmonisan dalam Tumah Tangga: perspektif al-Qur’an”.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai konsep keharmonisan antara suami dan istri dalam berumah-tangga. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang akan Kami susun berikutnya.
Semoga makalah ini dapat dapat berguna bagi kami selaku penyusun khususnya, atau bagi siapapun yang membacanya secara umum. Demikian dan akhirnya kami ucapkan terimakasih.



Kami,


Penyusun


Daftar Isi


Cover
Kata Pengantar .........................................................................................        i
Daftar Isi ....................................................................................................        ii
BAB I   : PENDAHULUAN ....................................................................        1
A.      Latar Belakang ...........................................................................        1
B.       Rumusan Masalah .......................................................................        2
C.       Tujuan .........................................................................................        2
BAB II : PEMBAHASAN ........................................................................        3
A.      Kedudukan Suami dan Istri dalam Rumah Tangga ...................        3
B.       Kemitraan Suami dan Istri dalam Rumah Tangga ......................        4
C.       Suami dan Istri saling Melengkapi dalam Rumah Tangga .........        5
D.      Inferioritas dalam Rumah Tangga ..............................................        9
1.         Pandangan Inferior terhadap Wanita dalam Rumah Tangga .        9
2.         Implikasi Pandangan Inferior terhadap Wanita dalam Rumah Tangga              10
BAB III : PENUTUP ................................................................................        13
A.      Kesimpulan .................................................................................        13
B.       Saran ...........................................................................................        14
Daftar Pustaka ..........................................................................................        15




BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Saat ini dunia ramai dengan perubahan dan perkembangan di segala bidang, termasuk kemajuan ilmu-ilmu sosial. Dan ditengah kemajuan itu, pendekatan gender terhadap dehumanisasi sosial mulai dilakukan, yaitu seiring dengan maraknya isu kesetaraan dan kemitrasejajaran antara perempuan dan laki-laki. Pendekatan gender tersebut, melahirkan kesadaran sosial bahwa selama ini di realitas sosial telah terjadi diskrimasi dan penindasan terhadap perempuan, serta pendustaaan nilai-nilai kemanusiaan.
Al-Qur’an menjadi rujukan segala macam permasalahan yang disandarkan kepada kaum wanita. Fungsi utama al-Qur’an adalah petunjuk bagi seluruh umat manusia disamping merupakan peringatan bagi manusia sebagai makhluk-Nya yang mempunyai akal. Al-Qur’an mempunyai posisi penting dalam studi-studi keislaman, di samping berfungsi sebagai petunjuk, Al-Qur’an juga berfungsi sebagai furqan, yaitu menjadi tolak ukur dan pembeda antara yang haq dan yang bathil.
Menafsirkan Al-Qur’an berarti berusaha menerangkan makna-makna Al-Qur’an dan mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya. Oleh karena pentingnya posisi Al-Qur’an tersebut, maka penafsiran terhadap Al-Qur’an bukan hanya merupakan hal yang diperbolehkan, bahkan lebih dari itu, merupakan suatu keharusan bagi orang-orang yang memenuhi kualifikasi untuk melakukan itu.
Keberadaan rumah tangga dengan segala macam komponen di dalamnya menarik untuk kita kaji bersama. Makalah ini mencoba mengulas beberapa persoalan yang ada di kehidupan rumah tangga sesuai pesan dalam Al-Qur’an dengan mencoba menghadirkan realitas-realitas yang berkembang di masyarakat saat ini.


B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, Kami merumuskan beberapa masalah yaitu sebagai berikut:
1.         Bagaimana kedudukan suami dan istri dalam rumah tangga?
2.         Bagaimana kemitraan suami dan istri dalam rumah tangga?
3.         Apakah suami dan istri saling melengkapi dalam rumah tangga?
4.         Bagaimana inferioritas dalam rumah tangga?

C.      Tujuan
Mengacu pada rumusan masalah, maka ada beberapa tujuan penulisan makalah ini, yaitu untuk:
1.         Mangetahui kedudukan suami dan istri dalam rumah tangga
2.         Mengetahui kemitraan suami dan istri dalam rumah tangga
3.         Memahami bahwa suami dan istri saling melengkapi dalam rumah tangga
4.         Mengetahui inferioritas dalam rumah tangga



BAB II
PEMBAHASAN


A.      Kedudukan Suami dan Istri dalam Rumah Tangga
Jenis laki-laki dan perempuan sama dihadapan Allah SWT. Memang ada ayat yang menegaskan bahwa: “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (istri)” (QS. An-Nisa ayat 34), namun kepemimpinan ini tidak boleh mengantarkannya kepada kesewenang-wenangan, karena dari satu sisi al-Qur’an memerintahkan untuk tolong menolong antara laki-laki dan perempuan dan dari sisi lain al-Qur’an memerintahkan pula agar suami dan istri kendaknya mendiskusikan dan memusyawarahkan persoalan mereka bersama.[1] Sepintas terlihat bahwa tugas kepemimpinan ini merupakan keistimewaan dan “derajat tingkat yang lebih tinggi” dari perempuan. Bahkan ada ayat yang mengisyaratkan tentang “derajat” tersebut, yaitu firman-Nya:
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4 ÉA$y_Ìh=Ï9ur £`ÍköŽn=tã ×py_uyŠ 3
“Para istri mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban menurut cara yang me’ruf, akan tetapi para suami mempuanya satu derajat/tingkat atas mereka (para istri)”. (QS. Al-Baqarah ayat 228).
Derajat itu –menurut para ulama- adalah kelapangan dada suami terhadap istrinya untuk meringankan sebagian kewajiban istri, karena itu Syekh al-Mufassirin, Guru besar para mufassir, Imam at-Thabari[2] “Walaupun ayat ini disusun dalam redaksi berita, tetapi maksudnya adalah anjuran bagi para suami untuk memperlakukan istrinya dengan sifat terpuji, agar mereka dapat memperoleh derajat itu”. “Keberhasilan perkawinan itu tidak tercapai kecuali jika kedua belah pihak memperhatikan hak pihak lain. Suami berkewajiban memperhatikan hak dan kepentingan istrinya, istripun berkewajiban untuk mendengar dan mengikutinya, tetapi di sisi lain istri berhak mencari yang terbaik ketika melakukan diskusi”.
Para pemikir Islam seperti Fatima Mernissi, Amina Wadud dan Asghar Ali Angineer berupaya mereinterpretasi ayat tersebut. Al-Quran membawa ajaran normatif dan kontekstual. Secara normatif Al-Qur’an membicarakan kesejajaran antara pria dan wanita, namun secara kontekstual al-Qur’an memberikan kelebihan kepada kaum pria misalnya sebagai pemimpin dalam rumah tangga.[3] Ali memberi penafsiran bahwa pernyataan al-Qur’an “kaum pria qawwamun terhadap kaum wanita” tidak boleh dipahami lepas dari konteks sosial pada waktu ayat ini turun. Struktur sosial pada masa Nabi Muhammad SAW belum mengakui adanya kemitrasejajaran antara pria dan wanita. Menurutnya keunggulan kaum pria bukanlah keunggulan jenis kelamin melainkan keunggulan fungsional karena pria mencari nafkah dan membelanjakan hartanya untuk wanita.[4] Fungsi sosial yang diemban oleh kaum pria itu seimbang dengan tugas sosial yang diemban oleh wanita, yaitu melaksanakan tugas-tugas domestik dalam rumah tangga.

B.       Kemitraan Suami dan Istri dalam Rumah Tangga
Jika demikian halnya, maka pada hakikatnya hubungan suami dan istri, laki-laki dan perempuan adalah hubungan kemitraan.[5] Dari sini dapat dimengerti mengapa ayat-ayat al-Qur’an menggambarkan hubungan laki-laki dan permpuan, suami dan istri sebagai hubungan saling menyempurnakan yang tidak dapat terpenuhi kecuali atas dasar kemitraan. Hal ini diungkapkan al-Qur’an dengan istilah “ba’dhukum min ba’dhi”. “Sebagian kamu (laki-laki) adalah sebagian dari yang lain (perempuan)”.
Kemitraan dalam konteks hubungan suami istri dinyatakan sebagai hubungan timbal balik, QS. Al-Baqarah ayat 187:
£`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3
“Istri-istri kamu adalah pakaian untuk kamu (para suami) dan kamu adalah pakaian untuk mereka”
Menurut Ibnu Abbas, Mujahid, Sa’id bin Jubair, al-Hasan, Qatadah, as-Suddi, dan Muqatil bin Hayyan. Mereka mengartikan ayat tersebut sebagai berikut: mereka itu sebagai pemberi ketenangan bagi kalian, dan kalian pun sebagai pemberi ketenangan bagi mereka.[6]  Sedangkan ar-Rabi bin Anas mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ayat di atas yaitu mereka itu sebagai selimut bagi kalian dan kalian sebagai selimut bagi mereka. Artinya, sepasang suami istri tentu saling berbaur dan bersama, maka sangat pantas jika dibolehkan bagi mereka berhubungan intim di malam hari di bulan Ramadan agar tidak menyusahkan dan memberatkan mereka.
Tugas kerumahtanggaan merupakan tugas-tugas terpadu suami dan istri; walupun suami tampil sebagai pemimpin, istripun dengan cara dan kemampuannya turut ambil bagian sehingga tugas terselesaikan.[7] Keterpaduan atau kemitraan ini digambarkan oleh Allah misalnya dalam QS. At-Taubah ayat 71:
tbqãZÏB÷sßJø9$#ur àM»oYÏB÷sßJø9$#ur öNßgàÒ÷èt/ âä!$uŠÏ9÷rr& <Ù÷èt/ 4 šcrâßDù'tƒ Å$rã÷èyJø9$$Î/ tböqyg÷Ztƒur Ç`tã ̍s3ZßJø9$#
“dan orang-orang yang beriman lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah dari yang munkar”

C.      Suami dan Istri saling Melengkapi dalam Rumah Tangga
Sebagian agama dan aliran menganggap wanita sebagai penggoda atau wanita adalah makhluk penghibur baik untuk anak-anak maupun suami atau puhak lain yang membutuhkan jasa baik mereka. Karena itu ada sebagian orang yang menganggap seorang istri hanyalah sekedar alat pemuas nafsu birahi atau sebagai bumbu masak, sebagai pembantu rumah tangga dan lainnya. Ungkapan-ungkapan ini muncul karena seringkali wanita diletakkan di bawah dominasi dan kekuasaan pria atau suami, wanita hanya sebagai objek sementara pria atau suami sebagai subjeknya. Anggapan bahwa wanita hanyalah sarana untuk melanjutkan keturunan dan wanita tercipta untuk pria, semua anggapan atau pandangan tersebut adalah sangat bertentangan dengan semanbgat dan nilai-nilai islam. Allah SWT berfirman:
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ  
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.
Kehidupan suami istri diikat pernikahan, yaitu mawaddah dan rahmah. Quraish Syihab mengemukakan bahwa cinta, mawaddah-rahmah dan amanah dari Allah merupakan tali-temali rohani perekat perkawinan. Sehingga kalau cinta pupus dan mawaddah pupus, masih ada rahmah, dan kalaupun ini tidak tersisa, masih ada amanah, dan selama pasangan itu beragama, amanahnya terpelihara,[8] karena Allah memerintahkan dalam QS. an-Nisa’ 4 ayat 19:
£`èdrçŽÅ°$tãur Å$rã÷èyJø9$$Î/ 4
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut”
Pengertian al-ma’ruf adalah patut menurut agama dan adat sopan santun, artinya jangan dikurangi nafkahnya atau disakiti hatinya baik dengan perkataan atau perbuatan ataupun dengan bermuka masam dan berkerut kening bila berjumpa.[9]
Menurut Hamka, kata ma’ruf (sepatutnya) berarti pergaulan yang diakui baik dan patut oleh masyarakat umum, tidak menjadi buah bibir orang karena buruknya. Agama tidak memberikan rincian bagaimana al-ma’ruf atau bentuk pergaulan yang patut itu. Hal ini diserahkan kepada sinar iman dalam dada kita dan bergantung kepada kebiasaan kondisi setempat dan masa sehingga kata ma’ruf boleh dikaitkan dengan pendapat umum.[10]
Rasulullah SAW mengumpamakan istri laksana perhiasan, bahwa istri yang shalihah adalah sebagai kekayaan seorang suami yang paling utama. Rasulullah bersanda:
"الدنيا متاع وخير متاع الدنيا المرأة الصالحة" رواه المسلم
Islam telah mengangkat kedudukan wanita sebagai istri dan menjadikan pelaksanaan hak-hak berkeluarga sebagai jihad di jalan Tuhan. Oleh karena itu, Islam memberikan hak-hak istri yang tidak hanya hitam di atas putih, tetapi harus dilaksanakan dan dijaga sebaik mungkin.[11] Kalau dalam dunia islam timbul gerakan menuntut hak, bukan karena hak tidak diberikan oleh Islam, melainkan hak itu ditahan oleh pria yang ingin selalu berkuasa. Islam tidsak sampai menyuruh istri supaya tunduk kepada suami sebagaimana tunduk kepada Tuhan. Rasulullah SAW bersabda:
"أكمل المؤمنين إيماناً أحسنهم خلقاً وخياركم خياركم لنسائهم خلقاً" رواه الترمذي
“Orang mu’min yang sempurna imannya adalah orang yang paling baik akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik (dalam bergaul) dengan istrinya”
Dalam kesempatan lain beliau menyatakan:
"خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي" رواه الترمذي
“Paling baik diantara kalian adalah orang yang palaing baik terhadap keluarganya. Dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku”
Sebaliknya, dengan adanya kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami terhadap istri maka sebagai timbal balik Islam memberikan hak bagi suami untuk ditaati selama tidak bertentangan dengan agama. Dan ini merupakan hak pribadi sang istri. Al-Qur’an memberikan penekanan terhadap hak-hak wanita sebagai istri sebagaimana difirmankan Allah dalam QS. al-Baqarah ayat 228:
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$# £`ÍköŽn=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/ 4
“dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf”.
Wanita sebagai istri tidak hanya dituntut untuk berdandan, selalu rapi dan cantik dihadapan suami, meskipun anggapan masyarakat hal itu sudah merupakan kodratnya. Namun dalam Islamanggapan demikin dipandang tidak adil, bahkantidak sesuai dengan ajaran yang dicontohkan Islam. Bukan hanya Rasulullah yang selalu rapi berpakaian dan berwangi-wangian melainkan juga sahabat seperti ibn Abbas. Ia pernah berdiam di depan cermin dengan memperbaiki perawakannya sambil berdandan dan ketika ditanya tentang perbuayannya tersebut, ia menjawab: “Aku berdandan untuk istriku sebagaimana istriku berdandan untukku”, lalu dibacakan surat al-Baqarah ayat 228.
Karena itu dalam Islam, istri punya kedudukan yang sangat besar di hadapan keluarga, baik suami maupun anak-anak. Dalam islam suami istri diumpamakan bagaikan pakaian. Firman Allah SAW dalam Surat al-Baqarah ayat 187:
£`èd Ó¨$t6Ï9 öNä3©9 öNçFRr&ur Ó¨$t6Ï9 £`ßg©9 3
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka”.
Islam menyatakan bahwa pria dan wanita diciptakan untuk satu sama lain, yang satu melindungi yang lain dan saling membutuhkan.
Menurut Hamka, surat al-Baqarah ini merupakan kalimat yang sangat halus dan mendidik sopan santun diantara manusia, bila suami istri bersatu, mereka pakai memakai bahkan menjadi satu tubuh (sehingga disebut setubuh dalam bahasa kita).[12]

D.      Inferioritas dalam Rumah Tangga
1.         Pandangan Inferior terhadap Wanita dalam Rumah Tangga
Diantara sekian banyak isu tentang wanita adalah inferioritas (wanita sebagai manusia bawahan, rendah, kurang baik). Sedangkan pria merupakan superioritas (manusia atasan, pemimpin). Isu atau pandangan semacam ini telah tumbuh kuat dan memayarakat. Diantaranya sebagai berikut:[13]
a)        Peran Domestik
Kuatnya peran seorang wanita dengan tugas pertama dan utama di sektor domestik, membuat orang percaya sepenuhnya itulah memang garis takdir wanita atau kodrat yang telah diciptakan dan ditentukan Tuhan. Peran dan kedudukannya menjadi ibu rumah tangga terkesan mutlak, semutlak ia memiliki rahim atau seabsolut pria memiliki sperma untuk pembuahan.
b)        Pelayan Suami
Sebagian orang beranggapan bahwa seorang istri hanyalah kekedar pemuas nafsu suaminya. Wanita tercipta untuk pria hanyalah sarana melanjutka keurunan. Anggapan-anggapan seperti ini tidak dapat dinistakan dan tentu bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
c)        Ibu Rumah Tangga
Kebanyakan orang percaya bahwa wanita sudah sewajarnya hidup di lingkungan rumah tangga. Karena itu ia disebut “ibu rumah tangga” sebagai suatu kehormatan. Tugas yang sebenarnya peran ini, adalah tugas yang diberikan alam (sunnatullah-kodrat wanita) kepada mereka, yaitu: melahirkan, membesarkan anak, memasak dan memberi perhatian kepada suaminya. Inilah pembagian kerja yang didasarkan atas perbedaan seks yang diatur oleh alam. Hal ini menjadi kesepakatan masyarakat pada umumnya, dan inilah yang disebut dengan gender.
d)       Pendidik Anak di Rumah
Wanita merupakan pendidik utama dan pertama bagi anak-anaknya, khususnya pada masa-masa usia balita. Potongan syair Arab mengatakan “al-umm madrasah..” (ibu adalah tempat belajar). Dalam sebuah rumah tangga dibutuhkan seorang penanggung jawab utama terhadap jiwa dan mental anak, khususnya saat usia balita. Meskipun peran mendidik anak bisa digantikan orang lain selain ibunya, misalnya bapaknya, menjadi pendidik pertama dan utama merupakan suatu kehormatan mulia yang diberikan kepada ibunya.
2.         Implikasi Pandangan Inferior terhadap Wanita dalam Rumah Tangga
Pandangan Inferior terhadap wanita, atau kesalahpahaman terhadap wanita bahwa wanita dianggap sebagai the second class khususnya dalam kehidupan berumah- tangga telah terkonsentrasi dengan peran domestiknya disebabkan karena kemampuan dan penalaran wanita yang dianggap kurang sempurna dibanding pria. Implikasinya bisa bersifat negatif dan positif, seperti yang akan diuraikan berikut ini:[14]
a)        Negatif
Dalam lingkup rumah tangga yang disebut dengan ruang domestik dan dianggap sebagai kodrat wanita berimplikasi sebagai berikut: (1) Menjadi wanita tidak up to date, tidak berkembang informasi kerena hidupnya terbatas pada urusan-urusan sumur, dapur, kasur (istilah jawa dan ini kodrat wanita), (2) Posisi wanita menjadi lemah sebab urusan rumah tangga tidak dinilai sebagai suatu pekerjaan karena tidak menghasilkan uang, (3) Wanita bisa dihinggapi sifat rendah diri hanya karena ia ibu rumah tangga.
Ruang lingkup wanita adalah domestik sementara pria di ruang publik. Hal ini jelas berimplikasi bahwa wanita yang berdedikasi, beraktualisasi (umumnya di ruang publik) menjadi menyalahi sunnatullah atau kodrat yang diberikan kepadanya (kaum wanita). Fungsi yang diberikan kepada wanita adalah fungsi reproduksi. Hal ini menjadi lain nilainya karena tanggung jawab yang dibebankan pada wanita tidak dinilai, bahkan menjadi tidak dihargai karena ada anggapan bahwa hal itu telah menjadi kodratnya. Belum lagi bagi wanita yang bekerja, maka hasil yang didapat atau diperoleh, meski lebih banyak (misalnya) merupakan naflah tambahan, karena pria (suami) yang terbebani sebagai pencari nafkah utama.
Perbedaan gender ini mengakibatkan lahirnya sifat dan streotipe yang oleh masyarakat dianggap ketentuan kodrati atau ketentuan yuhan. Sifat dan streotipe yang diletakkan pada wanita, yang sebanarnya hanyalah rekayasa sosial atau biasa disebut social construction, akhirnya dikukuhkan menjadi kodrat kultural yang dalam proses berabad-abad telah mengakibatkan terpinggirkannya posisi wanita.
Secara biologis (kodrat) wanita dengan organ reproduksinya bisa hamil, melahirkan, dan menyusui dan kemudian peran gender sebagai pengasuh, perawat dan pendidik anaknya sesungguhnya tidak ada masalah jika berbagai peran yang dilekatkan sebagai kodrati itu tidak dianggap sebagai nilai tambahan atau pelengkap belaka, apalagi kemudian tidak dianggap sebagai suatu pengabdian.
b)        Positif
Beberapa permasalahan yang disalahpahami sebagai kodrat wanita tersebut diatas menjadi pandangan inferior terhadap wanita bisa juga berimplikasi positif., misalnya peran domestik. Dalam teori ilmu sosial yang berpengaruh saat ini, ada dua pandangan yaitu teori struktural-fungsioanal dan radikal. Oleh ahli sosiologi, Arif budiman dikatakan bahwa teori pertama disebut teori fungsional. Teori ini didasarkan pada teori Emile Durkheim yang menyatakan bahwa masyarakat modern merupakan masyarakat organik, disitu terjadi pembagian kerja yang saling melengkapi sehingga ketergantungan wanita merupakan suatu hal yang alami (atau paling sedikit suatu yang diperluakan untuk menjamin keharmonisan masyarakat).[15]
Dalam hal peran wanita sebagai ibu rumah tangga, teori fungsional ini berpendapat bahwa pekerjaan wanita (sebagai istri) di sektor domestik merupakan hal yang alami dan sesuai dengan pembagian kerja di masyarakat. Artinya wanita mengurus rumah tangga, sedangkan pria mencari penghasilan di luar. Pembagian kerja seperti ini menjadi prasyarat yang penting bagi kehidupan yang harmonis, khususnya dalam lingkup berumah tangga. Barangkali ini sesuai dengan pepatah Arab yang mengatakan bahwa “Wanita itu tiang negara. Jika wanita baik negara menjadi baik dan jikawanita jelek negara menjadi jelek”. (Kalimat ini seringkali dikatakan sebagai hadits).
Teori fungsional ini mengagung-agungkan keberadaan kaum wanita (istri atau ibu) di sektor domestik dan paling tidak ingin menyadarkan kaum pria (suami) bahwa pekerjaan kerumahtanggaanitu sangat berat dan diharapkan para suami bisa membantu meringankan beban yang tidak putus-putusnya diselesaika, yaitu dengan memberikan hiburan atau memperbolehkan istrinya bekerja diluar rumah.
Kerja wanita di ruang domestik dan kegiatan pria di ruang publik menurut Islam mempunyai bobot atau nilai yang sama. Untuk itu reakolasi peran menjadi penting, wanita bebas memilih peran yang dikehendakinya. Hanya saja yang menjadi pertimbangan adalah keragaman peran. Wanita menjadi terkukuhkan perannya di dalam rumah tangga atau sektor domestik oleh karena diawali kemampuan melaksanakan kodratnya (melahirkan dan menyusui). Ini diterima baik oleh wanita sendiri ataupun pria, sebagai tempat yang pantas bagi wanita.

BAB III
PENUTUP


A.      Kesimpulan
Al-Qur’ân dalam masalah derajat kemanusiaan telah mendudukkan perempuan dalam posisi yang setara dengan laki-laki. Kedudukan, hak dan kewajibannya hampir bisa dikatakan sama. Namun karena keduanya diciptakan oleh Tuhan dengan karakter fisik dan psikis yang berbeda, al-Qur’an kemudian membedakan fungsi, peran dan tugas masing-masing, baik dalam wilayah domestik maupun publik.
Pembedaan ini dilakukan agar antara keduanya dapat bekerja sama, saling melengkapi satu sama lain dan tolong menolong demi terciptanya keharmonisan hidup. Berbedanya tugas, fungsi dan peran masing-masing sebagaimana telah ditentukan oleh syara’ sama sekali tidak bisa dianggap sebagai diskriminasi dan dan kemudian diartikan lebih mulianya salah satu dibanding yang lainnya. Bukankah Rasulullah sendiri dengan tegas menyatakan kesetaraan laki-laki dan perempuan  dengan menyebut kaum perempuan sebagai Syaqâ’iq al-Rijâl (saudara sekandung kaum laki-laki).
Jelaslah, al-Qur’ân ternyata sangat adil dalam memandang perempuan. Al-Qur’ân juga sangat bijak dalam menempatkan posisi perempuan sesuai tabiatnya dan sangat memanjakannya. Maka sangat tidak layak apabila masih ada perasaan tidak disamakan menurut Al-Qur’an.

B.       Saran
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberi kointribusiberarti untuk memperdalam pemahaman mahasiswa agar memperoleh wawasan lebih luas tentang kajian al-Qur’an, yang dalam hal ini berkaitan dengan tafsir tematik mengenai kestaraan suami dan istri (gender), lebih-lebih mahasiswa-mahasiswa pada studi Pendidikan Bahasa Arab yang erat sekali dengan bahasa al-Qur’an yaitu bahasa Arab..
Dengan mempelajari dan memahami ulasan materi yang telah kami susun, diharapkan kita sebagai umat Islam dapat memahami secara tepat maksud dan tafsiran ayat-ayat tentang keberadaan suami dan istri dalam rumah tangga. Makalah ini juga baik untuk dijadikan literature bacaan, acuan penelitian, bahan kajian-kajian keilmuan Islam lainnya.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik dari pembaca sangat kami harapkan. Demikian dan akhirnya kami ucapkan terimakasih.







Daftar Pustaka


Asghar Ali Angineer. 1994. Hak-hak Perempuan dalam Islam. Trjm Faridn Wajidi dan Cici Farkha Assegaf. Jakarta: LSPPA
Dr. Nasaruddin Umar. 1991. Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an. Jakarta: Paramadina
Dr. Hj. Zaitunah Subhan. 1999. Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: LkiS
Hamka. 1988. Kedudukan Perempuan dalam Al-Qur’an. Jakarta: Grafika Panjimas
Mahmud Yunus. 1993. Tafsir Qur’an Karim. Jakarta: Hidakarya Agung
Quraish Syihab. 1996. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat. Jakarta: Mizan
Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri. Tafsiri Ibni Katsir, Terj. Abu Ihsan al-Atsari. 2011. Shahih Tafsir Ibni Katsir,  cet. VI, Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir


[1] Dr. Nasaruddin Umar. 1991. Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an. Jakarta: Paramadina. Hlm: xxxii
[2] Ibid. Hlm: xxxiii
[3] Dr. Hj. Zaitunah Subhan. 1999. Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: LkiS. Hlm: 105
[4] Asghar Ali Angineer. 1994. Hak-hak Perempuan dalam Islam. Trjm Faridn Wajidi dan Cici Farkha Assegaf. Jakarta: LSPPA. Hlm: 62
[5] Dr. Nasaruddin Umar. 1991. Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif al-Qur’an. Jakarta: Paramadina.. Hlm: xxxiii-xxxiv
[6]Syaikh Shafiyyurrahman al-Mubarakfuri, Tafsiri Ibni Katsir, hlm. 595
[7] Dr. Hj. Zaitunah Subhan. 1999. Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: LkiS. Hlm: 104
[8]Quraish Syihab. 1996. Wawasan Al-Qur’an, Tafsir Maudhu’i atas Berbagai Persoalan Umat. Jakarta: Mizan. Hlm: 208
[9]Mahmud Yunus. 1993. Tafsir Qur’an Karim. Jakarta: Hidakarya Agung. Hlm: 110
[10]Hamka. 1988. Kedudukan Perempuan dalam Al-Qur’an. Hlm: 300-301
[11]Hak yang dimaksud seperti: mendapat mahar dari suami karena kecintaan Islam terhadap kaum perempuan (an-Nisa’ ayat 4), mendapat nafkah lahir dari suami sesuai kemampuannya (at-Talaq ayat 7), mendapat nafkah batin dengan pergaulan yang ma’ruf (an-Nisa’ ayat 19)
[12]Hamka. 1988. Kedudukan Perempuan dalam Al-Qur’an. 106
[13] Dr. Hj. Zaitunah Subhan. 1999. Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: LkiS. Hlm: 64-80
[14] Dr. Hj. Zaitunah Subhan. 1999. Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: LkiS. Hlm: 81-86
[15] Kutipan Arief Budiman dalam Dr. Hj. Zaitunah Subhan. 1999. Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Al-Qur’an. Yogyakarta: LkiS. Hlm: 86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar