Pages - Menu

Senin, 22 Februari 2016

I - Sosiolinguistik - Alih Kode dan Campur Kode

I.         PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Penelitian bahasa dalam lingkungan sosial telah tumbuh secara signifikan dan sekarang mencakup kebanyakan bahasa dan wilayah di dunia. Sosiolinguistik meneliti hubungan antara bahasa dan masyarakat, antara penggunaan bahasa dan struktur sosial dimana pengguna bahasa hidup. Sosiolinguis menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda dalam mengumpulkan data mereka, tetapi semua mencoba menjawab beberapa bagian dari pertanyaan mendasar: yang berbicara bahasa apa, kepada siapa, kapan, bagaimana, dan mengapa?.
Pemilihan bahasa dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji dari perspektif sosiolingistik. Bahkan Fasold[1]  mengemukakan bahwa sosiolionguistik dapat menjadi bidang studi karena adanya pemilihan bahasa. Fasold memberikan ilustrasi dengan istilah societal multilingualism yang mengacu pada kenyataan adanya banyak  bahasa dalam masyarakat.
Dalam keberadaan manusia sebagai makhluk berbudaya dan makhluk sosial, bahasa merupakan alat utama dalam mendukung segala aktifitas manusia. Dengan kata lain manusia tidak akan terlepas dari bahasa dalam menjalankan aktifitasnya. Bahasa adalah sebuah sistem dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan struktur tata pola teratur yang membentuk keseluruhan kehidupan yang bermakna dan berfungsi.
Di zaman yang semakin maju ini, dimana hubungan dan pergaulan antar suku bangsa semakin terbuka luas, sangatlah sulit menemukan kelompok-kelompok masyarakat yang di dalamnya hanya memiliki atau hidup satu bahasa saja. Sebagai akibatnya, penggunaan dua bahasa atau lebih dari seorang penutur tentu tidak tidak jarang kita jumpai. Salah satu akibatnya adalah percampuran yang dilakukan (secara secara sadar maupun tidak)  dua sistem bahasa yang dipakai. Dalam keadaan tersebut, ada kalanya seorang penutur mengganti unsur-unsur bahasa atau tingkat tutur dalam pembicaraan yang dilakukannya, hal ini tergantung pada konteks dan situasi berbahasa yang mengitarinya. Kondisi ini merupakan kondisi berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara bergantian oleh penutur yang sama.
Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching) dan campur kode (code-mixing. Dengan kata lain, gejala tersebut merupakan gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme. Penggunaan alih kode dan campur kode menjadi  salah satu kajian Sosiolinguistik.

B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, Kami merumuskan beberapa masalah yaitu sebagai berikut:
1.         Apa saja faktor-faktor alih kode (code switching) dan campur kode (code-mixing) yang dilakukan pak Sugianto?
2.         Apa saja tujuan alih kode (code switching) dan campur kode (code-mixing) yang dilakukan pak Sugianto?

C.      Tujuan
Mengacu pada rumusan masalah, maka ada beberapa tujuan penulisan makalah ini, yaitu untuk:
1.         Mengetahui faktor-faktor alih kode (code switching) dan campur kode (code-mixing) yang dilakukan pak Sugianto.
2.         Mengetahui tujuan alih kode (code switching) dan campur kode (code-mixing) yang dilakukan pak Sugianto.




II.      METODOLOGI
A.      Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskripsi-kualitatif, dimana Sutopo[2] mnjelaskan bahwa penelitian deskriptif-kualitataif mengarah pada pendeskripsian secara rinci dan mendalam tentang potret kondisi tentang apa yang sebenarnya terjadi menurut apa adanya di lapangan studinya.

B.       Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tempat peneliti bersosialisasi, Desa Gasek Kecamatan Lowokwaru Kabupaten Malang. Setting waktu dan tempat diambilnya data dilakukan situasional, tanpa batasan. Mulai dari toko bangunan, rumah pak Sugianto, musholla dan sebagainya. Waktu juga menyesuaikan dimana tuturan-tuturan pak Sugianto diungkapkan.

C.      Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan Bapak H. Sugianto. Beliau adalah pemilik toko bahan bangunan (material), punya beberapa karyawan dan dikenal supel. Beliau juga dipandang sebagai pemuka agama oleh warga setempat.

D.      Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik dalam mengumpulkan data yaitu dengan observasi (pengamatan), dimana peneliti berusaha mengungkap factor-faktor dan tujuan alih kode (code switching) dan campur kode (code-mixing) yang dilakukan Bapak melalui pengamatan setiap interaksi berlangsung.

E.       Langkah-langkah Pengumpulan Data
Langkah-langkah pengumpulan data yang dilakukan adalah sebagai berikut:
1.         Mengidentifikasi tindakan tutur (kata, frase, klausa, kalimat, percakapan) yang dilakukan pak Sugianto;
2.         Mengklasifikasikan data yang sudah diidentifikasi dalam alih kode (code switching) dan campur kode (code-mixing);
3.         Menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi gejala kebahasaan tersebut, serta tujuan yang melingkupinya.

III.   KAJIAN TEORI
A.      Alih kode (code switching)
Alih kode (code switching) adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih menggunakan bahasa daerah.  Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing dan  masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
Konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya ragam formal ke ragam lain, misalnya penggunaan kromo inggil (bahasa jawa) ke tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya.[3] Kridalaksana mengemukakan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipasi lain disebut alih kode.[4] Holmes menegaskan bahwa suatu alih kode mencerminkan dimensi jarak sosial, hubungan status, atau tingkat formalitas interaksi para penutur.[5]
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa  alih kode merupakan gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan  peran dan situasi. Alih kode menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.

B.       Campur kode (code-mixing)
Campur kode (code-mixing) terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga konvergense kebahasaan (linguistic convergence).
Kridalaksana memberikan batasan campur kode atau interferensi sebagai penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya.[6] Nababan menyatakan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa yang menuntut percampuran bahasa itu. Tindak bahasa yang demikian disebut campur kode.[7] Campur kode dapat juga dikatakan sebagai alih kode yang berlangsung cepat dalam masyarakat multilinguistik.[8]
Dalam situasi berbahasa yang formal, jarang terdapat campur kode. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan formal biasanya disebabkan karena keterpaksaan tidak adanya ungkapan atau padanan yang tepat dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan dari bahasa lain (bahasa asing).




IV.   HASIL
A.      Faktor-faktor Alih Kode (code switching) dan Campur Kode (code-mixing)
Kecenderungan alih kode dan campur kode dari bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain atau ragam bahasa dalam satu bahasa, seringkali dipengaruhi oleh diri penutur yang bersangkutan, siapa lawan tutur yang sedang dihadapi, dan situasi pembicaraan yang melingkupinya.
1.         Penutur
Bahasa ibu atau bahasa daerah penutur sering kali terbawa masuk dalam tuturan-tuturan setiap orang. Hal ini memang selalu terjadi pada orang yang pasti memiliki banyak bahasa (multilingual). Tak ubahnya yang dilakukan pak Sugianto ketika memberi intruksi dengan bahasa Indonesia dan memasukkan beberapa unsur bahasa Jawa, berikut ini tuturannya:

“Mas, nanti lek penuh, motornya bisa sampean lebokno toko, gak popo Mas!”

Berdasarkan tuturan di atas, tampak konstruksi kalimat yang berbeda dengan pemakaian bahasa Indonesia pada umumnya. Perbedaan tersebut akan terlihat lebih jelas ketika dituturkan secara lisan. Campur kode ini dilakukan karena adanya pengaruh latar belakang bahasa ibu penutur, yaitu bahasa Jawa.

2.         Mitra Tutur
Dalam bahasa Jawa dikenal tingkatan-tingkatan bahasa yang syarat akan nilai sosial dan kesakralan. Tergantung siapa, kepada siapa, kapan dan dimana bahasa itu digunakan. Perhatikan tuturan pak Sugianto berikut ini:

“Pak, tulung pindahne barang ndek ngarep geh!”

Dalam setting ini Bapak Sugianto meminta karyawannya untuk memindahkan barang-barang yang ada diatas pic-up ke gudang. Kondisi ini sangat berbeda ketika pak Sugianto tengah menyapa pengunjung/pembeli sesaat setelah meminta karyawannya memindahkan barang-barang itu. Berikut tuturannya:

“Des pundi kabare pak Kasim?”

Disini pak Sugianto melayani pengunjung/pembeli. Alih kode dalam tuturan pak Sugianto tampak terlihat karena mitra tutur atau lawan bicara yang dihadapi berbeda, yaitu: karyawan (pertama) dan pembeli (kedua).
Pada tataran lain, dengan memperhatikan kemampuan kebahasaan mitra tutur yang sedang dihadapi, alih kode dan campur kode juga bisa terjadi. Tuturan berikut ini menunjukkan adanya upaya penutur untuk menghasilkan komunikasi yang efektif dengan beralih kode dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Indonesia.

“Nanti sampean bisa adzan, ngimami sholat di musholla. Orang-orang sibuk kabeh soale mas?”

Pak Sugianto mempertimbangkan mitra tutur yang sedang dihadapinya adalah bukan orang Jawa. Beliau mengganti kode bahasa yang digunakannya ke dalam bahasa Indonesia. Hal tersebut dilakukan karena penutur memahami dengan baik bahwa mitra tuturnya tidak menguasai bahasa yang sedang digunakannya (bahasa Jawa).

3.         Tuturan / Topik
Pokok Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa tak baku, gaya emosional, dan serba seenaknya. Berikut ini pak Sugianto melakukan alih kode karena topik yang melatar-belakangi tindakan tuturnya:

“Wes mangan durung, Pak Kasim?. Iki lho baksone!”

Pak Sugianto menawarkan pak Kasim, karyawannya, makan bakso dengan nada santai dan akrab. Dalam setting lain, pak Sugianto yang akan melaksanakan tasyakkur Aqiqah anaknya meminta pak Jamil, tetangganya, untuk hadir di rumahnya besok. Berikut tuturannya:

“Mengken dalu teng griyo kulo, Pak Jamil. Aqiqoh-an!”

Dalam tuturan ini, pak Sugianto lebih serius menyampaikan permintaannya kepada pak Jamil, yaitu dengan maksud mengundangnya. Terlihat bahwa alih kode yang dilakukan pak Sugianto juga dipengaruhi oleh topik pembicaraan.

B.       Tujuan Alih Kode (code switching) dan Campur Kode (code-mixing)
Berikut ini adalah beberapa tujuan alih kode (code switching) dan campur kode (code-mixing) yang dilakukan pak Sugianto:
1.         Pengakraban
Sebuah informasi dalam gagasan/pesan yang disampaikan oleh seorang penutur akan lebih mudah dipahami atau lebih cepat berterima jika ada kedekatan secara emosional antara individu-individu yang terlibat dalam peristiwa tutur.

“Wes mangan durung, Pak Kasim?. Iki lho baksone!”

Tuturan tersebut membuat pak Sugianto merasa lebih nyaman dan leluasa jika ia menawarkan pak Kasim, karyawannya, untuk makan dalam bahasa santai dengan menggunakan bahasa Jawa. Alih kode ini dilakukan dengan maksud menciptakan situasi yang lebih akrab dan santai.

2.         Penegasan
Campur kode yang dilakukan pak Sugianto juga mempunyai tujuan memberi penegasan terhadap apa yang ia sampaikan.. Ulasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam tuturan berikut ini:

“Mas, nanti lek penuh, motornya bisa sampean lebokno toko, gak popo Mas!”

Tuturan di atas menunjukkan adanya unsur bahasa Jawa masuk ke dalam kontruksi kalimat berbahasa Indonesia secara tidak disadari oleh pak Sugianto yang disebabkan kuatnya rasa kedaerahannya. Tujun dari campur kode tersebut adalah untuk menegaskan maksud penutur. Pada tuturan ini, pak Sugianto bermaksud memberikan tekanan pada kata “lebokno” untuk menegaskan bahwa secara tersirat tindakan yang diminta lawan tuturnya adalah sesuatu yang penting untuk dilakukan.

3.         Memperjelas
Dengan campur kode, tuturan lebih sesuai dengan kode bahasa pendengar, sehingga tuturan menjadi lebih jelas. Tuturan pak Sugianto berikut ini mengandung campur kode dalam tujuan ini.

Monggo sampean nyalakno lampune, mas! Tombole ndek tengen, sing kanan, mas…

Pada tuturan tak Sugianto di atas, tampak jelas bahwa terdapat campur kode, yaitu pada kata “kanan”. Tujuan dari campur kode tersebut adalah untuk memperjelas apa yang dimaksud. Karena ia merasa lawan bicaranya/mitra tuturnya tidak begitu paham dengan bahasa yang ia gunakan.

V.      PENUTUP
A.      Kesimpulan
Kontak yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching) dan campur kode (code-mixing). Dalam beberapa peristiwa tutur, pak Sugianto melakukan alih kode dan campur kode karena beberapa faktor, yaitu (1) penutur, dimana pak Sugianto menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa utama, (2) mitra penutur, dimana pak Sugianto bersosialisasi dengan banyak elemen masyarakat yang beragam, dan (3) topik pembicaraan.
Dalam kegiatan  komunikasi pada masyarakat multilingual, termasuk yang dilakukan pak Sugianto, alih kode dan campur kode  pada umumnya bertujuan untuk: (1) pengakraban, (2) penegasan, dan (3) memperjelas maksud penutur.

B.       Saran
Penelitian ini dilakukan dengan harapan mempertajam kepekaan terhadap gejala-gejala kebahasaan yang secara realistis ada di masayarakat. Faktor dan tujuan alih kode dan campur kode yang ditemukan peneliti barulah sebagian. Sebuah penelitian/kajian sosiolinguistik yang lebih khusus, dapat memberikan gambaran lebih banyak tentang berbagai faktor dan tujuan alih kode (code-switching) dan campur kode (code-mixing), serta berbagai pengetahuan lainnya yang terkandung dalam sebuah peristiwa tutur.


Daftar Pustaka


Chaer, Abdul dan Leonie Agustina.2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta.
Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society. New York: Blackwell
Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. 2nd ed. Edinburgh. Person Education Limited
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Pengantar Soisiolinguistik. Bandung : Angkasa
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta:  Gramedia
Spolsky, Bernard. 1998. Sociolinguistics. Oxford: Oxford University Press.
Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda
Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Surakarta: UNS Press






[1] Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of Society. Hlm: 180
[2] Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Hlm: 111
[3] Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar . Hlm: 31
[4] Kridalaksana, Harimurti. 1982. Pengantar Soisiolinguistik. Hlm: 7
[5] Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. Hlm: 35
[6] Kridalaksana, Harimurti. 1982. Pengantar Soisiolinguistik. Hlm: 32
[7] Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar . Hlm: 32
[8] Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. Hlm: 42

Tidak ada komentar:

Posting Komentar