I.
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Penelitian
bahasa dalam lingkungan sosial telah tumbuh secara signifikan dan sekarang
mencakup kebanyakan bahasa dan wilayah di dunia. Sosiolinguistik meneliti
hubungan antara bahasa dan masyarakat, antara penggunaan bahasa
dan struktur sosial dimana pengguna bahasa hidup. Sosiolinguis menggunakan berbagai pendekatan
yang berbeda dalam mengumpulkan data mereka, tetapi semua mencoba menjawab
beberapa bagian dari pertanyaan mendasar: yang berbicara bahasa apa, kepada siapa,
kapan, bagaimana, dan mengapa?.
Pemilihan
bahasa dalam masyarakat multibahasa merupakan gejala yang menarik untuk dikaji
dari perspektif sosiolingistik. Bahkan Fasold[1] mengemukakan bahwa sosiolionguistik dapat
menjadi bidang studi karena adanya pemilihan bahasa. Fasold memberikan
ilustrasi dengan istilah societal multilingualism yang
mengacu pada kenyataan adanya banyak bahasa dalam masyarakat.
Dalam
keberadaan manusia sebagai makhluk berbudaya dan makhluk sosial, bahasa
merupakan alat utama dalam mendukung segala aktifitas manusia. Dengan kata lain
manusia tidak akan terlepas dari bahasa dalam menjalankan aktifitasnya. Bahasa
adalah sebuah sistem dalam kehidupan manusia yang berkaitan dengan struktur
tata pola teratur yang membentuk keseluruhan kehidupan yang bermakna dan
berfungsi.
Di zaman yang semakin maju ini, dimana
hubungan dan pergaulan antar suku bangsa semakin terbuka luas, sangatlah sulit
menemukan kelompok-kelompok masyarakat yang di dalamnya hanya memiliki atau
hidup satu bahasa saja. Sebagai akibatnya, penggunaan dua bahasa atau lebih
dari seorang penutur tentu tidak tidak jarang kita jumpai. Salah satu akibatnya adalah percampuran yang
dilakukan (secara secara sadar maupun tidak)
dua sistem bahasa yang dipakai. Dalam keadaan tersebut, ada kalanya
seorang penutur mengganti unsur-unsur bahasa atau tingkat tutur dalam
pembicaraan yang dilakukannya, hal ini tergantung pada konteks dan situasi
berbahasa yang mengitarinya. Kondisi ini
merupakan kondisi berbahasa di dalam masyarakat bilingual/multilingual
menyangkut pemakaian dua atau lebih bahasa atau variasi bahasa secara
bergantian oleh penutur yang sama.
Kontak
yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang
bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung
mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching) dan campur kode (code-mixing. Dengan kata lain, gejala tersebut merupakan
gejala yang lazim terjadi sebagai produk bilingualisme/multilingualisme. Penggunaan alih kode dan campur kode
menjadi salah satu kajian
Sosiolinguistik.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas, Kami merumuskan beberapa masalah yaitu sebagai berikut:
1.
Apa saja faktor-faktor alih kode (code switching) dan campur kode (code-mixing) yang dilakukan pak Sugianto?
2.
Apa saja tujuan alih kode (code switching) dan campur kode (code-mixing) yang dilakukan pak Sugianto?
C. Tujuan
Mengacu pada rumusan
masalah, maka ada beberapa tujuan penulisan makalah ini, yaitu untuk:
1.
Mengetahui faktor-faktor alih kode (code switching) dan campur kode (code-mixing) yang dilakukan pak Sugianto.
2.
Mengetahui tujuan alih kode (code switching) dan campur kode (code-mixing) yang dilakukan pak Sugianto.
II. METODOLOGI
A. Metode
Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian deskripsi-kualitatif, dimana Sutopo[2]
mnjelaskan bahwa penelitian deskriptif-kualitataif mengarah pada pendeskripsian
secara rinci dan mendalam tentang potret kondisi tentang apa yang sebenarnya
terjadi menurut apa adanya di lapangan studinya.
B. Setting
Penelitian
Penelitian ini dilakukan di tempat peneliti bersosialisasi, Desa Gasek Kecamatan
Lowokwaru Kabupaten Malang. Setting waktu dan tempat diambilnya data dilakukan
situasional, tanpa batasan. Mulai dari toko bangunan, rumah pak Sugianto,
musholla dan sebagainya. Waktu juga menyesuaikan dimana tuturan-tuturan pak
Sugianto diungkapkan.
C. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan Bapak H. Sugianto. Beliau adalah
pemilik toko bahan bangunan (material), punya beberapa
karyawan dan dikenal supel. Beliau juga dipandang sebagai pemuka agama
oleh warga setempat.
D. Teknik
Pengumpulan Data
Adapun teknik dalam mengumpulkan data yaitu dengan observasi
(pengamatan), dimana peneliti berusaha mengungkap factor-faktor dan tujuan alih kode (code switching) dan campur kode (code-mixing) yang dilakukan Bapak
melalui pengamatan setiap interaksi berlangsung.
E. Langkah-langkah Pengumpulan Data
Langkah-langkah pengumpulan data yang dilakukan adalah
sebagai berikut:
1.
Mengidentifikasi tindakan tutur (kata, frase, klausa, kalimat,
percakapan) yang dilakukan pak Sugianto;
2.
Mengklasifikasikan data yang sudah diidentifikasi dalam
alih kode (code switching) dan campur kode (code-mixing);
3.
Menganalisis faktor-faktor yang melatarbelakangi gejala
kebahasaan tersebut, serta tujuan yang melingkupinya.
III. KAJIAN TEORI
A. Alih kode (code switching)
Alih kode (code switching)
adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode yang lain dalam suatu
peristiwa tutur. Misalnya penutur menggunakan bahasa Indonesia beralih
menggunakan bahasa daerah. Alih kode
merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam
masyarakat multilingual sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan
satu bahasa. Dalam alih kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung
fungsi masing-masing dan masing-masing
fungsi sesuai dengan konteksnya.
Konsep alih kode ini mencakup juga
kejadian pada waktu kita beralih dari satu ragam bahasa yang satu, misalnya
ragam formal ke ragam lain, misalnya penggunaan kromo inggil (bahasa jawa) ke
tutur yang lebih rendah, misalnya, bahasa ngoko, dan sebagainya.[3]
Kridalaksana mengemukakan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk
menyesuaikan diri dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya
partisipasi lain disebut alih kode.[4]
Holmes menegaskan bahwa suatu alih kode mencerminkan dimensi jarak sosial,
hubungan status, atau tingkat formalitas interaksi para penutur.[5]
Dari pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa alih kode merupakan
gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan peran dan situasi. Alih kode menunjukkan
adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan situasional yang
relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
B. Campur kode (code-mixing)
Campur kode (code-mixing)
terjadi apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan
mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya
berhubungan dengan karakteristk penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat
pendidikan, rasa keagamaan. Biasanya ciri menonjolnya berupa kesantaian atau
situasi informal. Namun bisa terjadi karena keterbatasan bahasa, ungkapan dalam
bahasa tersebut tidak ada padanannya, sehingga ada keterpaksaan menggunakan
bahasa lain, walaupun hanya mendukung satu fungsi. Campur kode termasuk juga
konvergense kebahasaan (linguistic
convergence).
Kridalaksana memberikan batasan campur
kode atau interferensi sebagai penggunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke
bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di
dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, sapaan, dan sebagainya.[6]
Nababan menyatakan bahwa suatu keadaan berbahasa menjadi lain bilamana orang
mencampurkan dua (atau lebih) bahasa atau ragam bahasa dalam situasi berbahasa
yang menuntut percampuran bahasa itu. Tindak bahasa yang demikian disebut
campur kode.[7]
Campur kode dapat juga dikatakan sebagai alih kode yang berlangsung cepat dalam
masyarakat multilinguistik.[8]
Dalam situasi berbahasa yang formal,
jarang terdapat campur kode. Kalau terdapat campur kode dalam keadaan formal
biasanya disebabkan karena keterpaksaan tidak adanya ungkapan atau padanan yang
tepat dalam bahasa yang dipakai itu, sehingga perlu memakai kata atau ungkapan
dari bahasa lain (bahasa asing).
IV. HASIL
A. Faktor-faktor
Alih Kode (code switching) dan Campur Kode (code-mixing)
Kecenderungan alih kode dan campur kode dari
bahasa yang satu ke dalam bahasa yang lain atau ragam
bahasa dalam satu bahasa, seringkali dipengaruhi oleh diri penutur yang
bersangkutan, siapa lawan tutur yang sedang dihadapi, dan situasi pembicaraan
yang melingkupinya.
1.
Penutur
Bahasa ibu atau bahasa daerah penutur sering kali terbawa masuk
dalam tuturan-tuturan setiap orang. Hal ini memang selalu terjadi pada orang
yang pasti memiliki banyak bahasa (multilingual). Tak ubahnya yang dilakukan
pak Sugianto ketika memberi intruksi dengan bahasa Indonesia dan memasukkan
beberapa unsur bahasa Jawa, berikut ini tuturannya:
“Mas, nanti lek penuh, motornya bisa sampean lebokno toko, gak
popo Mas!”
Berdasarkan tuturan di atas, tampak konstruksi kalimat yang
berbeda dengan pemakaian bahasa Indonesia pada umumnya. Perbedaan tersebut akan
terlihat lebih jelas ketika dituturkan secara lisan. Campur kode ini dilakukan
karena adanya pengaruh latar belakang bahasa ibu penutur, yaitu bahasa Jawa.
2.
Mitra Tutur
Dalam
bahasa Jawa dikenal tingkatan-tingkatan bahasa yang syarat akan nilai sosial
dan kesakralan. Tergantung siapa, kepada siapa, kapan dan dimana bahasa itu
digunakan. Perhatikan tuturan pak Sugianto berikut ini:
“Pak,
tulung pindahne barang ndek ngarep geh!”
Dalam
setting ini Bapak Sugianto meminta karyawannya untuk memindahkan barang-barang
yang ada diatas pic-up ke gudang. Kondisi ini sangat berbeda ketika pak Sugianto
tengah menyapa pengunjung/pembeli sesaat setelah meminta karyawannya
memindahkan barang-barang itu. Berikut tuturannya:
“Des
pundi kabare pak Kasim?”
Disini
pak Sugianto melayani pengunjung/pembeli. Alih kode dalam tuturan pak Sugianto
tampak terlihat karena mitra tutur atau lawan bicara yang dihadapi berbeda,
yaitu: karyawan (pertama) dan pembeli (kedua).
Pada
tataran lain, dengan memperhatikan kemampuan kebahasaan mitra tutur yang sedang
dihadapi, alih kode dan campur kode juga bisa
terjadi. Tuturan berikut ini menunjukkan adanya upaya penutur untuk
menghasilkan komunikasi yang efektif dengan beralih kode dari bahasa Jawa ke
dalam bahasa Indonesia.
“Nanti
sampean bisa adzan, ngimami sholat di musholla. Orang-orang sibuk kabeh
soale mas?”
Pak
Sugianto mempertimbangkan mitra tutur yang sedang dihadapinya adalah bukan
orang Jawa. Beliau mengganti kode bahasa yang digunakannya ke dalam bahasa
Indonesia. Hal tersebut dilakukan karena penutur memahami dengan baik bahwa
mitra tuturnya tidak menguasai bahasa yang sedang digunakannya (bahasa Jawa).
3.
Tuturan / Topik
Pokok
Pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam menentukan
terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal biasanya
diungkapkan dengan ragam baku, dengan gaya netral dan serius dan pokok
pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa tak baku, gaya
emosional, dan serba seenaknya. Berikut ini pak Sugianto melakukan alih kode karena
topik yang melatar-belakangi tindakan tuturnya:
“Wes
mangan durung, Pak Kasim?. Iki lho baksone!”
Pak
Sugianto menawarkan pak Kasim, karyawannya, makan bakso dengan nada santai dan
akrab. Dalam setting lain, pak Sugianto yang akan melaksanakan tasyakkur
Aqiqah anaknya meminta pak Jamil, tetangganya, untuk hadir di rumahnya
besok. Berikut tuturannya:
“Mengken
dalu teng griyo kulo, Pak Jamil. Aqiqoh-an!”
Dalam
tuturan ini, pak Sugianto lebih serius menyampaikan permintaannya kepada pak
Jamil, yaitu dengan maksud mengundangnya. Terlihat bahwa alih kode yang
dilakukan pak Sugianto juga dipengaruhi oleh topik pembicaraan.
B. Tujuan Alih
Kode (code switching) dan Campur Kode (code-mixing)
Berikut ini adalah beberapa tujuan alih kode (code switching) dan campur kode (code-mixing) yang
dilakukan pak Sugianto:
1.
Pengakraban
Sebuah informasi dalam gagasan/pesan
yang disampaikan oleh seorang penutur akan lebih mudah dipahami atau lebih
cepat berterima jika ada kedekatan secara emosional antara individu-individu
yang terlibat dalam peristiwa tutur.
“Wes
mangan durung, Pak Kasim?. Iki lho baksone!”
Tuturan tersebut membuat pak Sugianto
merasa lebih nyaman dan leluasa jika ia menawarkan pak Kasim, karyawannya,
untuk makan dalam bahasa santai dengan menggunakan bahasa Jawa. Alih kode ini
dilakukan dengan maksud menciptakan situasi yang lebih akrab dan santai.
2.
Penegasan
Campur kode yang
dilakukan pak Sugianto juga mempunyai tujuan memberi penegasan terhadap apa
yang ia sampaikan.. Ulasan mengenai hal ini dapat dilihat dalam tuturan berikut ini:
“Mas, nanti lek penuh, motornya bisa sampean lebokno toko,
gak popo Mas!”
Tuturan di atas menunjukkan adanya unsur
bahasa Jawa masuk ke dalam kontruksi kalimat berbahasa Indonesia secara tidak
disadari oleh pak Sugianto yang disebabkan kuatnya rasa kedaerahannya. Tujun dari campur kode tersebut adalah
untuk menegaskan maksud penutur. Pada tuturan ini, pak
Sugianto bermaksud memberikan tekanan pada kata “lebokno” untuk menegaskan bahwa secara
tersirat tindakan yang diminta lawan tuturnya adalah sesuatu yang penting untuk dilakukan.
3.
Memperjelas
Dengan
campur kode, tuturan lebih sesuai dengan kode bahasa pendengar, sehingga
tuturan menjadi lebih jelas. Tuturan pak Sugianto berikut ini mengandung campur
kode dalam tujuan ini.
“Monggo sampean nyalakno
lampune, mas! Tombole ndek tengen, sing kanan, mas…”
Pada tuturan tak
Sugianto di atas, tampak jelas bahwa terdapat campur kode, yaitu
pada kata “kanan”. Tujuan dari campur kode tersebut adalah untuk memperjelas apa yang dimaksud. Karena ia merasa lawan
bicaranya/mitra tuturnya tidak begitu paham dengan bahasa yang ia gunakan.
V. PENUTUP
A. Kesimpulan
Kontak
yang intensif antara dua bahasa atau lebih di dalam situasi yang
bilingual/multilingual seperti dalam masyarakat Indonesia cenderung
mengakibatkan timbulnya gejala alih kode (code-switching) dan campur
kode (code-mixing). Dalam beberapa peristiwa tutur, pak
Sugianto melakukan alih kode dan campur kode
karena beberapa faktor, yaitu (1) penutur, dimana
pak Sugianto menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa utama, (2) mitra penutur, dimana
pak Sugianto bersosialisasi dengan banyak elemen masyarakat yang beragam, dan (3) topik pembicaraan.
Dalam kegiatan
komunikasi pada masyarakat multilingual, termasuk yang dilakukan pak
Sugianto, alih kode dan campur kode pada
umumnya bertujuan untuk: (1) pengakraban, (2) penegasan, dan (3) memperjelas maksud penutur.
B. Saran
Penelitian ini dilakukan dengan
harapan mempertajam kepekaan terhadap gejala-gejala kebahasaan yang secara
realistis ada di masayarakat. Faktor dan tujuan alih kode dan campur kode
yang ditemukan peneliti barulah sebagian. Sebuah
penelitian/kajian sosiolinguistik yang lebih khusus, dapat memberikan gambaran
lebih banyak tentang berbagai faktor dan tujuan alih kode (code-switching) dan campur
kode (code-mixing), serta
berbagai pengetahuan lainnya yang terkandung dalam sebuah peristiwa tutur.
Daftar Pustaka
Chaer, Abdul dan Leonie Agustina.2010. Sosiolinguistik Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka Cipta.
Fasold, Ralph. 1984. The Sociolinguistics of
Society. New York: Blackwell
Holmes, Janet. 2001. An Introduction to Sociolinguistics. 2nd ed. Edinburgh. Person
Education Limited
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Pengantar
Soisiolinguistik. Bandung : Angkasa
Nababan, P.W.J. 1986. Sosiolinguistik:
Suatu Pengantar. Jakarta: Gramedia
Spolsky, Bernard. 1998. Sociolinguistics. Oxford: Oxford
University Press.
Sumarsono dan Paina Partana. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Sabda
Sutopo,
H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif: Dasar Teori dan Terapannya dalam
Penelitian. Surakarta: UNS Press
[2] Sutopo, H.B. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif:
Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. Hlm: 111
Tidak ada komentar:
Posting Komentar