Pages - Menu

Kamis, 18 Februari 2016

II - Pendekatan Studi Islam - TEORI BATAS (Studi Pemikiran Hermeneutika Muhammad Syahrur)

TEORI BATAS
(Studi Pemikiran Hermeneutika Muhammad Syahrur)






Makalah ini disusun untuk memenuhi Tugas
Matakuliah: Pendekatan Studi Islam
Pengampu: Dr. Zainul Mahmudi, MA





Penyusun: Bayu Kusferiyanto








Description: Description: Description: F:\DATA VISUAL\ARSIP GAMBAR\Logo Maulana\LOGO UIN MMI trans .png
 
















PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

April, 2014



Kata Pengantar


Bismillahirrahmanirrahim.
Puji-Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga terlimpah-curahkan kepada Rasul, Nabi Muhammad SAW, guru semesta alam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah Pendekatan Studi Islam yang diampu Bapak Dr. Zainul Mahmudi, MA dengan judul “Teori Batas: Studi Pemikiran Hermeneutika Muhammad Syahrur”.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai konsep studi Islam. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang akan Kami susun berikutnya.
Semoga makalah ini dapat dapat berguna bagi kami selaku penyusun khususnya, atau bagi siapapun yang membacanya secara umum. Demikian dan akhirnya kami ucapkan terimakasih.



Kami,


Penyusun


Daftar Isi


Cover
Kata Pengantar .........................................................................................        i
Daftar Isi ....................................................................................................        ii
BAB I   : PENDAHULUAN ....................................................................        1
1.1     Latar Belakang ..............................................................................       
1.2     Rumusan Masalah .........................................................................       
1.3     Tujuan ...........................................................................................       
BAB II : PEMBAHASAN ........................................................................        3
2.1     Biografi Muhammad Syahrur .......................................................        3
A.      Riwayat Hidup, Pendidikan dan Karir Muhammad Syahrur        3
B.       Karya Muhammad Syahrur ....................................................        4
2.2     Hermeneutika Muhammad Syahrur ..............................................        4
A.      Latar Belakang Pemikiran Muhammad Syahrur ....................        4
B.       Teori Batas Muhammad Syahrur ...........................................        5
2.3     Beberapa pemikiran Muhammad Syahrur .....................................        11
A.      Poligami .................................................................................        11
B.       Kewarisan ..............................................................................        13
BAB III : PENUTUP ................................................................................        15
3.1     Simpulan .......................................................................................        15
3.2     Saran .............................................................................................        15
Daftar Pustaka ..........................................................................................        17



BAB I
PENDAHULUAN


1.1    Latar Belakang
Tidak dapat dipungkiri bahwa kajian al-Qur’an dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan. Perkembangan tersebut ditandai dengan munculnya sejumlah akademisi yang menawarkan gagasan-gagasan baru dalam metodologi pemahaman terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an yang disebut sebagai shalih li kulli zaman wa makan oleh Muhammad Syahrur, sejatinya selamanya akan membisu tanpa campur tangan manusia sebagai reader. Untuk itulah, sebagai reader perlu adanya upaya pembacaan al-Qur’an yang komprehensif juga tidak otoritatif. Al-Qur’an sebagai kitab universal sudah semestinya tidak dimanipulasi penafsirannya dalam segala konteks dan ruang tertentu, melainkan bagaimana penafsiran terhadap al-Qur’an selalu beiringan dengan konteks ruang dan waktu yang sesuai dengan zamannya.
Dalam perkembangan metodologi studi al-Qur’an muncul alat bantu memahami al-Qur’an disamping tafsir, yaitu hermeneutika. Pada dasarnya keduanya hampir sama, bahkan oleh sebagian orang, hermeneutika dimiripkan dengan ta’wil. Hermeneutika yang diusung seorang tokoh boleh jadi berbeda dengan tokoh lain, tergantung pada metodologinya, hal ini pun juga terdapat dalam setiap penafsiran.
Dalam kajian Islam, jika menyebut seorang Syahrur, maka sekan-akan tidak nyaman apabila belum meraba teori hudud atau teori limit-nya. Apa yang dimaksud teori limit atau hudud adalah sebuah metode memahami ayat-ayat hukum (muhkamat) sesuai dengan konteks sosio-historis masyarakat kontemporer agar ajaran al-Qur’an tetap relevan dan kontekstual sepanjang masih berada dalam wilayah batas hukum Allah. Buah dari penelitian yang diakuinya tersebut, lahirlah sebuah teori yang aplikatif, yakni nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas).
Untuk itu, makalah ini akan membahas segelumit mengenai Hermeneutika Syahrur yang sempat menggemparkan sejumlah tokoh Muslim dunia, gagasan teori batas dan sejauh mana aplikasi teorinya pada ayat-ayat al-Qur’an.

1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, Kami merumuskan beberapa masalah yaitu sebagai berikut:
1.         Bagaimana biografi Muhammad Syahrur?
2.         Bagaimana Hermneutika Muhammad Syahrur?
3.         Bagaimana hasil pemikiran Muhammad Syahrur?

1.3    Tujuan
Mengacu pada rumusan masalah, maka ada beberapa tujuan penulisan makalah ini, yaitu untuk:
1.         Bagaimana biografi Muhammad Syahrur?
2.         Bagaimana Hermneutika Muhammad Syahrur?
3.         Bagaimana hasil pemikiran Muhammad Syahrur?


BAB II
PEMBAHASAN


2.1    Biografi Muhammad Syahrur
A.       Riwayat Hidup, Pendidikan dan Karir Muhammad Syahrur
Syahrur, yang memiliki nama lengkap Muhammad Syahrur ibn Deyb ibn Seyb Syahrur, lahir pada tanggal 11 April 1938 di Damaskus, Syiria. Ibunya bernama Siddiqah binti Salih Filyun. Dia dikaruniai 5 orang anak hasil pernikahannya dengan seorang wanita yang bernama Azizah.[1]
Syahrur kecil pertama kali mengenyam pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai menengah di tanah kelahirannya sendiri, Damaskus, tepatnya di Lembaga Pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi. Tamat dari sekolah menengah pada tahun 1957, dia melanjutkan studi S1-nya di Moskow Uni Soviet (sekarang Rusia) atas bantuan beasiswa dari pemerintah Syiria. Bidang yang dipilihnya adalah teknik sipil. Selesai studi pada tahun 1964, dia kembali ke Damaskus dan diangkat menjadi dosen di Universitas Damaskus. Tahun 1967 dia mendapat kesempatan melakukan penelitian di Imperial College di London,[2] namun tidak selesai karena terjadi perang antara Syiria dan Israel yang mengakibatkan putusnya hubungan diplomatic antara Syiria dan Inggris. Setelah kembali dari London, tahun 1968, dia kembali dikirim oleh Universitas Damaskus untuk melanjutkan studi S2 dan S3 ke Dubin Irlandia. Di sana dia masuk ke National University of Ireland dengan mengambil bidang mekanika turbah wa asasat (Soil Mechanics and Foundation Engineering). Studi lanjut tersebut, S2 dan S3, berhasil dia selesaikan lebih kurang dalam waktu 4 tahun (1968-1972). Tahun 1972 dia kembali ke Damaskus dan menjadi dosen tetap di sana.[3]
Meskipun dia seorang pakar dalam bidang ilmu teknik mekanik tanah dan geologi, ternyata dia juga seorang yang haus ilmu dan sangat tertarik dengan kajian-kajian sosial seperti filsafat, linguistik dan keislaman. Salah seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan pemikirannya adalah Ja’far Dakk al-Bab, yang juga teman seprofesinya di Universitas Damaskus. Dia adalah seorang pakar dalam bidang linguistik modern.[4]
Karir akademiknya cukup bagus, disamping menjadi dosen tetap di Universitas Damaskus, dia juga menjadi tenaga ahli pada al-Sa`ud Consult Arab Saudi. Dia juga bertindak sebagai salah seorang konsultan teknik pada Lembaga Biro Konsultasi Teknik Dar al-Isytisyarat al-Handasiyyah (Engineering Consultancy) di Damaskus.[5]
B.       Karya Muhammad Syahrur
Sebagai seorang intelektual, dia termasuk seorang penulis yang produktif. Beberapa karya yang berhasil dia tulis adalah:[6]
1.        al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu`ashirah
2.        Dirasah Islamiyah Mu`ashirah fi ad-Daulah wa al-Mujtama`
3.        al-Islam wa al-Iman Manzumat al-Qiyam
4.        Masyru` Misaq al-`Amal al-Islami
5.        Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami.
Disamping itu dia juga banyak menulis artikel, diantaranya:[7]
1.        The Devine Text and Pluralism in Moeslem Societies.
2.        Reading Religious Text; A New Approach
3.        Islam in the 1995 Beijing World Conference on Women.

2.2    Hermeneutika Muhammad Syahrur
A.       Latar Belakang Pemikiran Muhammad Syahrur
Persoalan mendasar yang memunculkan kegelisahan Syahrur untuk melakukan kajian keislaman secara glabal dapat dibedakan menjadi dua dimensi yang saling berekaitan, yaitu realitas masyarakat Islam kontemporer dan realitas doktrin tradisi (turas) dalam Islam.[8] Syahrur melihat bahwa komunitas muslim saat ini masih terpolarisasi ke dalam dua kubu. Pertama, mereka yang berpegang secara ketat pada arti literal dari tradisi. Mereka berkeyakinan bahwa warisan tersebut menyimpan kebenaran absolut. Apa yang cocok untuk komunitas pertama dari orang-orang beriman di zaman Nabi saw, juga cocok untuk semua orang yang beriman di zaman apapun. Kedua, mereka yang cenderung menyerukan sekularisme dan modernitas serta menolak semua warisan Islam, termasuk al-Qur’an sebagai bagian dari tradisi yang diwarisi yang hanya menjadi candu dari pendapat umum. Bagi mereka ritual adalah gambaran ketidakjelasan.
Menurut Syahrur, semua kelompok ini telah gagal memenuhi janji mereka untuk menyediakan modernitas kepada masyarakatnya. Kegagalan dua kubu inilah yang kemudian memunculkan kelompok ketiga, dan Syahrur mengklaim dirinya berdiri dalam kelompok ini. Syahrur berpendapat bahwa dalam memahami al-Qur’an, umat Islam hendaknya bersikap sebagai generasi awal Islam. Dengan redaksi cukup manis, Syahrur mengatakan:[9] “Perlakukanlah al-Qur’an seolah-olah ia baru saja diwahyukan dan Nabi saw baru meninggal kemarin”.
B.       Teori Batas Muhammad Syahrur
1.        Pengertian dan Istilah
a)        Al-Hudud
Syahrur merumuskan teori hududnya berangkat dari QS an-Nisa’ ayat 13-34, yang terkait dengan pembagian waris. Pada ayat 13, terdapat kalimat “tilka huduud Allah” dan pada ayat 14, terdapat kalimat “wa yata’adda huduudahu”. Kata “huduud” disini berbentuk jamak (plural) dari bentuk mufrad-nya hadd yang artinya batas (limit).[10] Pemakaian bentuk plural disini menandakan bahwa batas yang ditentukan Allah berjumlah banyak, dan manusia memiliki keleluasaan untuk memilih batasan tersebut sesuai dengantuntutan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Selama masih berada dalam koridor batasan tersebut, manusia tidak menanggung beban dosa. Pelanggaran hokum Tuhan terjadi jika manusia melampaui batasan-batasan tersebut.
b)        Al-Hanifiyyah dan Al-Istiqaamah
Pada sisi lain, Syahrur[11] menemukan dua aspek pemahaman keislaman yang dilupakan selama ini, yaitu: al-hanifiyyah dan al-istiqaamah. Melalui analisis linguistic, bahwa kata al-hanif berasal dari hanafa, yang dalam bahasa Arab berarti bengkok, melengkung, atau bisa juga diartikan orang yang berjalan di atas dua kakinya, atau berarti orang yang bengkok kakinya. Kata ini juga dibandingkan dengan kata janafa yang berarti condong kepada kebagusan.
Adapun kata al-istiqaamah derivasi dari akar kata qawm yang memiliki dua arti, yaitu: kumpulan laki-laki dan berdiri tegak (al-intisab) atau kuat (al-‘azm). Dari kata al-intisab muncul kata al-mustaqim, lawan dari melengkung. Sedangkan dari kata al-‘azm muncul kata ad-din al-qayyim (agama yang kuat dalam kekuasaan).
2.        Sumber Pemikiran
Syahrur[12] mendasarkan konsepnya dalam menyusun Teori Batasnya pada al-Qur’an Surat an-Nisa’ ayat 13-14:
šù=Ï? ߊrßãm «!$# 4 ÆtBur ÆìÏÜム©!$# ¼ã&s!qßuur ã&ù#Åzôム;M»¨Zy_ ̍ôfs? `ÏB $ygÏFóss? ㍻yg÷RF{$# šúïÏ$Î#»yz $ygŠÏù 4 šÏ9ºsŒur ãöqxÿø9$# ÞOŠÏàyèø9$# ÇÊÌÈ   ÆtBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur £yètGtƒur ¼çnyŠrßãn ã&ù#Åzôム#·$tR #V$Î#»yz $ygÏù ¼ã&s!ur ÑU#xtã ÑúüÎgB ÇÊÍÈ  
Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Ban Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”
Syahrur mencermati penggalan ayat “tilka hudud Allah” yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan batasan hokum adalah hanya Allah swt semata (haqq as-saari’). Sedangkan Muhammad saw, walaupun beridentitas sebagai Nabi dan Rasul, pada hakikatnya bukanlah sebagai penentu hokum yang memiliki otoritas penuh (as-syaari’). Muhammad adalah seorang pelopor Ijtihad dalam Islam.
Dengan demikian haruslah dipahami bahwa ketetapan hokum yang bersumber dari nabi tidak semua identic dengan penetapan hokum dari Allah. Hukum yang ditetapkan Nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai dengan derajat pemahaman, nalar zaman dan peradaban masyarakat waktu itu. Maka ketetapan hokum tersebut tidak bersifat mengikat hingga akhir zaman.


3.        Analisi Matematis
Secara matematis, Syahrur menggambarkan hubungan antara al-hanafiyyah dan al-istiqamah dengan sebuah kurva dan garis lurus yang bergerak pada sebuah matriks.[13]
 








Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu sejarah, sedangkan sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan oleh Allah Swt. Kurva (al-hanifiyyah) menggambarkan dinamika ijtihad manusia bergerak sejalan dengan sumbu X yang dibatasi dengan hokum yang telah ditentukan oleh Allah pada sumbu Y.[14] Dengan demikian, hubungan kurva dan garis lurus secara keseluruhan bersifat dialektik, yang tetap dan yang berubah senantiasa saling terkait.Dialektika adalah hubungan yang menunjukkan bahwa hokum itu dapat sesuai dengan ruang dan waktu.
Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas yang dapat digambarkan dalam bentuk matematis dengan perincian sebagai berikut:[15]
a)        Halah al-had al-a’la (posisi batas maksimal).
Daerah hasil (range) dari persamaan fungsi y (Y)=f (x) berbentuk kurva tertutup yang hanya memiliki satu titik batas maksimum. Titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x.
 







Untuk kasus ini dapat kita lihat pada QS. Al-Maidah: 38 mengenai pencuri. Baik laki-laki maupun perempuan maka potonglah tangan mereka. Potong tangan disini adalah hukuman maksimum. Karena itu hukuman untuk pencuri tidak mesti potong tangan tetapi tergantung pada kualitas barang yang dicuri dan kondisi saat itu.
b)        Halah al-hadd al-adna (posisi batas minimal).
Daerah hasilnya berbentuk kurva tebuka yang memiliki satu titik batas minimum. Titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x.


 








Dalam batas minimum ini Syahrur mencontohkan pada pelarangan dalam al-Qur’an untuk mengawini para perempuan yang disebutkan pada surat an-Nisa`: 22: ”…dalam kondisi apapun tidak boleh melanggar batasan ini meskipun telah melakukan proses ijtihad”. Contoh batasan ini terdapat dalam surat an-Nisa’: 23: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);…”
Dalam kondisi apapun tidak seorang pun yang diperbolehkan menikahi mereka yang dilarang dalam ayat ini, meskipun didasarkan pada ijtihad.
c)        Halah al-haddayn al-a’la wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal bersamaan dengan batas minimal).
Daerah hasilnya berupa kurva tertutup dan terbuka yang masing-masing mamiliki titik balik maksimum dan minimum. Kedua titik balik tersebut terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x. Diantara kedua kurva ini terdapat titik singgung (nuqtah al-ini’taf) yang tepat berada diantara keduanya. Posisi ini juga disebut dengan halah al-mustaqim atau halah at-tasyri’ al-ayni (posisi penetapan hukum secara mutlak).
 








Batasan ini berlaku pada pemabagian harta warisan. Dalam al-Qur’an dapat diperhatikan dalam QS. an-Nisa’ ayat 11. Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; ..”
d)        Halah al-mustaqim (posisi lurus tanpa alternatif).
X
 
Daerah hasilnya berupa garis lurus sejajar dengan sumbu x. Karena berbentuk garis lurus, posisi ini meletakkan titik balik maksimum berimpit dengan titik balik minimum.
 








Ketentuan ini hanya terdapat satu kasus dalam al-Qur’an pada surat an-Nur mengenai kasus perzinaan. Bagi pezina laki-laki maupun perempuan maka deralah mereka 100 x tidak boleh kurang dan tidak boleh lebih.
e)        Halah al-hadd al-a’la li hadd al-muqarib duna al-mamas bi al-hadd abadan (posisi batas maksimal cenderung mendekat tanpa bersentuhan).
X
 
Daerah hasilnya berupa kurva terbuka yang terbentuk dari titik pangkal yang hampir berhimpit dengan sumbu x dan titik final yang hampir berhimpit dengan sumbu y. Secara matematis, titik final hanya benar-benar berhimpit dengan sumbu y pada daerah tak terhingga (’ala la nibayah).
 








Posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik antara laki-laki dan perempuan. Hubungan fisik terjadi antara manusia berlawanan jenis ini bermula dari batasan terendah, berupa hubungan tanpa persentuhan sama sekali antara keduanya dan berakhir pada batasan paling tinggi, berupa tindakan yang menjurus pada hubungan kelamin yang disebut zina. Ketika seseorang masih berada pada tahap melakukan tindakan yang menjurus ke zina tetapi belum sampai pada zina itu maka ia belum terjerumus pada batasan maksimum hubungan fisik yang ditetapkan Allah. Sebelum mereka melakukan zina maka hukuman had Tuhan itu tidak dapat dilaksanakan kecuali hukuman khalwat.
f)          Halah al-hadd al-a’la mujaban wa al-hadd al-adna saliban (posisi batas maksimal positif dan batas minimal negatif).
X
 
Daerah hasilnya berupa kurva gelombang dengan titik balik maksimum yang berada di daerah positif (kedua variabel x dan y, bernilai positif) dan titik balik minimum berada di daerah negatif (variabel y bernilai negatif). Kedua titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x.
 








Teori batas keenam inilah yang kita pakai dalam menganalisis transaksi keuangan. Batas tertingi dalam peminjaman uang dinamakan dengan pajak bunga dan batas terendah dalam pemberian adalah zakat. Garis tengah yang berada antara wilayah positif (+) dan negatif (-) adalah titik nol (batas netral). Pemberian pada wilayah nol ini adalah peminjaman bebas bunga (qardh hasan).

2.3    Beberapa pemikiran Muhammad Syahrur
A.       Poligami
Ayat-ayat poligami yang termasuk ayat-ayat hududiyah ini memberikan batasan maksimal dan minimal baik dari segi jumlah, kuantitas maupun kualitas.[16]
a)        Batas-batas Kuantitas
Muhammad Syahrur menyatakan bahwa ayat ini membicarakan pernikahan dengan redaksi fankihu yang kemudian mengawali jumlah istri dengan angka 2 (matsna). Batas minimal istri adalah 1 orang perempuan dan batas maksimalnya adalah 4 orang perempuan. Proses peningkatan jumlah ini diawali dengan dua, tiga, dan terakhir empat. Dalam hubungan bilangan bulat, karena manusia tidak dapat dihitung dengan angka pecahan.23
Poligami dibolehkan selama berada pada batasan hukum tersebut, yaitu antara satu sampai empat. Orang yang menikah dengan satu istri berarti dia telah mengikuti batas minimal hukum Allah, dan yang menikahi empat istri, dia juga tetap dalam batasan maksimal hukum Allah secara kuantitatif.24
Penulis tidak setuju dengan pernyataan Syahrur tentang batas minimal satu istri. Angka satu dalam hal ini tidak bisa diminimalkan karena perempuan sebagai istri tidak mungkin dinikahi setengah perempuan, harus satu perempuan. Itulah hikmahnya ayat ini dimulai dengan angka 2, 3, dan teakhir 4. (Nikahilah perempuan yang kamu senangi, boleh dua, tiga, sampai empat). Nah, di sini dapat dipahami, kalau sudah menikah dengan satu istri kemudian mau menikah lagi, maka dibolehkan beristri sampai empat bila memenuhi syarat.
b)        Batas-batas dari Sisi Kualitas
Syahrur menetapkan batas kualitas perempuan yang akan dijadikan istri kedua. Dalam hal ini sangat terkait dengan pemahaman munasabah antara pola kalimat jawab asy-syart antara ayat fankihu ma thaba lakum min an-nisa dengan ayat wa in khiftum an la tuqsithu fi al-yatama.[17] Dalam konteks ini harus dihubungkan antara redaksi syarat dan redaksi jawab syarat sehingga memperoleh pemahaman bahwa ayat ini tidak menyebut syarat kualitas istri pertama, apakah ia seorang perawan atau janda; dengan punya anak atau janda yang tidak punya anak. Dengan memahami munasabah ini nampaklah keserasian antara redaksi jawab syarat fankihu dan redaksi syaratnya yaitu keadilan kepada anak yatim. Ayat ini dipahami sebagai ayat para ibu anak-anak yatim yang berstatus janda. Kesimpulannya bahwa ayat ini memberi kelonggaran dari segi jumlah hingga empat istri, tetapi menetapkan persyaratan istri kedua, ketiga, dan keempat, harus seorang perempuan yang berstatus janda yang memiliki anak.
Nampaknya Syahrur menekankan pemahaman munasabah ayat dalam konteks syarat dan jawab syarat. Jadi dibolehkannya menikah sampai empat istri merupakan jawab syarat dari ayat sebelumnya dan menjelaskan tentang keadilan pada anak yatim. Hal ini menunjukkan bahwa pernikahan kedua sampai keempat berkaitan erat dengan pemeliharaan anak yatim. Dengan kata lain, wanita yang boleh dinikahi sebagai istri kedua, ketiga, atau keempat, itu adalah ibu anak-anak yatim (janda) dan tidak dibolehkan menikahi wanita perawan.
Penulis tidak sependapat dengan Syahrur bahwa poligami dibolehkan dengan persyaratan istri kedua, ketiga, dan keempat, harus seorang perempuan yang berstatus janda yang punya anak. Munasabah antara pola kalimat syarat dengan jawab syarat adalah dimaksudkan bahwa jika kamu tidak mampu berlaku adil terhadap anak (jika kamu menikahinya) dalam hal pemeliharaan hartanya, maka nikahilah perempuan yang pantas bagimu selain dari anak-anak yatim, boleh dua, tiga, atau keempat, apakah perawan atau janda, sebagaimana istri pertama apa perawan atau janda.
Selanjutnya Syahrur menguraikan pola kalimat wa in khiftun `an la ta`dilu fa wahidah yang berarti berlaku adil pada anak-anaknya sendiri dari istri pertama dan pada anak-anak yatim yang ikut bersama istri-istrinya yang lain. Dalam ayat ini pengertian `adl (bertindak adil antara dua pihak) yaitu tindakan adil seorang bapak kepada anak-anak dari istri pertama dan kepada anak-anak dari istri-istri lainnya. Sedangkan tindakan qisht hanya ditujukan kepada anak-anak yatim saja yaitu anak-anak yang dibawa oleh istri kedua, ketiga, dan keempat, sebagaimana firman Allah wa in khiftum an la tuqsithu fi al-yatama, jika seseorang laki-laki yang sudah beristri khawatir tidak dapat berbuat adil, baik terhadap anak-anaknya sendiri maupun anak-anak yatim tersebut, maka hendaklah dengan satu perempuan saja.[18]
B.       Kewarisan
Qur’an surah an-Nisa [4]: 11. “Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan…”
Syahrur menyatakan bahwa ayat waris ini menjelaskan tentang batasan maksimal yang berlaku bagi laki-laki dan batasan minimal yang berlaku bagi perempuan. Jika beban ekonomi keluarga sepenuhnya atau seratus persen ditanggung pihak laki-laki. Sedangkan pihak perempuan sama sekali tidak terlibat atau nol persen, dalam kondisi ini batasan hukum Allah dapat diterapkan yaitu memberikan dua bagian pada laki-laki dan satu bagian bagi perempuan.39 Selanjutnya Syahrur menyatakan bahwa dari sisi persentase, bagian minimal bagi perempuan adalah 33.3 %, sedangkan bagian maksimal bagi laki-laki adalah 66.6 %. Oleh karenanya, jika memberi laki-laki sebesar 75 % dan perempuan diberi 25%, maka telah melanggar batasan yang telah ditetapkan oleh Allah, namun jika membagi 60% bagi laki-laki dan 40% bagi perempuan, maka tidak melanggar batasan hukum Allah karena masih berada dalam lingkup batas-batas hukum Allah.[19]
Penulis setuju tentang batasan maksimal yang berlaku bagi laki-laki yaitu dua bagian dan batasan minimal yang berlaku bagi perempuan yaitu satu bagian. Tetapi penulis tidak setuju dengan pendapat Syahrur bahwa jika memberi laki-laki sebesar 75% dan perempuan diberi 25% melanggar batasan yang telah ditetapkan Allah.
Namun jika membagi 60% bagi laki-laki dan 40% bagi perempuan, hal ini tidak melanggar hukum Allah karena masih berada dalam ruang lingkup batasannya.
Hemat penulis, batas maksimal dan minimal itu bisa saja berubah misalnya 50% bagi laki-laki dan 50% bagi perempuan. Hal ini tidak menjadi masalah sesuai dengan hasil kesepakatan atau musyawarah dalam keluarga. Dengan demikian sama sekali tidak melanggar batasan yang telah ditetapkan Allah. Dalam masalah ini, penulis tidak sependapat dengan Syahrur. Batasan minimal itu boleh diperlakukan dan boleh juga tidak diperlakukan, baik perempuan itu terlibat dalam kegiatan ekonomi, maupun tidak terlibat, dalam hal ini tidak melanggar hukum Allah.
Muhammad Syahrur (l. 1938 di Damaskus) mempertimbangkan bahwa Allah telah menetapkan batas maksimal bagi laki-laki dan batas minimal bagi perempuan. Tugas kaum muslimin adalah berijtihad dengan bergerak diantara batasan-batasan tersebut sesuai dengan kondisi objektif yang melingkupinya.[20] Disamping itu, penentuan seberapa dekat prosentase tersebut dapat diterapkan, harus didukung oleh data-data statistik yang lengkap, bukan atas dasar emosional semata, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Ijtihad dalam Islam didasarkan atas bukti-bukti material dengan selalu mempertimbangkan kemaslahatan manusia dan menerapkan prinsip kemudahan bagi masyarakat, bukan atas dasar emosi atau pendapat seseorang. Batas maksimal dan minimal bisa bergeser sesuai dengan data statistik, bukan atas dasar emosional semata, dan ijtihad yang digunakan harus berdasarkan bukti-bukti materil. Hal ini bertentangan dengan ijtihad yang dipraktikkan oleh ulama yang tidak berdasarkan pada bukti-bukti materil.
Muhammad Syahrur memandang ayat di atas adalah bias jender. Dia menyatakan bahwa ayat ini dianggap bersifat kondisional, karena menurut dia Allah menunjukkan bahwa jatah laki-laki menjadi dua kali lipat dari jatah perempuan dalam satu kasus saja, yaitu ketika adanya dua perempuan berbanding dengan satu laki-laki. Hal ini berarti bahwa dalam wilayah himpunan, jatah laki-laki adalah dua kali lipat jatah perempuan. Ketika jumlah perempuan dua kali lipat jumlah laki-laki.[21]
Penulis tidak sependapat dengan pendapat Syahrur di atas karena tidak ada petunjuk al-Qur’an atau Hadits yang diungkapkan untuk menunjang pendapatnya. Dalam ayat ini sangat jelas, adalah wasiat Allah untuk membagi waris sesuai dengan ketentuan Allah. (an-Nisa ayat 11).




BAB III
PENUTUP


3.1    Simpulan
Pemikiran Syahrur tidak terlepas dari apa yang disebut dengan tradisi dan modernitas. Syahrur menginginkan bahwa untuk memahami teks al-Qur’an tidak perlu melulu mengunggulkan penafsiran mufassir tradisional, akan tetapi al-Qur’an semestinya ditafsirkan sebagaimana zamannya. Tradisi merupakan suatu hal yang telah hidup bersama sejarah, namun tradisi perlu dibangun menjadi modernitas untuk disesuaikan dengan zaman, sebab zaman selalu terkait dengan kebutuhan. Tentu akan menjadi tidak realistis jika hanya berpegang teguh pada penafsiran tradisional di era modern seperti sekarang ini yang memungkinkan membuka lorong pemikiran yang lebih luas.
Terlebih lagi, al-Qur’an dalam kacamata Syahrur merupakan subject of interpretation. Jadi, dalam melakukan aktivitas eksegetik saat ini, umat Islam tidak harus terkungkung oleh produk penafsiran masa klasik yang saat ini sudah tidak releven lagi dan karenanya beliau menganjurkan untuk memperlakukan al-Qur’an seolah-olah baru turun, mengingat standar validitas suatu penafsiran menurut Syahrur adalah kesesuaiannya dengan situasi dan kondisi dimana dan kapan tafsir itu dimunculkan.
Dengan pendekatan hermeneutik yang ditawarkan, Syahrur telah mencoba mengaplikasikan teorinya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an terutama dengan pengingkarannya terhadap sinonimitas dan pemberlakuan teori batasnya. Terlepas dari aplikatif tidaknya teori tersebut untuk menjamah keseluruhan ayat al-Qur’an, apa yang diupayakan Syahrur adalah sebuah ijtihad agung yang perlu diapresiasi sebab telah menawarkan produk pemikirannya yang menjadi alternatif penghindaran dari kejumudan arah pandang tradisi menuju suatu modernitas, walaupun oleh sekelompok orang dinilai kontroversial.

3.2    Saran
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberi kointribusi berarti untuk memperdalam pemahaman mahasiswa agar memperoleh wawasan lebih luas tentang kajian pemikir Kontemporer, guna memperkaya hazanah keilmuan Islam, lebih-lebih mahasiswa pada studi Pendidikan Bahasa Arab yang sering diasosiasikan dengan pengemban al-Qur’an yaitu bahasa Arab..
Dengan mempelajari dan memahami ulasan materi yang telah kami susun, diharapkan kita sebagai umat Islam dapat memahami secara tepat maksud dan posisi Islam seutuhnya.
Makalah ini juga baik untuk dijadikan literature bacaan, acuan penelitian, bahan kajian-kajian keilmuan Islam lainnya. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik dari pembaca sangat kami harapkan. Demikian dan akhirnya kami ucapkan terimakasih.




Daftar Pustaka


M. Abul Abied Shah (ed.). 2001. Islam Garda Depan Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung: Mizan
Sahiron Syamsudin (ed.). 2003. Hermeneutik Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika
Peter Clark, Review Article: The Syahrur Phenomenon, dalam Islam and Christian Muslim Relation. Vol. 7, No. 3
Muhammad Syahrur. 2000. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu`ashirah. Beirut: Syarikat al-Mathbu’at li al-Tauzi wa al-Nasyr
Sahiron Syamsudin dan Burhanuddin Zaki. 2007. Prinsip dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: eLSAQ Press
Sahiron Syamsudin (ed.). 2003. Hermeneutik Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika
Sohiron Syamsudin. 2004. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Jakarta: eLSAQ Press



[1] M. Abul Abied Shah (ed.). 2001. Islam Garda Depan Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung: Mizan. Hlm: 237
[2] Sahiron Syamsudin (ed.). 2003. Hermeneutik Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika.  Hlm: 276-277
[3] Peter Clark, Review Article: The Syahrur Phenomenon. dalam Islam and Christian Muslim Relation. Vol. 7, No. 3. Hlm: 337
[4] Muhammad Syahrur. 2000. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu`ashirah. Beirut: Syarikat al-Mathbu’at li al-Tauzi wa al-Nasyr. Hlm: 47
[5] Peter Clark. Review Article: The Syahrur Phenomenon. Hlm: 33
[6] Sahiron Syamsudin dan Burhanuddin Zaki. 2007. Prinsip dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta: eLSAQ Press. Halm: 313
[7] Sahiron Syamsudin (ed.). 2003. Hermeneutik Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika.  Hlm: 225
[8] Ibid.  Hlm:148
[9] Muhammad Syahrur. 2000. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu`ashirah. Hlm: 44
[10] Sahiron Syamsudin (ed.). 2003. Hermeneutik Al-Qur’an Mazhab Yogya.  Hlm: 152
[11] Ibid.  Hlm: 155-156
[12] Sahiron Syamsudin (ed.). 2003. Hermeneutik Al-Qur’an Mazhab Yogya. Hlm: 157-158
[13] Muhammad Syahrur. 2000. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu`ashirah. Hlm: 449
[14] Sahiron Syamsudin (ed.). 2003. Hermeneutik Al-Qur’an Mazhab Yogya. Hlm: 158
[15] Muhammad Syahrur. 2000. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu`ashirah. Hlm: 465-466
[16] Muhammad Syahrur. 2000. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu`ashirah. Hlm: 598
[17] Muhammad Syahrur. 2000. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu`ashirah. Hlm: 599
[18] Muhammad Syahrur. 2000. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu`ashirah. Hlm: 599
[19] Ibid. Hlm: 458
[20] Muhammad Syahrur. 2000. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu`ashirah. Hlm: 458-459
[21] Sohiron Syamsudin. 2004. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Jakarta: eLSAQ Press. Hlm: 342

Tidak ada komentar:

Posting Komentar