TEORI BATAS
(Studi Pemikiran Hermeneutika Muhammad Syahrur)
Makalah
ini disusun untuk memenuhi Tugas
Matakuliah: Pendekatan Studi Islam
Pengampu: Dr. Zainul Mahmudi, MA
Penyusun: Bayu Kusferiyanto
![]() |
PENDIDIKAN
BAHASA ARAB
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA
MALIK IBRAHIM MALANG
April, 2014
Kata
Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji-Syukur
kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang
telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat
dan salam semoga terlimpah-curahkan kepada Rasul, Nabi Muhammad SAW, guru
semesta alam.
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah Pendekatan Studi Islam yang
diampu Bapak Dr. Zainul Mahmudi, MA dengan judul “Teori Batas: Studi
Pemikiran Hermeneutika Muhammad Syahrur”.
Kami
sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kita mengenai konsep studi Islam. Kami
juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak sekali kekurangan
dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran
dan usulan demi perbaikan makalah yang akan Kami susun berikutnya.
Semoga
makalah ini dapat dapat berguna bagi kami selaku penyusun khususnya, atau bagi
siapapun yang membacanya secara umum. Demikian dan akhirnya kami
ucapkan terimakasih.
Kami,
Penyusun
Daftar Isi
Cover
Kata
Pengantar ......................................................................................... i
Daftar
Isi .................................................................................................... ii
BAB I :
PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ..............................................................................
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................
1.3 Tujuan ...........................................................................................
BAB II : PEMBAHASAN
........................................................................ 3
2.1 Biografi Muhammad Syahrur ....................................................... 3
A.
Riwayat Hidup, Pendidikan dan Karir Muhammad Syahrur 3
B.
Karya Muhammad Syahrur .................................................... 4
2.2 Hermeneutika Muhammad
Syahrur .............................................. 4
A.
Latar Belakang Pemikiran Muhammad Syahrur .................... 4
B.
Teori Batas Muhammad Syahrur ........................................... 5
2.3 Beberapa pemikiran
Muhammad Syahrur ..................................... 11
A.
Poligami ................................................................................. 11
B.
Kewarisan .............................................................................. 13
BAB III : PENUTUP
................................................................................ 15
3.1 Simpulan ....................................................................................... 15
3.2 Saran ............................................................................................. 15
Daftar Pustaka .......................................................................................... 17
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Tidak
dapat dipungkiri bahwa kajian al-Qur’an dari waktu ke waktu selalu mengalami
perkembangan. Perkembangan
tersebut ditandai dengan munculnya sejumlah akademisi yang menawarkan
gagasan-gagasan baru dalam metodologi pemahaman terhadap al-Qur’an. Al-Qur’an
yang disebut sebagai shalih li kulli zaman wa makan oleh Muhammad
Syahrur, sejatinya selamanya akan membisu tanpa campur tangan manusia sebagai reader.
Untuk itulah, sebagai reader perlu adanya upaya pembacaan al-Qur’an yang
komprehensif juga tidak otoritatif. Al-Qur’an sebagai kitab universal sudah semestinya
tidak dimanipulasi penafsirannya dalam segala konteks dan ruang tertentu, melainkan
bagaimana penafsiran terhadap al-Qur’an selalu beiringan dengan konteks ruang
dan waktu yang sesuai dengan zamannya.
Dalam perkembangan metodologi studi al-Qur’an muncul
alat bantu memahami al-Qur’an disamping tafsir, yaitu hermeneutika. Pada
dasarnya keduanya hampir sama, bahkan oleh sebagian orang, hermeneutika
dimiripkan dengan ta’wil. Hermeneutika yang diusung seorang tokoh boleh
jadi berbeda dengan tokoh lain, tergantung pada metodologinya, hal ini pun juga
terdapat dalam setiap penafsiran.
Dalam kajian Islam, jika menyebut seorang Syahrur,
maka sekan-akan tidak nyaman apabila belum meraba teori hudud atau
teori limit-nya. Apa yang dimaksud teori limit atau hudud adalah
sebuah metode memahami ayat-ayat hukum (muhkamat) sesuai dengan konteks
sosio-historis masyarakat kontemporer agar ajaran al-Qur’an tetap relevan dan
kontekstual sepanjang masih berada dalam wilayah batas hukum Allah. Buah dari
penelitian yang diakuinya tersebut, lahirlah sebuah teori yang aplikatif, yakni
nazhariyyah al-hudud (limit theory/teori batas).
Untuk itu, makalah ini akan membahas segelumit mengenai
Hermeneutika Syahrur yang sempat menggemparkan sejumlah tokoh Muslim dunia,
gagasan teori batas dan sejauh mana aplikasi teorinya pada ayat-ayat al-Qur’an.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, Kami
merumuskan beberapa masalah yaitu sebagai berikut:
1.
Bagaimana biografi Muhammad Syahrur?
2.
Bagaimana Hermneutika Muhammad Syahrur?
3.
Bagaimana hasil pemikiran Muhammad Syahrur?
1.3
Tujuan
Mengacu pada rumusan masalah, maka ada beberapa
tujuan penulisan makalah ini, yaitu untuk:
1.
Bagaimana biografi Muhammad Syahrur?
2.
Bagaimana Hermneutika Muhammad Syahrur?
3.
Bagaimana hasil pemikiran Muhammad Syahrur?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Biografi Muhammad Syahrur
A.
Riwayat Hidup, Pendidikan dan Karir Muhammad Syahrur
Syahrur, yang memiliki nama lengkap Muhammad
Syahrur ibn Deyb ibn Seyb Syahrur, lahir pada tanggal 11 April 1938 di
Damaskus, Syiria. Ibunya bernama Siddiqah binti Salih Filyun. Dia dikaruniai 5 orang
anak hasil pernikahannya dengan seorang wanita yang bernama Azizah.[1]
Syahrur kecil pertama kali mengenyam pendidikan mulai dari tingkat
dasar sampai menengah di tanah kelahirannya sendiri, Damaskus, tepatnya di
Lembaga Pendidikan Abdurrahman al-Kawakibi. Tamat dari sekolah menengah pada
tahun 1957, dia melanjutkan studi S1-nya di Moskow Uni Soviet (sekarang Rusia)
atas bantuan beasiswa dari pemerintah Syiria. Bidang yang dipilihnya adalah
teknik sipil. Selesai studi pada tahun 1964, dia kembali ke Damaskus dan
diangkat menjadi dosen di Universitas Damaskus. Tahun 1967 dia mendapat
kesempatan melakukan penelitian di Imperial College di London,[2]
namun tidak selesai karena terjadi perang antara Syiria dan Israel yang
mengakibatkan putusnya hubungan diplomatic antara Syiria dan Inggris. Setelah
kembali dari London, tahun 1968, dia kembali dikirim oleh Universitas Damaskus
untuk melanjutkan studi S2 dan S3 ke Dubin Irlandia. Di sana dia masuk ke
National University of Ireland dengan mengambil bidang mekanika turbah wa
asasat (Soil Mechanics and Foundation Engineering). Studi lanjut tersebut,
S2 dan S3, berhasil dia selesaikan lebih kurang dalam waktu 4 tahun
(1968-1972). Tahun 1972 dia kembali ke Damaskus dan menjadi dosen tetap di
sana.[3]
Meskipun dia seorang pakar dalam bidang ilmu teknik mekanik tanah
dan geologi, ternyata dia juga seorang yang haus ilmu dan sangat tertarik
dengan kajian-kajian sosial seperti filsafat, linguistik dan keislaman. Salah
seorang tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan pemikirannya adalah
Ja’far Dakk al-Bab, yang
juga teman seprofesinya di Universitas Damaskus. Dia adalah seorang pakar dalam
bidang linguistik modern.[4]
Karir akademiknya cukup bagus, disamping menjadi dosen tetap di
Universitas Damaskus, dia juga menjadi tenaga ahli pada al-Sa`ud Consult Arab
Saudi. Dia juga bertindak sebagai salah seorang konsultan teknik pada Lembaga
Biro Konsultasi Teknik Dar al-Isytisyarat al-Handasiyyah (Engineering
Consultancy) di Damaskus.[5]
B.
Karya Muhammad Syahrur
Sebagai seorang intelektual, dia termasuk seorang penulis yang
produktif. Beberapa karya yang berhasil dia tulis adalah:[6]
1.
al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu`ashirah
2.
Dirasah Islamiyah Mu`ashirah fi ad-Daulah
wa al-Mujtama`
3.
al-Islam wa al-Iman Manzumat al-Qiyam
4.
Masyru` Misaq al-`Amal al-Islami
5.
Nahwa Ushul Jadidah li al-Fiqh al-Islami.
Disamping itu dia juga banyak menulis
artikel, diantaranya:[7]
1.
The Devine Text and Pluralism in Moeslem
Societies.
2.
Reading Religious Text; A New Approach
3.
Islam in the 1995 Beijing World Conference
on Women.
2.2
Hermeneutika Muhammad Syahrur
A. Latar Belakang Pemikiran Muhammad Syahrur
Persoalan mendasar yang memunculkan
kegelisahan Syahrur untuk melakukan kajian keislaman secara glabal dapat
dibedakan menjadi dua dimensi yang saling berekaitan, yaitu realitas masyarakat
Islam kontemporer dan realitas doktrin tradisi (turas) dalam Islam.[8]
Syahrur melihat bahwa komunitas muslim saat ini masih terpolarisasi ke dalam
dua kubu. Pertama, mereka yang berpegang secara ketat pada arti literal dari
tradisi. Mereka berkeyakinan bahwa warisan tersebut menyimpan kebenaran
absolut. Apa yang cocok untuk komunitas pertama dari orang-orang beriman di
zaman Nabi saw, juga cocok untuk semua orang yang beriman di zaman apapun.
Kedua, mereka yang cenderung menyerukan sekularisme dan modernitas serta
menolak semua warisan Islam, termasuk al-Qur’an sebagai bagian dari tradisi
yang diwarisi yang hanya menjadi candu dari pendapat umum. Bagi mereka ritual
adalah gambaran ketidakjelasan.
Menurut Syahrur, semua kelompok ini telah
gagal memenuhi janji mereka untuk menyediakan modernitas kepada masyarakatnya. Kegagalan
dua kubu inilah yang kemudian memunculkan kelompok ketiga, dan Syahrur
mengklaim dirinya berdiri dalam kelompok ini. Syahrur berpendapat bahwa dalam
memahami al-Qur’an, umat Islam hendaknya bersikap sebagai generasi awal Islam.
Dengan redaksi cukup manis, Syahrur mengatakan:[9]
“Perlakukanlah al-Qur’an seolah-olah ia baru saja diwahyukan dan Nabi saw baru
meninggal kemarin”.
B. Teori Batas Muhammad Syahrur
1.
Pengertian dan Istilah
a)
Al-Hudud
Syahrur merumuskan teori hududnya berangkat dari QS an-Nisa’ ayat 13-34,
yang terkait dengan pembagian waris. Pada ayat 13, terdapat kalimat “tilka
huduud Allah” dan pada ayat 14, terdapat kalimat “wa yata’adda huduudahu”.
Kata “huduud” disini berbentuk jamak (plural) dari bentuk mufrad-nya
hadd yang artinya batas (limit).[10]
Pemakaian bentuk plural disini menandakan bahwa batas yang ditentukan Allah
berjumlah banyak, dan manusia memiliki keleluasaan untuk memilih batasan
tersebut sesuai dengantuntutan situasi dan kondisi yang melingkupinya. Selama
masih berada dalam koridor batasan tersebut, manusia tidak menanggung beban
dosa. Pelanggaran hokum Tuhan terjadi jika manusia melampaui batasan-batasan
tersebut.
b)
Al-Hanifiyyah dan Al-Istiqaamah
Pada sisi lain, Syahrur[11]
menemukan dua aspek pemahaman keislaman yang dilupakan selama ini, yaitu: al-hanifiyyah
dan al-istiqaamah. Melalui analisis linguistic, bahwa kata al-hanif
berasal dari hanafa, yang dalam bahasa Arab berarti bengkok, melengkung,
atau bisa juga diartikan orang yang berjalan di atas dua kakinya, atau berarti
orang yang bengkok kakinya. Kata ini juga dibandingkan dengan kata janafa
yang berarti condong kepada kebagusan.
Adapun kata al-istiqaamah derivasi dari akar kata qawm
yang memiliki dua arti, yaitu: kumpulan laki-laki dan berdiri tegak (al-intisab)
atau kuat (al-‘azm). Dari kata al-intisab muncul kata al-mustaqim,
lawan dari melengkung. Sedangkan dari kata al-‘azm muncul kata ad-din
al-qayyim (agama yang kuat dalam kekuasaan).
2.
Sumber Pemikiran
Syahrur[12]
mendasarkan konsepnya dalam menyusun Teori Batasnya pada al-Qur’an Surat
an-Nisa’ ayat 13-14:
šù=Ï? ߊr߉ãm «!$# 4 ÆtBur ÆìÏÜム©!$# ¼ã&s!qß™u‘ur ã&ù#Åzô‰ãƒ ;M»¨Zy_ ”Ìôfs? `ÏB $ygÏFóss? ã»yg÷RF{$# šúïÏ$Î#»yz $ygŠÏù 4 šÏ9ºsŒur ã—öqxÿø9$# ÞOŠÏàyèø9$# ÇÊÌÈ ÆtBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qß™u‘ur £‰yètGtƒur ¼çnyŠr߉ãn ã&ù#Åzô‰ãƒ #·‘$tR #V$Î#»yz $yg‹Ïù ¼ã&s!ur ÑU#x‹tã ÑúüÎg•B ÇÊÍÈ
Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah
ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya,
niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.
Ban Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”
Syahrur mencermati penggalan ayat “tilka hudud Allah”
yang menegaskan bahwa pihak yang memiliki otoritas untuk menetapkan batasan
batasan hokum adalah hanya Allah swt semata (haqq as-saari’). Sedangkan
Muhammad saw, walaupun beridentitas sebagai Nabi dan Rasul, pada hakikatnya
bukanlah sebagai penentu hokum yang memiliki otoritas penuh (as-syaari’).
Muhammad adalah seorang pelopor Ijtihad dalam Islam.
Dengan demikian haruslah dipahami bahwa ketetapan
hokum yang bersumber dari nabi tidak semua identic dengan penetapan hokum dari
Allah. Hukum yang ditetapkan Nabi lebih bersifat temporal-kondisional sesuai
dengan derajat pemahaman, nalar zaman dan peradaban masyarakat waktu itu. Maka
ketetapan hokum tersebut tidak bersifat mengikat hingga akhir zaman.
3.
Analisi Matematis
Secara matematis, Syahrur menggambarkan hubungan
antara al-hanafiyyah dan al-istiqamah dengan sebuah kurva dan garis lurus yang
bergerak pada sebuah matriks.[13]
![]() |
Sumbu X menggambarkan zaman atau konteks waktu
sejarah, sedangkan sumbu Y sebagai undang-undang yang ditetapkan oleh Allah
Swt. Kurva (al-hanifiyyah) menggambarkan dinamika ijtihad manusia
bergerak sejalan dengan sumbu X yang dibatasi dengan hokum yang telah
ditentukan oleh Allah pada sumbu Y.[14]
Dengan demikian, hubungan kurva dan garis lurus secara keseluruhan bersifat
dialektik, yang tetap dan yang berubah senantiasa saling terkait.Dialektika
adalah hubungan yang menunjukkan bahwa hokum itu dapat sesuai dengan ruang dan
waktu.
Berdasarkan kajiannya terhadap ayat-ayat hukum, Syahrur
menyimpulkan adanya enam bentuk dalam teori batas yang dapat digambarkan dalam
bentuk matematis dengan perincian sebagai berikut:[15]
a)
Halah al-had al-a’la (posisi batas maksimal).
Daerah hasil (range) dari persamaan fungsi y
(Y)=f (x) berbentuk kurva tertutup yang hanya memiliki satu titik batas
maksimum. Titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan
sumbu x.
![]() |
Untuk kasus ini dapat kita lihat pada QS. Al-Maidah:
38 mengenai pencuri. Baik laki-laki maupun perempuan maka potonglah tangan
mereka. Potong tangan disini adalah hukuman maksimum. Karena itu hukuman untuk
pencuri tidak mesti potong tangan tetapi tergantung pada kualitas barang yang
dicuri dan kondisi saat itu.
b)
Halah al-hadd al-adna (posisi batas minimal).
Daerah hasilnya berbentuk kurva tebuka yang memiliki
satu titik batas minimum. Titik ini terletak berhimpit dengan garis lurus yang
sejajar dengan sumbu x.
![]() |
Dalam batas minimum ini Syahrur mencontohkan pada
pelarangan dalam al-Qur’an untuk mengawini para perempuan yang disebutkan pada
surat an-Nisa`: 22: ”…dalam kondisi apapun tidak boleh melanggar batasan ini
meskipun telah melakukan proses ijtihad”. Contoh batasan ini terdapat dalam
surat an-Nisa’: 23: Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu
yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang
perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudarasaudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua);…”
Dalam kondisi apapun tidak seorang pun yang
diperbolehkan menikahi mereka yang dilarang dalam ayat ini, meskipun didasarkan
pada ijtihad.
c)
Halah al-haddayn al-a’la wa al-adna ma’an (posisi batas maksimal bersamaan dengan
batas minimal).
Daerah hasilnya berupa kurva tertutup dan terbuka yang
masing-masing mamiliki titik balik maksimum dan minimum. Kedua titik balik tersebut
terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x. Diantara
kedua kurva ini terdapat titik singgung (nuqtah al-ini’taf) yang tepat
berada diantara keduanya. Posisi ini juga disebut dengan halah al-mustaqim atau
halah at-tasyri’ al-ayni (posisi penetapan hukum secara mutlak).
![]() |
Batasan ini berlaku pada pemabagian harta warisan.
Dalam al-Qur’an dapat diperhatikan dalam QS. an-Nisa’ ayat 11. Allah
mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian
seorang anak lelaki sama dengan bahian dua orang anak perempuan; dan jika anak
itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta
yang ditinggalkan; ..”
d)
Halah al-mustaqim (posisi lurus tanpa alternatif).
|
Daerah
hasilnya berupa garis lurus sejajar dengan sumbu x. Karena berbentuk garis
lurus, posisi ini meletakkan titik balik maksimum berimpit dengan titik balik
minimum.
![]() |
Ketentuan ini hanya terdapat satu kasus dalam
al-Qur’an pada surat an-Nur mengenai kasus perzinaan. Bagi pezina laki-laki
maupun perempuan maka deralah mereka 100 x tidak boleh kurang dan tidak boleh
lebih.
e)
Halah al-hadd al-a’la li hadd al-muqarib
duna al-mamas bi al-hadd abadan (posisi batas maksimal cenderung mendekat tanpa
bersentuhan).
|
Daerah
hasilnya berupa kurva terbuka yang terbentuk dari titik pangkal yang hampir berhimpit
dengan sumbu x dan titik final yang hampir berhimpit dengan sumbu y. Secara
matematis, titik final hanya benar-benar berhimpit dengan sumbu y pada daerah
tak terhingga (’ala la nibayah).
![]() |
Posisi ini diterapkan dalam batasan hubungan fisik
antara laki-laki dan perempuan. Hubungan fisik terjadi antara manusia
berlawanan jenis ini bermula dari batasan terendah, berupa hubungan tanpa
persentuhan sama sekali antara keduanya dan berakhir pada batasan paling
tinggi, berupa tindakan yang menjurus pada hubungan kelamin yang disebut zina.
Ketika seseorang masih berada pada tahap melakukan tindakan yang menjurus ke
zina tetapi belum sampai pada zina itu maka ia belum terjerumus pada batasan
maksimum hubungan fisik yang ditetapkan Allah. Sebelum mereka melakukan zina
maka hukuman had Tuhan itu tidak dapat dilaksanakan kecuali hukuman khalwat.
f)
Halah al-hadd al-a’la mujaban wa al-hadd
al-adna saliban (posisi batas maksimal positif dan batas minimal negatif).
|
Daerah
hasilnya berupa kurva gelombang dengan titik balik maksimum yang berada di
daerah positif (kedua variabel x dan y, bernilai positif) dan titik balik
minimum berada di daerah negatif (variabel y bernilai negatif). Kedua titik ini
terletak berhimpit dengan garis lurus yang sejajar dengan sumbu x.
![]() |
Teori batas keenam inilah yang kita pakai dalam
menganalisis transaksi keuangan. Batas tertingi dalam peminjaman uang dinamakan
dengan pajak bunga dan batas terendah dalam pemberian adalah zakat. Garis
tengah yang berada antara wilayah positif (+) dan negatif (-) adalah titik nol
(batas netral). Pemberian pada wilayah nol ini adalah peminjaman bebas bunga (qardh
hasan).
2.3
Beberapa pemikiran Muhammad Syahrur
A.
Poligami
Ayat-ayat poligami yang termasuk ayat-ayat hududiyah ini memberikan
batasan maksimal dan minimal baik dari segi jumlah, kuantitas maupun kualitas.[16]
a)
Batas-batas
Kuantitas
Muhammad Syahrur menyatakan bahwa ayat ini membicarakan pernikahan
dengan redaksi fankihu yang kemudian mengawali jumlah istri dengan angka
2 (matsna). Batas minimal istri adalah 1 orang perempuan dan batas
maksimalnya adalah 4 orang perempuan. Proses peningkatan jumlah ini diawali
dengan dua, tiga, dan terakhir empat. Dalam hubungan bilangan bulat, karena
manusia tidak dapat dihitung dengan angka pecahan.23
Poligami dibolehkan selama berada pada batasan hukum tersebut,
yaitu antara satu sampai empat. Orang yang menikah dengan satu istri berarti
dia telah mengikuti batas minimal hukum Allah, dan yang menikahi empat istri,
dia juga tetap dalam batasan maksimal hukum Allah secara kuantitatif.24
Penulis tidak setuju dengan pernyataan Syahrur tentang batas minimal
satu istri. Angka satu dalam hal ini tidak bisa diminimalkan karena perempuan
sebagai istri tidak mungkin dinikahi setengah perempuan, harus satu perempuan.
Itulah hikmahnya ayat ini dimulai dengan angka 2, 3, dan teakhir 4. (Nikahilah
perempuan yang kamu senangi, boleh dua, tiga, sampai empat). Nah, di sini dapat
dipahami, kalau sudah menikah dengan satu istri kemudian mau menikah lagi, maka
dibolehkan beristri sampai empat bila memenuhi syarat.
b)
Batas-batas
dari Sisi Kualitas
Syahrur menetapkan batas kualitas perempuan yang akan dijadikan
istri kedua. Dalam hal ini sangat terkait dengan pemahaman munasabah antara
pola kalimat jawab asy-syart antara ayat fankihu ma thaba lakum min
an-nisa dengan ayat wa in khiftum an la tuqsithu fi al-yatama.[17]
Dalam konteks ini harus dihubungkan antara redaksi syarat dan
redaksi jawab syarat sehingga memperoleh pemahaman bahwa ayat ini tidak
menyebut syarat kualitas istri pertama, apakah ia seorang perawan atau janda;
dengan punya anak atau janda yang tidak punya anak. Dengan memahami munasabah
ini nampaklah keserasian antara redaksi jawab syarat fankihu dan
redaksi syaratnya yaitu keadilan kepada anak yatim. Ayat ini dipahami
sebagai ayat para ibu anak-anak yatim yang berstatus janda. Kesimpulannya bahwa
ayat ini memberi kelonggaran dari segi jumlah hingga empat istri, tetapi
menetapkan persyaratan istri kedua, ketiga, dan keempat, harus seorang
perempuan yang berstatus janda yang memiliki anak.
Nampaknya Syahrur menekankan pemahaman munasabah ayat dalam
konteks syarat dan jawab syarat. Jadi dibolehkannya menikah
sampai empat istri merupakan jawab syarat dari ayat sebelumnya dan
menjelaskan tentang keadilan pada anak yatim. Hal ini menunjukkan bahwa
pernikahan kedua sampai keempat berkaitan erat dengan pemeliharaan anak yatim.
Dengan kata lain, wanita yang boleh dinikahi sebagai istri kedua, ketiga, atau
keempat, itu adalah ibu anak-anak yatim (janda) dan tidak dibolehkan menikahi
wanita perawan.
Penulis tidak sependapat dengan Syahrur bahwa poligami dibolehkan
dengan persyaratan istri kedua, ketiga, dan keempat, harus seorang perempuan
yang berstatus janda yang punya anak. Munasabah antara pola kalimat syarat
dengan jawab syarat adalah dimaksudkan bahwa jika kamu tidak mampu
berlaku adil terhadap anak (jika kamu menikahinya) dalam hal pemeliharaan
hartanya, maka nikahilah perempuan yang pantas bagimu selain dari anak-anak
yatim, boleh dua, tiga, atau keempat, apakah perawan atau janda, sebagaimana
istri pertama apa perawan atau janda.
Selanjutnya Syahrur menguraikan pola kalimat wa in khiftun `an
la ta`dilu fa wahidah yang berarti berlaku adil pada anak-anaknya
sendiri dari istri pertama dan pada anak-anak yatim yang ikut bersama
istri-istrinya yang lain. Dalam ayat ini pengertian `adl (bertindak adil antara dua pihak)
yaitu tindakan adil seorang bapak kepada anak-anak dari istri pertama dan
kepada anak-anak dari istri-istri lainnya. Sedangkan tindakan qisht hanya
ditujukan kepada anak-anak yatim saja yaitu anak-anak yang dibawa oleh istri
kedua, ketiga, dan keempat, sebagaimana firman Allah wa in khiftum an la
tuqsithu fi al-yatama, jika seseorang laki-laki yang sudah beristri
khawatir tidak dapat berbuat adil, baik terhadap anak-anaknya sendiri maupun
anak-anak yatim tersebut, maka hendaklah dengan satu perempuan saja.[18]
B.
Kewarisan
Qur’an surah an-Nisa [4]: 11. “Allah mensyari`atkan
bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang anak
lelaki sama dengan bagian dua anak perempuan…”
Syahrur menyatakan bahwa ayat waris ini menjelaskan tentang batasan
maksimal yang berlaku bagi laki-laki dan batasan minimal yang berlaku bagi
perempuan. Jika beban ekonomi keluarga sepenuhnya atau seratus persen
ditanggung pihak laki-laki. Sedangkan pihak perempuan sama sekali tidak
terlibat atau nol persen, dalam kondisi ini batasan hukum Allah dapat
diterapkan yaitu memberikan dua bagian pada laki-laki dan satu bagian bagi
perempuan.39 Selanjutnya Syahrur menyatakan bahwa dari sisi persentase, bagian
minimal bagi perempuan adalah 33.3 %, sedangkan bagian maksimal bagi laki-laki
adalah 66.6 %. Oleh karenanya, jika memberi laki-laki sebesar 75 % dan
perempuan diberi 25%, maka telah melanggar batasan yang telah ditetapkan oleh
Allah, namun jika membagi 60% bagi laki-laki dan 40% bagi perempuan, maka tidak
melanggar batasan hukum Allah karena masih berada dalam lingkup batas-batas
hukum Allah.[19]
Penulis setuju tentang batasan maksimal yang berlaku
bagi laki-laki yaitu dua bagian dan batasan minimal yang berlaku bagi perempuan
yaitu satu bagian. Tetapi penulis tidak setuju dengan pendapat Syahrur bahwa
jika memberi laki-laki sebesar 75% dan perempuan diberi 25% melanggar batasan
yang telah ditetapkan Allah.
Namun jika membagi 60% bagi laki-laki dan 40% bagi
perempuan, hal ini tidak melanggar hukum Allah karena masih berada dalam ruang
lingkup batasannya.
Hemat penulis, batas maksimal dan minimal itu bisa
saja berubah misalnya 50% bagi laki-laki dan 50% bagi perempuan. Hal ini tidak
menjadi masalah sesuai dengan hasil kesepakatan atau musyawarah dalam keluarga.
Dengan demikian sama sekali tidak melanggar batasan yang telah ditetapkan
Allah. Dalam masalah ini, penulis tidak sependapat dengan Syahrur. Batasan
minimal itu boleh diperlakukan dan boleh juga tidak diperlakukan, baik
perempuan itu terlibat dalam kegiatan ekonomi, maupun tidak terlibat, dalam hal
ini tidak melanggar hukum Allah.
Muhammad Syahrur (l. 1938 di Damaskus)
mempertimbangkan bahwa Allah telah menetapkan batas maksimal bagi laki-laki dan
batas minimal bagi perempuan. Tugas kaum muslimin adalah berijtihad dengan
bergerak diantara batasan-batasan tersebut sesuai dengan kondisi objektif yang
melingkupinya.[20]
Disamping itu, penentuan seberapa dekat prosentase tersebut dapat diterapkan,
harus didukung oleh data-data statistik yang lengkap, bukan atas dasar
emosional semata, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan. Ijtihad dalam
Islam didasarkan atas bukti-bukti material dengan selalu mempertimbangkan
kemaslahatan manusia dan menerapkan prinsip kemudahan bagi masyarakat, bukan
atas dasar emosi atau pendapat seseorang. Batas maksimal dan minimal bisa
bergeser sesuai dengan data statistik, bukan atas dasar emosional semata, dan
ijtihad yang digunakan harus berdasarkan bukti-bukti materil. Hal ini
bertentangan dengan ijtihad yang dipraktikkan oleh ulama yang tidak berdasarkan
pada bukti-bukti materil.
Muhammad Syahrur memandang ayat di atas adalah bias
jender. Dia menyatakan bahwa ayat ini dianggap bersifat kondisional, karena
menurut dia Allah menunjukkan bahwa jatah laki-laki menjadi dua kali
lipat dari jatah perempuan dalam satu kasus saja, yaitu ketika adanya dua
perempuan berbanding dengan satu laki-laki. Hal ini berarti bahwa dalam wilayah
himpunan, jatah laki-laki adalah dua kali lipat jatah perempuan. Ketika jumlah
perempuan dua kali lipat jumlah laki-laki.[21]
Penulis tidak sependapat dengan pendapat Syahrur di atas karena
tidak ada petunjuk al-Qur’an atau Hadits yang diungkapkan untuk menunjang
pendapatnya. Dalam ayat ini sangat jelas, adalah wasiat Allah untuk membagi
waris sesuai dengan ketentuan Allah. (an-Nisa ayat 11).
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Pemikiran Syahrur tidak terlepas dari apa yang disebut
dengan tradisi dan modernitas. Syahrur menginginkan bahwa untuk memahami teks
al-Qur’an tidak perlu melulu mengunggulkan penafsiran mufassir tradisional,
akan tetapi al-Qur’an semestinya ditafsirkan sebagaimana zamannya. Tradisi
merupakan suatu hal yang telah hidup bersama sejarah, namun tradisi perlu
dibangun menjadi modernitas untuk disesuaikan dengan zaman, sebab zaman selalu
terkait dengan kebutuhan. Tentu akan menjadi tidak realistis jika hanya
berpegang teguh pada penafsiran tradisional di era modern seperti sekarang ini
yang memungkinkan membuka lorong pemikiran yang lebih luas.
Terlebih lagi, al-Qur’an dalam kacamata Syahrur
merupakan subject of interpretation. Jadi, dalam melakukan aktivitas eksegetik
saat ini, umat Islam tidak harus terkungkung oleh produk penafsiran masa
klasik yang saat ini sudah tidak releven lagi dan karenanya beliau menganjurkan
untuk memperlakukan al-Qur’an seolah-olah baru turun, mengingat standar
validitas suatu penafsiran menurut Syahrur adalah kesesuaiannya dengan situasi
dan kondisi dimana dan kapan tafsir itu dimunculkan.
Dengan pendekatan hermeneutik yang ditawarkan, Syahrur
telah mencoba mengaplikasikan teorinya dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an
terutama dengan pengingkarannya terhadap sinonimitas dan pemberlakuan teori
batasnya. Terlepas dari aplikatif tidaknya teori tersebut untuk menjamah keseluruhan
ayat al-Qur’an, apa yang diupayakan Syahrur adalah sebuah ijtihad agung yang
perlu diapresiasi sebab telah menawarkan produk pemikirannya yang menjadi alternatif
penghindaran dari kejumudan arah pandang tradisi menuju suatu modernitas,
walaupun oleh sekelompok orang dinilai kontroversial.
3.2
Saran
Penulisan makalah ini diharapkan dapat memberi kointribusi berarti
untuk memperdalam pemahaman mahasiswa agar memperoleh wawasan lebih luas
tentang kajian pemikir Kontemporer, guna memperkaya hazanah keilmuan Islam, lebih-lebih
mahasiswa pada studi Pendidikan Bahasa Arab yang sering diasosiasikan dengan pengemban
al-Qur’an yaitu bahasa Arab..
Dengan
mempelajari dan memahami ulasan materi yang telah kami susun, diharapkan kita
sebagai umat Islam dapat memahami secara tepat maksud dan posisi Islam seutuhnya.
Makalah ini
juga baik untuk dijadikan literature bacaan, acuan penelitian, bahan
kajian-kajian keilmuan Islam lainnya. Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kesalahan
dan kekurangan, oleh karena itu saran dan kritik dari pembaca sangat kami
harapkan. Demikian dan akhirnya kami ucapkan
terimakasih.
Daftar Pustaka
M.
Abul Abied Shah (ed.). 2001. Islam Garda Depan Mozaik Pemikiran Islam Timur Tengah. Bandung: Mizan
Sahiron
Syamsudin (ed.). 2003. Hermeneutik
Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika
Peter
Clark, Review Article: The Syahrur Phenomenon, dalam Islam and Christian
Muslim Relation. Vol. 7, No. 3
Muhammad
Syahrur.
2000. Al-Kitab
wa al-Qur’an: Qira’ah Mu`ashirah. Beirut: Syarikat al-Mathbu’at li al-Tauzi wa al-Nasyr
Sahiron
Syamsudin dan Burhanuddin Zaki. 2007. Prinsip
dan Dasar Hermeneutik Hukum Islam Kontemporer.
Yogyakarta: eLSAQ Press
Sahiron
Syamsudin (ed.). 2003. Hermeneutik
Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika
Sohiron Syamsudin. 2004. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Jakarta:
eLSAQ Press
[1] M. Abul Abied
Shah (ed.). 2001. Islam Garda Depan Mozaik Pemikiran Islam Timur
Tengah. Bandung: Mizan. Hlm: 237
[2] Sahiron
Syamsudin (ed.). 2003. Hermeneutik Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta: Islamika. Hlm: 276-277
[3] Peter Clark,
Review Article: The Syahrur Phenomenon. dalam Islam
and Christian Muslim Relation. Vol. 7, No. 3. Hlm: 337
[4] Muhammad
Syahrur. 2000. Al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah
Mu`ashirah. Beirut:
Syarikat al-Mathbu’at li al-Tauzi wa al-Nasyr. Hlm: 47
[6] Sahiron
Syamsudin dan Burhanuddin Zaki. 2007. Prinsip dan
Dasar Hermeneutik Hukum Islam Kontemporer. Yogyakarta:
eLSAQ Press. Halm: 313
[7] Sahiron Syamsudin (ed.). 2003. Hermeneutik
Al-Qur’an Mazhab Yogya. Yogyakarta:
Islamika. Hlm: 225
[8] Ibid. Hlm:148
Tidak ada komentar:
Posting Komentar