Pages - Menu

Kamis, 18 Februari 2016

II - Studi Hadits - KAJIAN HADITS DALAM PANDANGAN SUNNI (Sebuah Perbandingan)

KAJIAN HADITS DALAM PANDANGAN SUNNI
(Sebuah Perbandingan)







disusun untuk memenuhi Tugas
Mata Kuliah Studi Hadits
Dosen Pengampu Dr. Hj. Umi Sumbulah, Mag dan Dr. Muzakki






Penyusun Bayu Kusferiyanto (14720081)







 

















PENDIDIKAN BAHASA ARAB
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

Juni, 2015



Kata Pengantar


Bismillahirrahmanirrahim.
Puji-Syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga terlimpah-curahkan kepada Rasul, Nabi Muhammad SAW, guru semesta alam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Matakuliah Studi Hadis yang diampu Ibu Dr. Umi Sumbulah dan Bapak Dr. Muzakki dengan judul Kajian Hadis dalam Pandangan Sunni: Sebuah Perbandingan di Program Magister Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
Sejarah penulisan, pengumpulan dan pembukuan Hadis dan ilmu Hadis telah melewati serangkaian fase historis yang sangat panjang. Dimulai semenjak Nabi SAW, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya pada kurun abad ke tiga Hijriah. Perjuangan ulama Hadis yang telah berusaha dengan keras dalam melakukan penelitian serta penyeleksian hadis betul-betul dilakukan degan sungguh-sungguh. Mereka memilah dan memilih mana hadis yang shahih, dan mana hadis yang da’if. Dari usaha-usaha mereka itu kemudian melahirkan  metode-metode yang cukup “kaya”, mulai dari metode penyusunan dalam berbagai bentuknya (musnad, sunan, jami’ dan lain-lain) hingga kepada kaidah-kaidah penelusuran hadis.  Kaidah-kaidah tersebut, kemudian berkembang menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri  yang disebut dengan Ilmu Hadis.
Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Studi Keislaman, utamanya ilmu Hadis. Betapa pentingnya ilmu Hadis ini untuk kita ketahui bersama. Lebih-lebih kita yang belajar di program bahasa Arab, yang kerap sekali didentikkan dengan cendikiawan agama, al-qur’an, hadis, tafsir, fiqih dan sebagainya.
Kami juga menyadari bahwa di dalam makalah ini terdapat banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang akan kami susun berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami selaku penyusun khususnya, atau bagi siapapun yang membacanya secara umum. Demikian dan akhirnya kami ucapkan terimakasih.



Penyusun
Daftar Isi


Cover
Kata Pengantar .........................................................................................        i
Daftar Isi ....................................................................................................        ii
BAB I   : PENDAHULUAN ....................................................................        1
1.1     Latar Belakang ..............................................................................        1
1.2     Rumusan Masalah .........................................................................        2
1.3     Tujuan ...........................................................................................        2
BAB II : PEMBAHASAN ........................................................................        3
2.1     Pengertian Hadis di kalangan Sunni .............................................        3
A.      Pengertian Hadis ....................................................................        3
B.       Hadis menurut terminologi Sunni ..........................................        3
2.2     Klasifikasi Otentisitas Hadis Sunni ..............................................        3
A.      Hadis Dilihat dari Aspek Kuantitas Rawi .............................        4
B.       Hadis Dilihat dari Aspek Kualitasnya ...................................        4
2.3     Penulisan dan Pengumpulan (Tadwin) Hadis di kalangan Sunni .        5
2.4     Adalat al-shahabah di kalangan Sunni .........................................        10
A.      Shahabat dalam Terminologi Sunni .......................................        10
B.       Adalah Shahabat ...................................................................        11
C.       Dalil-dalil kalangan Sunni mengenai ‘Adalah Shahabat ........        12
2.5     Penggunaan Hadis sebagai Hujjah di kalangan Sunni ..................        15
2.6     Literatur Utama Hadis Sunni: Shahih Bukhariy ...........................        15
A.      Shahih Bukhariy dan Sunni ...................................................        15
B.       Komentar Ahli Hadis tentang Bukhari dan Kitab Shahihnya.        17
C.       Kritik kepada Imam Bukhari dan Kitab Shahihnya...............        17
BAB III : PENUTUP ................................................................................        19
Kesimpulan ...................................................................................        19
Daftar Pustaka ..........................................................................................        20




BAB I
PENDAHULUAN

                 
1.1    Latar Belakang
Hadis dalam studi keislaman mempunyai sejarah yang unik dan panjang. Ia pernah mengalami masa transisi dari tradisi oral ke tradisi tulisan. Kodifikasinya pun membutuhkan waktu yang cukup panjang. Persaingan politik antar kelompok Muslim dalam rangka perebutan kekuasaan juga ikut mewarnainya. Sampai pada akhir abad ke-9 M, usaha kodifikasi tersebut dapat menghasilkan beberapa koleksi besar (kitab hadis) yang dianggap otentik, di samping sejumlah besar koleksi hadis lainnya.
Terdapat satu anggapan, bahwa perbedaan aqidah dalam aliran-aliran Islam berdampak atau bahkan merupakan sumber pada perbedaan hadis yang diakui oleh masing-masing kelompok. Kelompok Sunni misalnya, hanya berpegang pada riwayat Sunni saja, sementara kelompok Syi’ah hanya mengakui hadis-hadis riwayat kelompok Syi’ah saja. Demikian seterusnya. Masing-masing kelompok cenderung egois dan hanya mementingkan kelompoknya. Lebih parah lagi, hadis-hadis yang ada banyak dibuat oleh kelompok tertentu demi kepentingan kelompoknya, bahkan tidak sedikit yang mendiskreditkan mazhab yang berseberangan. Dampak terbesar dari anggapan ini adalah, hadis-hadis yang ada tidak bisa dipertanggungjawabkan otentisitasnya karena dibuat/dipalsukan oleh mazhab-mazhab tertentu demi kepentingan mereka.
Perbedaan konsepsi secara metodologis tentang hadis antara Sunni dan Syi’ah bergulir pada wilayah kajian epistimologi. Upaya untuk melihat konstruk hadis ini sangat urgen lantaran hadis sebagai laporan sejarah masa lampau mengenai kehidupan Nabi yang telah lenyap ditelan waktu, sebuah pengalaman yang berada jauh dari jangkauan pengetahuan inderawi. Jarak waktu yang cukup lama antara Nabi dan para penghimpun hadis serta adanya perbedaan visi dan misi politik mazhab menambah rumitnya pembuktian otentisitas hadis. Prinsip mendasar yang perlu dicermati adalah kriteria-kriteria yang kedua faksi ini gunakan dalam mengukur keshahihan sebuah hadis yang diduga kuat bersumber dari Rasulullah saw.
Mencermati latar belakang permasalahan tersebut di atas, nampaknya masalah ini menjadi kajian penting dan mendasar antara mazhab sunnî dengan mazhab syî'î. Dari permasalahan dan perbedaan tersebut, penulis termotivasi untuk menyusun makalah dengan judul “Kajian Hadis dalam Pandangan Sunni: Sebuah Perbandingan”. Makalah ini dimaksudkan untuk mengkaji masalah tersebut lebih intensif agar nampak duduk permasalahannya. Makalah ini diharapkan dapat bersifat ilmiah, tematik serta berguna bagi para pencinta hadis atau sunnah Nabi saw.




1.2    Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, Kami merumuskan beberapa masalah yaitu sebagai berikut:
1.         Bagaimana Pengertian Hadis di kalangan Sunni?
2.         Bagaimana Klasifikasi Otentisitas Hadis Sunni?
3.         Bagaimana Penulisan dan Pengumpulan (Tadwin) Hadis di kalangan Sunni?
4.         Bagaimana Adalat al-shahabah di kalangan Sunni?
5.         Bagaimana Penggunaan Hadis sebagai Hujjah di kalangan Sunni?
6.         Bagaimana Literatur Utama Hadis Sunni: Shahih Bukhariy?


1.3    Tujuan
Mengacu pada rumusan masalah, maka ada beberapa tujuan penulisan makalah ini, yaitu untuk:
1.         Memahami Pengertian Hadis di kalangan Sunni.
2.         Memahami Klasifikasi Otentisitas Hadis Sunni.
3.         Memahami Penulisan dan Pengumpulan (Tadwin) Hadis di kalangan Sunni.
4.         Memahami Adalat al-shahabah di kalangan Sunni.
5.         Memahami Penggunaan Hadis sebagai Hujjah di kalangan Sunni.
6.         Memahami Literatur Utama Hadis Sunni: Shahih Bukhari.


BAB II
PEMBAHASAN



1.1    Pengertian Hadis di kalangan Sunni
A.       Pengertian Hadis
Secara etimologi kata hadis berasal dari bahasa arab; hadîts jamaknya al-ahâdîts, al-hidtsân, atau al-hudtsân. Kata ini memiliki beberapa arti, di antaranya, al-jadîd (sesuatu yang baru) sebagai antonim dari kata qadîm (yang lama); al-khabar yaitu kabar atau berita.[1] Semua yang dinisbahkan kepada Nabi saw. disebut hadîts (baru) sebagai antonim dari wahyu Allah swt. (kalâm Allâh) yang bersifat qadîm.[2] Defenisi yang serupa dikemukakan pula oleh ‘Ajjaj al-Khatib yaitu hadits berarti al-hadîts minal asyyâ’ (sesuatu yang baru).[3] Para ulama hadis sunnî dan syi'î berbeda dalam memahami hadis dari aspek terminologinya.
B.       Hadis menurut terminologi Sunni
Ulama hadis sunnî pada umumnya berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan hadis adalah segala sabda, perbuatan, taqrîr (pengakuan), dan hal ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Hadis dalam pengertian ini oleh ulama sunnî disinonimkan dengan istilah al-sunnah.[4] Sebagian ulama memandang hadîts dan khabar sama. Khabar jamaknya akhbâr secara etimologi berarti al-naba' dan terminologinya yaitu apa yang datang dari Nabi saw., shahabat dan al-tabi'în. Khabar yang disandarkan langsung kepada Nabi saw. disebut khabar marfu', khabar yang hanya sampai kepada shahabat Nabi saw. disebut khabar mawquf, dan khabar yang cukup disandarkan kepada tabi'in disebut khabar maqthu'. Dikatakan bahwa hadis yaitu apa yang datang langsung dari Nabi saw. sementara khabar apa yang datang selain Nabi saw. Tegasnya setiap hadis pasti khabar dan tidak semua khabar termasuk hadis Nabi saw.[5]

1.2    Klasifikasi Otentisitas Hadis Sunni
Klasifikasi adalah derajat atau tingkatan yang digunakan ulama dalam mengkategorikan hadis dilihat dari aspek kuantitas dan kualitas rawi. Telaah ini dilakukan dalam upaya menelusuri secara akurat sanad pada setiap hadis yang dikumpulkannya. Dengan penelitian kedua aspek inilah, upaya pembuktian sahih tidaknya suatu hadis lebih dapat dipertanggungjawabkan.
Perbedaan konsep-konsep dasar yang sangat substansial mengenai hadis antara Sunni dan Syi’ah membawa implikasi pada kualitas hadis yang dapat dijadikan pegangan sekaligus sebagai dasar hukum. Perbedaan kriteria yang ditetapkan oleh Sunni dan Syi’ah berimplikasi klasifikasi terhadap kualitas hadis masing-masing.
A.       Hadis Dilihat dari Aspek Kuantitas Rawi
Dalam menyampaikan sebuah hadis terkadang Nabi berhadapan dengan sahabat yang banyak jumlahnya, terkadang hanya beberapa sahabat, bahkan terkadang hanya satu atau dua orang saja. Begitu seterusnya sampai dengan generasi yang menghimpun hadis dalam berbagai kitab. Sudah barang tentu, informasi yang dibawa oleh banyak orang lebih meyakinkan dibanding informasi yang dibawa oleh hanya satu atau dua orang saja. Dengan demikian, maka menurut pembagian hadis dari aspek kuantitas periwayat adalah sebagai berikut:[6]
a.         Hadis Mutawatir
Menurut al-Baghdadi, hadis mutawatir adalah suatu hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya. Sedangkan ulama yang paling jelas dan rinci menerangkan hadis mutawatir adalah al-’Asqalani, menurutnya, hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh sejumlah orang yang mustahil, menurut kebiasaan, mereka melakukan kesepakatan untuk berdusta dan merekalah yang meriwayatkan hadis itu dari awal sampai akhir sanad. Jadi berdasarkan definisi di atas, terlihat secara jelas bahwa proses mutawatir ada dan berjalan secara gradual dari generasi ulama ke generasi ulama lainnya.
b.        Hadis Masyhur
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan dari Nabi oleh beberapa orang sahabat tetapi tidak mencapai derajat mutawatir. Boleh jadi di tingkat tabi’in dan seterusnya pada generasi yang lebih muda, hadis tersebut diriwayatkan secara mutawatir.
c.         Hadis Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua atau sedikit orang yang tidak mencapai derajat masyhur, apalagi mutawatir.
B.       Hadis Dilihat dari Aspek Kualitasnya (Maqbul atau Mardud)
Seluruh jenis hadis dilihat dari segi kualitasnya dibagi menjadi dua: (1) maqbul (dapat diterima sebagai dalil) yang nantinya dikenal dengan sebutan shahih dan hasan. Dan (2) mardud (tidak dapat diterima sebagai dalil) yang nantinya dikenal dengan sebutan dla’if. Mulai abad III H, atau tepatnya pada masa al-Tirmidziy, telah dikenal pembagian hadis antara shahih, hasan, dan dla’if. Dengan begitu kategori hadits ini sudah muncul di kalangan Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah sejak era ulama mutaqoddimun.
Berikut maksud hadis yang dimaksudkan di atas:
a.         Hadis Shahih
Ulama hadis Sunni sepakat mengenai definisi hadis sahih yaitu hadis yang sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh orang-orang yang adil dan dhabit, serta tidak ada syadz (janggal) dan tidak ada‘illat (cacat).
b.        Hadis Hasan
Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi yang adil, yang rendah tingkat kekuatan hafalannya, tidak rancu dan tidak bercacat
c.         Hadis Dla’if
Hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi persyaratan dari hadis sahih di atas, misalnya, sanadnya ada yang terputus, di antara periwayat ada yang pendusta atau tidak dikenal, dan lain-lain.

1.3    Penulisan dan Pengumpulan (Tadwin) Hadis di kalangan Sunni
Hampir tidak ada kesepakatan di kalangan ulama sunnî mengenai proses kodifikasi hadis. Sebagian mereka mengakui kodifikasi secara resmi baru dimulai pada awal abad kedua Hijriyah atas ide dan prakarsa Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (99-101 H.) ketika ia memerintahkan Abu Bakr bin Muhammad bin Hazm dan penduduk Madinah untuk menghimpun dan menuliskan hadis.[7] Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H.) mengatakan bahwa al-Zuhri lah (w.124 H.) orang pertama yang menyelesaikan tugas khalifah tersebut.[8] Pendapat ini dipegangi pula oleh Imam malik.[9]
Para orentalis memandang masalah ini dengan pendapat yang berbeda-beda. William Muir (Inggris) setuju dengan pendapat mayoritas sunnî dengan argumentasi tidak ditemukannya peninggalan yang otentik dari kompilasi manapun sebelum pertengahan abad kedua Hijriyah.[10] Goldziher (orientalis terkemuka dari Hongaria, 1850-1921) juga berpendapat bahwa pencatatan hadis baru dilakukan pada awal abad kedua Hijriyah. Meskipun ia mengakui adanya shahifah yang ditulis pada masa Rasulullah saw. namun pernyataan dan kebenaran informasi ini menurutnya banyak meragukan.[11]
Joseph Schahct mengatakan bahwa informasi penulisan hadis yang dilakukan al-Zuhri adalah palsu, sebab hadis-hadis fikih baru muncul sesudah Umar bin Abd al-Aziz.[12] Kebenaran pendapat ini karena ia mengira bahwa kitab al-Muwaththa' Imam Malik (93-179 H.) merupakan kitab hadis pertama. Tetapi harus dipahami bahwa kitab tersebut hanya merupakan hadis pertama yang dibukukan berdasarkan metode penyusunan kitab-kitab hukum.
Kronologi keterlambatan penulisan hadis di kalangan sunnî disebabkan karena beberapa faktor. Menurut Ja'fariyan faktor-faktor tersebut yaitu; pertama, karena sunnî meyakini betul adanya pelarangan penulisan hadis yang bersumber dari Nabi saw. Pendapat ini berbeda dengan kaum syi'ah yang mengabaikan pelarangan tersebut; Faktor kedua adalah karena tindakan politis kedua khalifah yaitu Abu Bakr dan Umar bin Khaththab yang berinisiatif sendiri melarang penulisan hadis dengan maksud mengekang kritikan dan mengkonsolidasikan kekuasaannya lebih jauh.[13] Alasan yang kedua ini menurut penulis masih perlu ditelusuri dan ditelaah lebih lanjut tentang kebenarannya. Keterlambatan pembukuan hadis sampai seratus tahun lebih menurut Muhammad Mustafa Azami[14] dalam disertasi doktornya karena mereka hanya mengikuti pendapat yang telah populer di kalangan sunnî seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani. Menurut al-Asqalani tidak dibukukannya hadis Nabi saw. pada masa sahabat dan tabi'in besar karena tiga faktor. Pertama, mayoritas mereka tidak dapat tulis-menulis; kedua, hafalan mereka sangat kuat sehingga lebih mengandalkan hafalan; ketiga, semula karena adanya larangan penulisan hadis yang diduga kuat bersumber dari nabi saw. –seperti tersebut dalam kitab hadis shahih Muslim- karena kekhawatiran bercampur dengan Al-Qur'an sekaligus menjadi alasan keterlambatan penulisan hadis.[15]
Ketiga alasan itu, dianalisa kembali oleh Azami sekaligus dibantahnya dengan beberapa argumentasi. Pertama Azami menolak argumentasi pertama karena sudah banyak shahabat yang pandai menulis. Bila hal ini kita tolak, bagaimana al-Qur'an dapat ditulis? Apa maksud larangan penulisan hadis bila para shahabat tidak pandai menulis? Disamping itu di temukannya informasi tentang banyaknya sekretaris Nabi saw. dari kalangan sahabat yang mahir membaca dan menulis. Alasan kedua, tentang kekuatan hafalan mereka, namun dalam sejarah mereka aktif menulis syair-syair dan lain sebagainya. Penolakan alasan yang ketiga bahwa ada tiga sahabat yaitu Sa'id al-Khudri, Abu Hurairah dan Zaid bin Tsabit yang meriwayatkan pelarangan penulisan hadis. Di antara ketiga shahabat ini hanya satu jalur sanad yang sahih yaitu Abu Sa'id al-Khudri melalui jalur periwayatan Hamman bin Yahya. Hadis lainnya yaitu dari Zaid bin Tsabit dan Abu Hurairah adalah dha'îf (lemah). Kualitas hadis itu lemah karena riwayatnya melalui seorang periwayat yang bernama Abdurahman bin Zaid yang dikenal dalam kalangan ahli hadis berstatus lemah. Hadis riwayat Zaid bin Sabit adalah mursal karena salah seorang periwayatnya yang bernama al-Muthalin bin Abdullah tidak belajar atau menerima langsung dari Zaid bin Aslam. Adapun hadis Abu Sa'id di atas yang dianggap berkualitas shahih namun Bukhari menilainya hadis mawquf karena merupakan pernyataan Abu Sa'id sendiri.[16] Dari uaraian itu menurut Azami tidak ada satupun alasan yang konkrit untuk melarang penulisan hadis.[17]
Nampaknya al-Azami cenderung kepada pendapat Imam Bukhari yang mengatakan hadis itu mawquf, atau Imamiyah yang menolak hadis pelarangan penulisan hadis. Namun bila status hadis itu marfu’ maka pelarangan itu menurutnya lebih cenderung hanya bersifat sementara artinya pelarangan itu berlaku pada saat penulisan hadis bersamaan dengan penulisan Al-Qur'an karena khawatiran akan terjadi percampuran.[18]
Terlepas dari perbedaan yang telah dideskripsikan namun hampir sepakat ulama sunnî bahwa orang yang pertama memikirkan pengumpulan pencatatan sunnah dari kalangan tabi'in adalah Umar bin Abdul Aziz (dari bani Umayah). Sejarah mencatat peristiwa ini ketika Umar mengirim Abu Bakr ibn Hazm, yaitu menteri dan qadhinya ke Madinah[19] dan berpesan; "Perhatikanlah apa dari hadis Rasulullah saw. kemudian catatlah, karena aku khawatir akan hilangnya ilmu karena perginya (wafat) para sarjana". Tugas suci inipun dilakukannya dan ia menulis untuk Umar hadis yang ada pada 'Umrah bin Abdurahman al-Anshariyah (w. 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr (w. 120 H). Intruksi ini bukan hanya pada Ibnu Hazm, Abu Naim menceritakan dalam bukunya, Tarikh Isbahan, bahwa Umar menulis kepada penduduk daerah, "Perhatikanlah hadis Rasulullah saw. dan kumpulkan".[20] Usaha pengumpulan hadis yang dilakukan Ibnu Hazm belum maksimal, artinya ia belum sempat menuliskan semua sunnah dan merekam secara tercatat cerita masa lalu yang ada di Madinah. Pencatatan hadis selanjutnya disempurnakanlah oleh Imam Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H) seorang ahli hadis yang menonjol di zamannya dalam bidang sunnah. Umar bin Abdul Aziz telah mengutus pembantunya untuk menemuinya. Al-Zuhri disebut-sebut oleh Muslim telah mengetahui dan memiliki sembilan puluh hadis yang tidak dituturkan oleh orang selainnya. Ulama hadis menilainya sekiranya bukan karena al-Zuhri, maka pasti banyak sunnah yang hilang. Meskipun pada zamannya ada al-Hasan. Pencatatan yang dilakukan al-Zuhri pun belum sempurna seperti pembukuan yang telah di lakukan Bukhari, Muslim atau Ahmad dan sarjana hadis. Pencatatan itu baru sebatas penulisan yang telah di dengar dari shahabat tanpa membaginya ke dalam bab-bab tertentu. Pencatatan pada masa ini masih tercampur antara sabda Nabi saw., dengan ucapan para sahahabat, dan perkataan tabi'in.[21] Al-Zuhri diakui oleh sunnî sebagai orang yang pertama meletakkan batu pondasi dalam pembukuan sunnah pada saat sejumlah tabi'in masih alergi dan benci penulisan sunnah (ilmu). Umumnya mereka menolak rencana pembukuan sunnah dengan argumentasi akan melemahkan hafalan. Al-Zuhri termasuk menolak usaha ini pada awalnya.[22]
Usaha pencatatan hadis berkembang pesat setelah generasi al-Zuhri. Pengumpul hadis yang pertama di Makkah oleh Ibnu Juraij (w. 150 H) dan Ibnu Ishaq (w. 151 H), di Madinah oleh Sa'id bin Abi 'Urûbah (w. 156 H), al-Rabih ibn Shabiîh (w. 160 H), Imam Malik (w. 179 H), di Bashrah oleh Hammad bin Salamah (w. 176 H), di Kufah oleh Sufyan al-Tsaurî (w. 161 H), di Suriah/Syam oleh Abu Amr al-Awzâi (w. 156 H) di Wasith oleh Hasyim (w. 188 H), di Khurasan oleh Abdul malik ibn Mubarak (w. 181 H), di Yaman oleh Ma'mar (w. 153 H) di Ray oleh Jarir bin Abdul hamid (w. 188 H). Pencatatan hadis pun di lakukan oleh Sufyan bin 'Uyainah (w.198 H) di Makkah, Laits bin Sa'ad (w. 175 H) di Mesir dan Syu'bah bin al-Hajjaj (w. 160 H) di Bashrah/Irak.[23]
Pada abad ketiga, mulailah semarak pengkajian hadis dengan tampilnya sarjana-sarjana hadis dengan karyanya yang agung. Penulisan pada masa ini dalam sejarah sunnî dimulai dengan metode isnad yaitu mengumpulkan dalam satu bab hadis-hadis yang diriwayatkan oleh shahabat meskipun hanya berbagai pokok bahasan saja. Yang pertama merintis dan pelopor usaha ini yaitu Abu Daud Ibn al-Jarad al-Thayalisi (w. 204 H) diikuti oleh Abdullah bin Musa al-Absi al-Kufi, Musaddad al-Bashri, Asad bin Musa dan Na'im bin Muhammad al-Khuzai. Imam Ahmad pun menulis kitab Musnadnya yang dikenal (Kitab al-Muwaththa') dan Ishaq bin Rahawih dan Utsman bin Abi Syaibah dan lain-lain. Metode yang mereka tempuh adalah menyusun secara terpisah hadis Nabi saw. dengan ucapan shahabat dan fatwa para tabi'in. Kelemahan metode ini, karena mereka masih mencampuradukkan yang otentik dengan lainnya, hadis shahih dan lemah, pengulangan lafaz hadis yang diriwayatkan oleh banyak shahabat, sulitnya mencari hadis-hadis yang membahas suatu permasalahan tertentu seperti hukum. Adapun kelebihannya mudah mencari hadis bila pencari hadis mengetahui perawi 'alâ (nama shahabat yang meriwayatkan hadis).[24]
Kondisi itulah yang mendorong para ahli hadis selanjutnya sekaligus tantangan bagi mereka untuk menempuh metode baru dalam karyanya yaitu dengan hanya membatasi kepada pencatatan hadis yang shahih saja menurut metodenya sendiri. Usaha ini menurut sunnî dipelopori oleh Muhammad bin Ismail al-Bukhari (w. 256 H) dengan di tulisnya kitabnya yang masyhur, al-Jâmi al-Shahîh. Kemudian usaha ini diikuti oleh ahli hadis sezamannya dan muridnya yaitu Imam Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairî (w. 261 H), dengan disusunnya kitab shahihnya yang terkenal Shahîh Muslim. Metode penulisan yang dilakukan Muslim sedikit berbeda dengan pendahulunya.
Karya kedua ulama sunnî ini diakui oleh sebagaian kaum Sunnî sebagai karya yang sudah lolos sensor terutama Imam Bukhari, "Setiap yang diriwayatkan dari Bukhari pasti telah melewati jembatan" Maksudnya kualitas periwayatannya standar di atas syubhat dan ihtimâlat.[25] Kedua ahli hadis sunnî itu berjasa dalam meratakan jalan di depan para peneliti hadis untuk mengetahui mana hadis shahih dan dha'if tanpa harus meneliti sendiri dan bertanya kepada tokoh Hadis. Secara umum keduanya telah menghimpun hadis-hadis shahih dalam kitab al-Shahihain. Keshahihan hadis yang mereka maksud bukan berarti tidak ada yang mengoreksi keshahihan. Dalam perkembangan kajian hadis banyak ulama hadis sesudahnya mengkaji ulang dan mengkritisinya.[26] Menurut penulis nampaknya inilah salah satu yang menjadi perbedaan antara Sunnî dengan Syi'î, di mana kaum Syi'ah Imamiyah tidak pernah mengklaim satupun kitab hadisnya yang sudah lewat jembatan. Sebaliknya mereka membuka peluang selebar-lebarnya untuk dikritisi.
Prakarsa dari kedua ulama hadis sunnî inilah menjadi motivator ahli hadis sesudahnya dengan tersusunnya beberapa kitab hadis yang ditulis oleh pakar hadis di antaranya; Abu Daud (w. 275 H), al-Nasa'i (303 H), al-Turmudzi (w. 279 H), Ibnu Madjah (w. 273 H). Setelah priode ini berakhir, para ahli hadis pada abad keempat tidak terlalu banyak kontribusinya terhadap perkembangan hadis, mereka hanya menambah sedikit yang mereka temukan. Kegiatan mereka sekedar menghimpun apa yang telah dikumpulkan oleh pendahulunya, dengan bersandar kepada metode kritik yang telah ada pada mereka dan memperbanyak saluran hadis. Para pemuka yang terkenal abad ini ialah Imam Sulaiman bin Ahmad al-Tabrani (w, 360 H) yang meyusun tiga buah Mu'jam yang berisikan nama shahabat di susun berdasarkan abjad dan memuat duapuluh ribu limaratus limapuluh hadis dan disusun pula nama-nama gurunya berdasarkan abjad. Termasuk tokoh abad ini ialah al-Daraquthni (w. 385 H), Ibnu Hibban al- Busthi (w. 354 H), Ibnu Khuzaimah (w. 311 H) dan al-Thahawi (w. 321 H).[27] Kemudian bagi ulama priode berikutnya hanya melakukan enovasi dan sedikit penemuanpenemuan baru yang dipelopori di antaranya al-Hakim (w. 405 H), al-Baihaqi (w. 458 H) dan terakhir oleh al-Bagawi (w. 505 H).
Berakhirnya priode tersebut, maka selesailah menurut Sunnî pembukuan sunnah, pengumpulan dan pemisahannya, yaitu mana hadis yang shahih dari yang lainnya. Bagi ulama hadis pada abad-abad selanjutnya tidak ada yang tersisah kecuali beberapa penemuan baru dan para ulama pun menerima sebagian dari penemuan itu dan menolak sebagian lainnya.

1.4    Adalat al-shahabah di kalangan Sunni
A.       Shahabat dalam Terminologi Sunni
Jumhur ulama sunnî mendefinisikan shahabat dari aspek terminologi sebagai orang yang melihat Rasulullah saw., beragama Islam walaupun tidak lama berinteraksi dengannya dan belum meriwayatkan satu hadis. Perluasan makna menurut kaum sunnî sampai kepada yang melihat merupakan suatu upaya menunjukkan betapa mulia kedudukan Nabi saw.[28] Banyak dari kalangan ulama sunnî mutaqaddiîin dan mutakhirîn yang mendefinisikan shahabat secara terminologi. Ulama mutaqaddimîn diwakili di antaranya Said bin Musayyib (w. th 93 H), Ahmad bin Hanbal, Ibnu Katsir dan Bukhari. Sementara ulama mutakhirîn diwakili oleh Ibnu Shalah, al-Sakhawi dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani (773-852 H.). Said bin Musayyib seorang ulama hadis sunnî memberi batasan bahwa tidak dianggap shahabat kecuali orang yang berinteraksi dengan Nabi saw. satu atau dua tahun atau berperang bersamanya satu hingga dua kali peperangan.[29] Menurut Ibnu Hajar al- ‘Asqalani "Shahabat adalah orang yang pernah bertemu dengan Nabi saw. beriman dan hidup bersama beliau baik lama maupun sebentar. Meriwayatkan hadis darinya maupun tidak. Termasuk orang yang pernah melihatnya walaupun sebentar atau pernah bertemu namun tidak melihat Nabi saw. karena buta."[30]
Shahabat menurut sebagian ahli ushul sunnî ialah orang yang pernah bertemu dengan Nabi saw., beriman kepadanya dan menyertai kehidupan Nabi saw. dalam rentang waktu yang panjang, meriwayatkan atau tidak dan mati dalam keadaan muslim.[31] Ulama lainnya menambah persyaratan untuk disebut shahabat dalam hubungannya dengan syara' yaitu pada dirinya terdapat bakat atau bawaan (malakah) dalam bidang fiqh, sehingga tidak semua orang yang menyertai kehidupan Nabi disebut shahabî. Yang lain mengatakan bahwa "shahabat adalah seorang yang bertemu dengan Rasulullah saw. dan beriman kepadanya serta ikut dan hidup bersamanya dalam waktu yang panjang. Dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah saw. sehingga secara adat disebut shahabat". Namun ada yang mempersingkat identitas shahabat yaitu "orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad saw. serta hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama".[32]
Tidak dikatakan al-shahâbî secara 'uruf (adat) kecuali orang yang telah lama melakukan pershahabatan dan banyak bergaul dengan Nabi saw.[33] Al-Raghib al-Isfahani seorang pakar tafsir mengatakan bahwa tidak disebut shahabat dalam adat kecuali setelah berinteraksi dalam rentang waktu yang panjang.[34] Pendapat ini dianut pula oleh Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (w. 505 H.) dalam kitab al-Mustashfâ. Termasuk Ibnu Atsir (w. 620 H.) dalam kitab Jami' al-Ushûl dan al-Amidi (w. 621 H.) dan kitab al-Ihkâm.
Dari uraian di atas dapat difahami bahwa ahli hadis dan ushul sunnî sekalipun berbeda namun mereka sepakat bahwa tidak dikatakan shahabat selain orang-orang yang bertemu, beriman kepada Nabi dan mati dalam keadan Islam. Menurut uruf (adat) tidak disebut shuhbah sebelum terjadi pershahabatan secara lama dan berinteraksi dengannya tanpa terbatasi oleh rentang waktu. Perluasan makna dan perbedaan dalam mendefiniskan shahabat menurut kaum sunnî merupakan suatu upaya menunjukkan betapa mulianya kedudukan Nabi saw.
B.       Adalah Shahabat
Mayoritas ulama sunnî, bahkan hampir seluruhnya baik salaf maupun khalaf menilai para shahabat Nabi saw. 'udûl (bersifat adil) tanpa terkecuali. Ulama salaf diwakili oleh Abu Zur'ah al-Razi (wafat 264) H., dan ulama khalaf diwakili di antaranya Ibn 'Abdil Barr, Ibnu Atsir, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir (w. 774 H.), al-Razî (w. 606 H.) dan al-Khatib. Abu Zur'ah al-Razi menutup secara ketat untuk mengkritisi shahabat. Ia berkata; "Siapa yang mengeritik shahabat Nabi saw. yang mengakibatkan menurunnya kehormatan dirinya, maka orang itu termasuk zindiq. Dia telah menentang penghormatan Allah dan Rasul-Nya yang telah diberikan kepada para shahabat Nabi saw."[35] Ibn 'Abdil Barr berkata; "Kami menetapkan bahwa kedudukan mereka seluruhnya adalah baik".[36] Ibnu Atsir mengungkapkan bahwa;
"sunah-sunah Nabi saw. adalah sumber syariat Islam, halal dan haram, dan termasuk segala persoalan agama. Ke-shahih-an hadis dan qath'inya dapat diketahui setelah dianalisa rijal sanad-sanad dan periwayatperiwayatnya. Para shahabat menempati posisi tertinggi dalam sanad dan periwayat. Orang yang tidak mengenal shahabat, pasti mereka tidak akan dikenal, akan ditinggal dan diingkari. …Shahabat mempunyai kesamaan dengan periwayat-periwayat lainnya kecuali satu hal yaitu para shahabat Nabi saw. tidak berlaku jarh dan ta'dil karena mereka 'udul, tidak tercela. Allah swt. menetapkan mereka sebagai orang bersih dan orang baik. Pendapat ini sudah masyhur (ahlu sunnah) tanpa argumen lagi."[37]
Ibnu Hajar dan al-Khatib mengaminkan pendapat ini, yang intinya bahwa al-shahhâb kulluhum 'udûl.[38] Al-Amidi seorang ulama fuqaha sunnî bersikap realistik. Ia mengatakan bahwa keadilan shahabat bukan ijma ulama tetapi merupakan kesepakatan atau pendapat mayoritas ulama.[39]
Maksud semua shahabat adil menurut ulama hadis, fuqaha dan ushul sunnî, adalah mereka mustahil melakukan kebohongan dengan sengaja atas nama Nabi saw. karena kuatnya iman, takwa, muru'ah (tingginya nilai-nilai akhlaknya), dan frekuensi perhatian mereka terhadap masalah ini sangat tinggi. Adil dalam hal ini bukan ma'shûm (suci) dari maksiat, lupa, atau keliru, tetapi ucapan dan pendapat mereka pasti berdasarkan sanad dan dalil.[40]
C.       Dalil-dalil kalangan Sunni mengenai ‘Adalah Shahabat
Dalam penetapan keadilan shahabat, ulama sunnî berargumen bahwa pridikat keadilan itu bukan berdasarkan hasil ijtihad fardi (individu) dan penelitian terhadap para pribadi shahabat Nabi saw. akan tetapi berdasarkan teks-teks al-Qur'an dan hadis serta ijma' (konsensus) ulama sunnî, antara lain:
1.        Firman Allah dalam surat al-Baqarah :143 yang berbunyi :

Nabi Muhammad saw. telah menafsirkan pengertian ayat tersebut. Kata وسطاً (wasath) pada ayat itu beliau artikan dengan عدلا (adil).[41] Menurut ulama sunnî, mukhâtab (yang diajak berbicara) pada nash ayat ini secara langsung adalah shahabat. Kata wasath pada nash ini menjadi petunjuk bahwa seluruh shahabat Nabi saw. adalah adil.[42]
2.        Firman Allah dalam surat Ali Imran :110 yang berbunyi:

Mayoritas ulama sunnî berpendapat, bahwa kata كنتم خير أمة yang digunakan ayat di atas adalah kata kerja yang sempurna (kâna tâmmah) yang berarti kamu (umat) wujud dalam keadaan sebaik-baik umat dan sebagian lainnya mengartikan kata kerja yang tidak sempurna. Konsekuwensinya sebagai umat ideal maka pendahulu umat ini secara otomatis menjadi terbaik dari sesudahnya. Kata كنتم خير أمة pada nash di atas didukung hadis Nabi saw. menjadi petunjuk oleh ulama sunnî bahwa siapa yang ber-shuhbah dengan Nabi saw. atau pernah melihatnya walaupun hanya sekali dalam hidupnya dengan beriman kepadanya, maka ia lebih baik daripada orang sesudahnya yang tidak melihatnya.[43]
3.        Firman Allah swt. dalam surat al-Fath (48) :18 yang berbunyi:

Ulama sunnî sepakat bahwa ayat ini merupakan pernyataan kerelaan Allah swt. kepada orang-orang yang beriman yang telah melakukan sumpah setia di bawah sebatang pohon. Kata لقد رضي الله (sungguh Allah ridha) pada nash ini menjadi petunjuk keadilan mereka karena mustahil mereka dipuji oleh Allah tanpa memiliki sifat adil.[44] Sumpah itu dikenal dengan nama Bay'at al–Ridhwan, terjadi di Hudaybiyah, menjelang perdamaian Hudaybiyah. Umat Islam (shahabat) yang hadir pada masa itu sekitar seribu empatratus atau seribu lima ratus orang. Mereka menyatakan sumpah setia kepada Nabi saw. dan tidak akan meninggalkan Hudaybiyah untuk menghadapi serangan orang-orang musyrik Quraisy Mekkah. Dalam ayat itu Allah swt. menjanjikan kemenangan kepada umat Islam pada waktu yang dekat.[45] Maka, ayat di atas merupakan salah satu bukti bahwa para shahabat Nabi saw. diberikan keutamaan khusus oleh Allah swt. yaitu keadilan.
4.        Firman Allah swt. dalam surat al-Fath (48) : 29 yang berbunyi:

Menurut ulama sunnî, kata والذين معه sebagai petunjuk adilnya para shahabat Nabi saw.. Ayat ini menjadi argumen Imam Malik mengkafirkan kelompok Rafidhah yang membenci shahabat. Menurutnya orang Rafidhah telah membenci shahabat sementara para pencerca shahabat adalah kafir berdasarkan ayat ini.[46] Ibnu Katsir menegaskan bahwa pendapat ini merupakan kesepakatan para ulama atau sekelompok Ulama sunni saja. Berdasarkan realita mereka hanya dikategorikan sebagai orang-orang fasik. Perselisihan dan pembunuhan yang telah terjadi di antara shahabat menurut sunni merupakan darah-darah yang telah disucikan Allah swt. dari tangantangan kita, maka tidak pantas mengotorinya dengan lidah-lidah kita. Peristiwa tersebut ibaratnya seperti peristiwa antara Yusuf dengan Zulaikha.[47]
Dalil-dalil naqli dari al-Qur'an yang disebutkan di atas secara sharih menjadi dalil umum oleh ulama sunnî untuk melegitimasi keadilan setiap shahabat tanpa harus menginterprestasikanya.[48]
Dalam memperkuat agrumentasi sunnî, tentang keadilan setiap shahabat disamping dengan dalil-dalil al-Qur'an, juga di dukung oleh beberapa riwayat-riwayat yang diyakini bersumber dari Nabi saw. Di antaranya;
1.        Berdasarkan hadis Nabi saw. yang diriwayatakan oleh Bukhari Muslim:
لا تسبوا اصحابي فو الذي نفسي بيده لو ان احدكم انفق مثل احد ذهبا ما بلغ مد احدهم ولا نصيفه
"Janganlah kalian mencaci maki sahabatku. Sekiranya di antara kalian bersedekah emas sebesar bukit uhud, niscaya (sedekahmu itu) tidak akan sampai menyamai secupak ataupun separuh cupak dari para sahabtku itu" (Hadis ini melalui jalur periwayatan Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Turmudzî dan Ahmad dari Abî Said Al-Khudrî).
Kata لا تسبوا أصحابي sebagai petunjuk sharîh tentang tidak bolehnya men-jarah (mencela) salah satu shahabat Nabi saw.. Pelarangan ini sebagai bukti pengakuan Nabi saw. tentang keutamaan dan keadilan para shahabat.
2.        Hadis Nabi saw. yang berbunyi
خير الناس قرني ثم الذين يالونلهم ثم الذين يالونلهم

"Sebaik-baik kamu sekalian (umat islam) adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya dan generasi berikutnya lagi" (Hadis ini melalui jalur periwayatan al-Bukharî, Muslim, Abu Daud, al-Turmudzî, Ibnu Majah, dan Ahmad, di antara melalui jalur periwayatan dari 'Abdullah bin Mas'ud, Imran bin Husayn, Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Anas bin Malik dan segian dari shahabat yang lain).
Hadis ini menginformasikan, bahwa generasi umat Islam yang terbaik ialah generasi Nabi saw., kemudian generasi berikutnya dan kemudian generasi berikutnya lagi. Shahabat menjadi generasi terbaiknya umat ini karena mereka telah ber-shuhbah dan melihat langsung Nabi saw. serta mengorbankan diri, harta, tenaga bahkan darah sekalipun untuk tegaknya kebenaran. Kata خير الناس قرني menjadi petunjuk keadilan para shahabat Nabi saw.

1.5    Penggunaan Hadis sebagai Hujjsah di kalangan Sunni
Keluasan makna sunnah serta didukung dalil-dali sya'ri, maka mazhab sunnî berpendapat bahwa sumber otoritatif setelah Al-Qur’an adalah al-sunnah. Argumentasi ini diperkuat sunnî dengan sabda Nabi saw.

اني قد تركت فيكم أن اعتصمتم به فلن تضلوا أبداً كتاب الله وسنة نبيه
Abu Bakar bin Ishaq al-Faqih telah menceritakan kami, Al-Abbas bin al-Fadhl memberitahukan al-Ashfathî, kami bersama Ismail bin Abi Uwais (akhbaranî) Ismail bin Muhammad bin al-Fadhl al-Sya'ranî, Tsannâ kakekku Tsannâ Ibn Abi Uwais telah diceritakan aku oleh Bapakku dari Tsaur bin Zaid al-Daylî dari Ikrimah dari Ibn Abbas Rasul saw bersabda: "Sesungguhnya aku telah meninggalkan pada kamu sekalian (dua perkara), sekiranya kamu sekalian berpegang teguh dengannya maka kamu tidak akan sesat selama-lamanya yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya" (HR al-Hakim).
Diantara sekian sanad yang ditemukan, menurut ulama hadis sunnî hanya hadis jalur Ibnu Abbas (w. 68). yang mukharij-nya al-Hakim (w.405 H) dianggap representatif seperti bunyi teks tersebut di atas. Sepanjang pengamatan penulis riwayat ini tidak ditemukan dalam "kutub sitta". Hadis ini hanya melalui dua jalur shahabat yaitu jalur Ibnu Abbas (w. 68 H) sebanyak 4 hadis dan Abu Hurairah (w. 57-9 H) sebanyak tiga hadis.
Sunni hanya membatasi pada segala sesuatu yang bersumber dari Nabi s.a.w. sebagai hadis dan sumber kehujjahan agama. Karenanya, Sunni sama sekali tidak mengakomodasi hadis-hadis yang ketersambungan sanadnya tidak sampai kepada Nabi s.a.w. Adapun riwayat-riwayat yang berasal sahabat disebut hadis mauquf dan riwayat-riwayat dari tabi'in disebut hadis maqtu', keduanya tidak dapat dijadikan hujjah. Perbedaan ini berimplikasi kepada banyaknya materi hadis yang bisa dijadikan hujjah.
Di samping itu, perbedaan yang juga tidak kalah pentingnya antara Syi'ah dan Sunni adalah Syi'ah masih mengakomodasi para periwayat lain di luar para Imam, sekalipun derajat hadis dari jalur ini berbeda dengan derajat hadis dari jalur Imam mereka. Sedangkan Sunni (dalam hal ini al-Bukhari), tidak satu pun mengutip riwayat-riwayat yang mengkhabarkan tentang kekhalifahan Ali bin Abi Talib atau menjelaskan keutamaan-keutamaannya, dan riwayat hidup putra-putranya yang diberkahi yang tidak lain adalah keluarga Rasulullah s.a.w.

1.6    Literatur Utama Hadis Sunni: Shahih Bukhariy
A.       Shahih Bukhariy dan Sunni
Keseriusan Imam Bukhari menghimpun dan menyeleksi hadis yang dituangkan dalam kitab shahihnya tidak diragukan. Karya Imam Bukhari ini diakui oleh kaum sunnî sebagai hadis yang paling tershahih di antara kitabkitab hadis shahih yang ada. Keunggulanan karya Imam Bukhari dari karya ulama-ulama hadis lainnya menjadikan kitab hadisnya sebagai kitab hadis yang menempati posisi teratas dari kitab-kitab hadis lainnya sekalipun sekelompok kecil sunnî mendahulukan kitab Shahih Muslim. Kitab ini ditulis oleh Imam Bukhari sebagai karya monumental yang sangat berharga di bidang hadis sunnî. Kitab ini menghimpun hadis-hadis shahih yang berjudul al-Jâmi' al-Shahîh al-Musnad al-Mukhtashar min Umûri Rasulillah saw, wa sunanih wa Ayyâmih yang lebih dikenal Shahih Bukhari. Signifikansi kitab hadis ini terlihat banyaknya ulama hadis memberikan perhatian serius baik kelompok sunnî maupun dari kelompok syî'î tentang hadis yang terdapat di dalamnya. Sekitar 80-an lebih karya susulan yang lahir untuk men-syarah kitab ini di antaranya –yang terkenal- Fath al-Bârî karya Ibnu Hajar al-Asqalani (852 H), 'Umdat al-Qârî oleh al-'Aini (855 H), Irsyad al-Târî oleh Ahmat al-Qasthalâni (923 H), dan lain-lain.[49]
Shahih Bukhari ditulis oleh orang yang terkemuka di bidang hadis sunnî. Di kalangan pemerhati hadis sunnî nama penulisnya tidak asing lagi bahkan di kalangan komunitas syî'î pun sangat dikenal. Nama lengkapnya Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi al-Bukhari, atau Abu Abdillah al-Bukhari, lahir di Bukhara tahun 194 H. Beliau wafat di desa Khartank, Samarkand pada tahun 256 H. dalam usia 62 tahun.[50]
Ibnu Hajar seorang pakar hadis sunnî mengatakan bahwa seluruh hadis yang terdapat dalam shahih Bukhari yang matan-nya bersambung tanpa pengulangan redaksi hanya berjumlah 1602. Sementara hadis yang matan-nya mu'allaq dan marfu' namun sanad-nya tidak di-istishal-kan di tempat lain sebanyak 159 hadis sehingga jumlah keseluruhan hanya 1761 hadis. Menurut al-Hasani sebanyak 7397. Jumlah hadis itu akan lebih banyak menurut al-Hasani bila hadis-hadis mu'allaq dan mutaba'at digabungkan, maka jumlah secara keseluruhannya sebanyak 9072. Hadis itu, akan berkurang menjadi 2762 bila hadis-hadis tersebut dikeluarkan hadis-hadis yang berulang-ulang dan dihitung hanya hadis muttashil sanad-nya sampai kepada Rasulullah saw.[51]
Imam Bukhari telah meriwayatkan hadis melalui periwayatan shahabat-shahabat Nabi saw. Di antara shahabat tersebut yaitu dari Marwan bin Hakam, Abu Sufyan, Mu'awiyah, Amr bin 'Ash, Mughirah bin Syu'bah, Abdullah bin Amr bin 'Ash, Nu'man bin Basyir al-Anshari. Hadis yang paling banyak diriwayatkan oleh Bukhari ialah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah sebanyak 446 hadis, Abdullah bin Abbas sebanyak 217 hadis, - kabanyak hadisnya melalui jalur periwayatan Ikrimah yang tertuduh sebagai pengikut Khawarij, Aisyah sebanyak 242 hadis, Mu'awiyah sebanyak 50 hadis, Umar bin Khattab, Abdullah bin Umar sebanyak 270 hadis, Abdullah bin Amr bin Ash, Ali hanya 29 hadis, Abu Musa al-Asy'ari sebanyak 57 hadis, Mughirah bin Syu'bah sebanyak 8 hadis, Nu'man bin Basyir sebanyak 6 hadis, Miqdad bin Aswad sebanyak satu hadis, Ammar bin Yasir dan Salaman hanya 4 hadis, Fatimah al-Zahrah hanya satu hadis, dan sama sekali tidak meriwayatkan hadis dari Hasan dan Husen yang digelar sebagai syabab ahlu jannah (pemudah ahli surga) oleh Nabi saw.[52]
B.       Komentar Ahli Hadis tentang Bukhari dan Kitab Shahihnya
Banyaknya komentar positif tentang Imam Bukhari dan kitab shahihnya, menunjukkan keunggulannya dalam bidang hadis di kalangan kaum sunnî. Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki Imam Bukhari, cukup bagi penulis untuk menginformasikan penilaian para ulama hadis yang memberikan gelar dan penghargaan tertinggi di bidang hadis dengan gelar Amir al-Mukminîn fî al-Hadîts.[53] Kaum sunnî pun menempatkan karya al-Jâmi' al-Shahih-nya yang paling shahih di antara kitab-kitab hadis yang ada setelah Al-Qur'an.[54]
C.       Kritik kepada Imam Bukhari dan Kitab Shahihnya
Eksistensi Imam Bukhari dan kitab Shahihnya tidak lepas dari kritikan. Kritik pertama datang dari eksternal (luar kelompok Islam) yaitu kelompok orientalis di antaranya dilontarkan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921 M). dan Maurice Bucaille.[55] Goldziher memandang struktur kitab hadis (al-Jâmi' al-Shahîb termasuk Shahih Bukhari) bukan merupakan hadis-hadis yang murni.[56] Kedua kritik dari internal kelompok Islam baik sunnî lebih lebih kaum Syi'î. Kritik sunnî terhadap Imam Bukhari dan kitab shahihnya di antaranya diwakili oleh Muhammad Amin[57] dan al-Daraquthni, dan Ibnu Mubarrad (w. 909 H).[58] Keseriusan al-Daraquthni dalam mengkritik Bukhari dengan menulis kitab al-Tatabbu'. Sekitar 200 hadis yang dia kritik di dalam shahih Bukhari.[59]
Kritik yang paling tajam muncul dari kelompok syî'î. Ulama hadis Syî'î banyak mengeritik Imam Bukhari dan kitabnya. Di antaranya mereka menganggap bahwa Imam Bukhari tidak proporsional dalam menerima periwayat hadis dari kalangan shahabat. Data otentik membuktikan bahwa Imam Bukhari sangat sedikit meriwayatkan hadis dari keluarga Nabi saw. terutama kepada al-Hasan cucu Nabi saw. dan Ja'far al-Shadiq padahal ia hidup semasa Imam Bukhari.[60]


BAB III
PENUTUP


Kesimpulan
Dalam pandangan Sunni, yang dimaksud dengan hadis ialah segala sabda, perbuatan, taqrir, dan hal-ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Hadis dalam pengertian ini oleh ulama hadis disinonimkan dengan istilah al-sunnah. Dengan demikian, menurut umumnya jumhur ulama hadis, bentuk-bentuk hadis atau al-sunnah ialah segala berita berkenaan dengan; sabda, perbuatan, taqrir, dan hal-ihwal Nabi Muhammad saw. Klasifikasi hadis dilihat dari kuantitas rawinya, hadis menurut pandangan Sunni terbagi menjadi tiga, yaitu mutawatir, masyhur dan ahad. Sedangkan secara kualitasnya terbagi atas tiga, yaitu hadis shahih, hasan, dan dlo’if.
Perjalanan historis kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis, khususnya di kalangan Sunni mencapai puncaknya pada periode atba’ atba’ al-tabi’in. hal itu ditandai dengan munculnya enam kitab hadis utama yang dikenal dengan al-Kutub al-Sittah, yakni Shahih al-Bukhariy (w. 256 H), Shahih muslim (w. 261 H), Sunan Abi Dawud (w. 275 H), Jami’ al-Tirmidziy (w. 279 H), Sunan al-Nasa’iy (w. 303 H), Sunan Ibn Majah (w. 273 H). Selain itu, masih ada kitab-kitab hadis lainnya, seperti Musnad Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), Musnad ‘Abd ibn Humaid (w. 249 H), Musnad Ishaq ibn Rahawaih (w. 237 H), Musnad al-Harits ibn Muhammad (w. 282 H), Musnad Ahmad ibn ‘Amr al-Bazar (w. 292 H), Mushannaf Ibn Abi Syaibah (w. 235 H), dan Sunan al-Darimiy (w. 255 H).



Daftar Pustaka


Abdul Aziz bin Abdurahman al-Said. 1408. Ibnu Qudamah wa Atsaruhu al-Ushuliyah. cet. IV. Riyadh: Univ. Ibnu Sa'ud
Abu Syhbah. Fî al-Rihab al-Sunnah al-kutub al-Shihahi al-Sittah terjemahan Ahmad Usman. Surabaya: Pustaka Progressif
‘Ajjaj al-Khâtib. 1975. Ushûl al-Hadîts ‘Ulumuhâ wa Mushthalahuhâ. Beirut: Dâr al-Fikr
Abdurahman bin Abu Bkr al-Syuthi. 1380. Tadrîb al-Rawî, fî Syarh Taqrîb al-Nawawi. Beirut: Dar al-Fikr
Al-Amidî. 1402. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. jilid 2, cet. II. Beirut: Al-Maktab al-Islamiyah
Abu Ya'lâ Muhammad bin Husain al-Hanbalî. 1410. al-Uddatu fî Ushûl al-Fiqh, jilid 3. cet. II
Abu al-Qasim al-Husainî bin Muhammad al-Raghib Al-Isfahani 1382. Al-Mufradât fî gharîb al-Qur'ân. Mesir: Musthafa al-Babî al-Halabî wa awladuh
Ahmad Mushthafa al-Maraghi. Tafsîr al-Marâghi. jilid II. Beirut: Dar al-Fikr
Abil 'Abbas Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Qasthalanî. Irsyad al-Sari ilâ Shahih al-Bukhari. jilid I: Bairut: Darul Fikr
Ali Musatafa Ya'qub. 1996. Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, cet. III. Jakarta: Pustaka Firdaus
Abu Hasan Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdi al-Daraquthnî. 1985. al-Iltizâmât wa al-Tatabbu'. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah
al-Khatib, M. Ajaj. 1989. Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Fikr
al-Salus, Ali Ahmad. 1997. Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih. Jakarta: Pustaka al-Kausar
al-Baghdadi, Abu Bakar ibn Ahmad ibn Sabit al-Khatib. T.t. al-Kifayah fi ‘ilm al-Riwayah. Kairo: Dar al-Kutub al-Hadisah
al-Siba’i, Mustafa. 1991. Sunah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam; Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, Terj. Nurcholis Madjid. Jakarta: Pustaka Firdaus
Azami, Muhammad Mustafa. 1999. Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Mustafa Ya’qub. Jakarta: Pustaka Firdaus
al-Harabi, Mamduh. 2009. Mujmalu ‘Aqaidi al-Syi’ah fi Mizani Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah. al-Jizah: Imraniyyah lil Aufasat
al-Zahraniy, Muhammad ibn Mathar. 1412 H. Tadwin al-Sunnat al-Nabawiyyah. Tha’if: Maktabat al-Shadiq
Wahyuni sifatur rahmah. 2006. Epistimologi hadis dalam pandangan Sunni dan Syiah. Yogyakarta: Junal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis

Ibrahim Unais, al-Mu’jam al-Wasîth cet. II/tp./.,/t.tp./.,juz I,/t.th./.,h.159-160
Muhammad Subhi Shâlih. 1989. ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu. Beirut: Dâr al-‘Ilm al-Malâyîn
M.M. Azami, 1994. Hadis nabi dan Sejarah Kodifikasinya, terjemah Mustafa Ya'kub. Jakarta: Pustaka Firdaus
G.H.A. Juynboll. 1967. Muslim Tradition Studies in Chronologi, Provenance and Authorship of early Hadith. Cambridge: Cambridge University Press
Al-Khatib al-Baghadadi. 1313. al-Kifâyah fî al-'Ilmi al-Dirâyah. Haydarabat: Dâirah al-Ma'ârif al-Islamiyah
Makki al-Syami. 1999. al-Sunnah al-Nabawiyah wa Math'inu al-Mubtadi'ah fiha. Amman: Dâr 'Imâr
Muhammad Zuhri. 1997. Hadis Nabi: Tela'ah Histori dan Metodologi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Mustafa al-Siba'i. al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyri' al-Islâmi. penerjemah: Nurchalish Madjid. 1991. cet. I. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus
Muhammad Mubarak al-Sayyid. 1988. cet. Ke II. Manhaj al-Muhadditsîn. Kairo
Muhammad Nashiruddin al-Albani. 1422. cet I. al-Raudh al-Dânî fî al-Fawaid al-Hadîtsiyah. Amman: al-Maktabah al-Islamiyah
Mahmud al-Thahan. 1979. Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsatu al-Asânîd. Beirut: Dârul al-Qur'an al-Karîm
Ibnu Said al-Thufi. 1410. Syarh Mukhtashar al-Raudhah. cet. I. jilid II. Beirut: Muassasah al-Risalah
Ignaz Goldziher. 1971. Muslim Studien. jilid II. London: George Allen & Unwin
Ibnu Shalah. 1398. Muqaddimah Ibnu Shalah. Beirut: Darul al-Kutub al-Ilmiyah
Ibnu Hajar al-Asqalani. 1978. al-Ishabah fî Tamyiz al-Shahabah. Beirut: Dar al-Fikr
--------------. 1325. Tahdzîb al-Tahdzîb. India: Majlis Da’irat al-ma’arif al-Nizhammiyah
--------------. Fathu al-Bari.  juz I. Mesir: Matha’ah al-Halabi
--------------. 1404. Nuzhatu al-Nadzhar. Madinah: Maktabah Thayibah
Utsman bin Umar bin al-Hajib. 1403. Mukhtashâr al-Muntahâ al-Ushûlî. jilid 2, cet. II. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Muhibullah bin Abdul Syakur. 1983. Musallam al-Tsubût fî Ushûl al-Fiqh. jilid II. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah. 1989. Difa' an al-Sunnah. cet. I. Kairo: Maktabah al-Sunnah
Nuruddin Itr. 1997. Manhaj Maqd fî 'Ulûm al-Hadîts. cet. III. Dimasyq: Dar al-Fikr
Wahbah Zuhaili. 1991. al-Tafsîr al-Munîr fi al-aqîdah, wa al-Syari'ah, wa al-Manhaj, cet. I. jilid 4.. Beirut: Darul Fikr
al-Zahabî. 1990. Syi'ar 'Alâm al-Nubalâ. cet. 7. jilid 12. Beirut, Muassasah al-Risalah
Muhammad Najmi. 1988. Ta'ammulât fî al-Shahihain. Beirut: Darul Ulum M), hal. 71
MM. Azami, Studies in Early Hadith Literature,
Zahra’, Muhammad Abu. T.t. al-Imam al-Sadiq Hayatuhu wa ‘Asruhu wa Fiqhuhu. Beirut: Dar al-Fikr


[1] Ibrahim Unais, al-Mu’jam al-Wasîth cet. II/tp./.,/t.tp./.,juz I,/t.th./.,h.159-160
[2] Muhammad Subhi Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu, (Beirut, Dâr al-‘Ilm al-Malâyîn, thn. 1989), hal. 4-5
[3] ‘Ajjaj al-Khâtib, Ushûl al-Hadîts ‘Ulumuhâ wa Mushthalahuhâ, (Beirut Dâr al-Fikr, thn. 1975), hal 26
[4] Lihat, al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, hal. 28
[5] Lihat Abdurahman bin Abu Bkr al-Syuthi, Tadrîb al-Rawî, fî Syarh Taqrîb al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Fikr, thn. 1380 H.), juz I, hal. 42 dan Ibnu Hajar al-Asqalani, Nuzhatu al-Nadzhar, (Madinah: Maktabah Thayibah thn 1404 H), hal. 18
[6] al-Khatib, M. Ajaj. 1989. Usul al-Hadis ‘Ulumuhu wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Fikr. Hal. 301-302

[7] Al-Darimi, Sunan al-Darimi, I hal. 126
[8] Al-Asqalani, Fathu al-Bâri, I hal. 194-195; 208; Abu Zahw, al-Hadîts wa al-Muhadditsîn, hal. 127
[9] Al-Baghdadi, Taqyid al-'Ilm, hal. 5; al-Qurtubi, Jâmi' Bayan al-'Ilm, I hal. 76
[10] Lihat Sir William Muir, Life of Mahomet, London, 1894, hal. Xxx-xxxi, London, 1894
[11] Lihat Ignaz Goldziher, Muhammadanische Studien, hal. 241-250; lihat Subhi Shaleh, 'Ulûmu al-Hadîts, hal. 34
[12] Lihat MM. Azami, Hadits Nabawî, hal. 108
[13] Lihat Ja'fariyan, Tadwin., vol. VI, no. 1
[14] Muhammad Musthafa al-'Adzami meraih gelar doktor di Cambridge University dengan judul disertasi Studies in Early Hadith Literature, yang kemudian disertasinya diterbitkan di Indiana Polish, Amerika pada tahun 1978. Pada tahun 1980 diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan judul Dirâsat fî al-Hadîts al-Nabawi wa al-Tarîkh Tadwînih
[15] Lihat MM. Azami, Ulumul Hadis dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 110
[16] Al-Asqalani, Fath al-Bâri, I hal. 208
[17] Lihat MM. Azami, Metodologi Kritik Hadis, hal. 55-56 dan Hadis Nabawi., hal. 155. Nabi Abbott dan M.M Azami memaparkan secara detail tentang bukti konkrit tradisi penulisan hadis pada masa awal Islam. Namun bukti-bukti yang diajukan keduanya dibantah oleh Juynboll. Menurut Juynboll manuskrip-manuskrip yang dimaksud tidak realistik (unearthed) dan hanya bersifat dugaan sebagai teks-teks kuno yang gampang dipalsukan pada generasi berikutnya. Bukti yang ditunjukan Azami dan Abbott dianggap lemah ditinjau dari aspek filologi. Lihat M.M. Azami, Hadis nabi dan Sejarah Kodifikasinya, terjemah Mustafa Ya'kub (Jakarta: Pustaka Firdaus, thn 1994) hal. 132-134 dan G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition Studies in Chronologi, Provenance and Authorship of early Hadith (Cambridge: Cambridge University Press, thn 1967), hal. 6-32
[18] Lihat MM. Azami, Hadis Nabawi., hal. 155-156. Lihat pula al-Khaththabi, Ma'alim al-Sunan, IV hal. 184. Alasan tidak menulis hadis karena Kekhawatiran bercampur dengan al-Qur'an merupakan alasan yang tidak rasional, banyak dibantah dengan asumsi yaitu: Pertama, ditinjau dari aspek bahasa al-Qur'an para shahabat yang kental dengan nuansa sya'ir sangat mudah membedakan bahasa wahyu dengan sabda Nabi saw.; Kedua, selama Nabi saw hidup berdampingan dengan shahabatnya, kesalahan dapat dilacak dan diperbaiki langsung; Ketiga, terdapat banyak saksi di antara shahabat yang mayoritas penghafal al-Qur'an; Kempat, Implikasi negatifnya ketika hadis dibiarkan berserakan dari mulut ke mulut tanpa tulisan, karena situasi itu memudahkan orang lain untuk memalsukan hadis dikemudian hari dibandingkan dengan pemalsuan al-Qur'an. Lain halnya jika alasan pelarangan itu karena skala prioritas. Artinya memprioritaskan penulisan dan perhatian umat Islam (shahabat) kepada al-Qur'an ketimbang sabda Nabi saw. maka pelarangan itu bersifat sementara atau sama sekali ditolak.
[19] Makki al-Syami, al-Sunnah al-Nabawiyah wa Math'inu al-Mubtadi'ah fiha, (Amman, Dâr 'Imâr, thn. 1999), hal. 49
[20] Ibnu Hajar, al-Asqalani, Fathu al-Bari, juz I, (Mesir, Matha,ah al-Halabi tth.) hal. 174
[21] Muhammad Zuhri, Hadis Nabi (Tela'ah Histori dan Metodologi), (Yogyakarta. PT Tiara Wacana, thn. 1997) hal. 58
[22] Lihat Mustafa al-Siba'i, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyri' al-Islâmi (Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam), penerjemah, Nurchalish Madjid cet. I, (Jakarta, Pustaka Firdaus, thn. 1991) hal. 75
[23] Lihat Muhammad Mubarak al-Sayyid, Manhaj al-Muhadditsîn, cet. Ke II, (Kairo, tp. 1988) hal. 32; Muhammad Luqman al-Salafî, Ihtimâm al-Muhadditsîn bi Naqdi al-Hadîts, hal. 59-61; Mustafa al-Siba'i, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyri' al-Islâmi. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, penerjemah, Nurchalish Madjid cet. I, (Jakarta, Pustaka Firdaus, thn. 1991) hal. 76
[24] Muhammad Mubarak al-Sayid, Manhaj al-Muhadditsîn, hal. 69
[25] Hasyim Ma'ruf al-Husainî, Dirasah fil-Hadîts, hal. 118
[26] Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Raudh al-Dânî fî al-Fawaid al-Hadîtsiyah, cet I, (Amman, al-Maktabah al-Islamiyah, thn. 1422 H), hal. 72
[27] Mahmud al-Thahan, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsatu al-Asânîd, (Beirut, Dârul al-Qur'an al-Karîm, thn. 1979) hal. 45. lihat Mustafa al-Siba'I, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyri' al-Islâmi. Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam, penerjemah, Nurchalish Madjid cet. I, (Jakarta, Pustaka Firdaus, thn. 1991) hal. 77
[28] Lihat Ibnu Shalah, Muqaddimah Ibnu Shalah, (Beirut, Darul al-Kutub al-Ilmiyah, 1398 H.) hal. 1346
[29] Al-Khatib al-Baghadadi, al-Kifâyah fî al-'Ilmi al-Dirâyah, (Haydarabat: Dâirah al-Ma'ârif al-Islamiyah, thn. 1313 H.) hal. 50
[30] Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishabah fî Tamyiz al-Shahabah, (Beirut, Dar al-Fikr, 1978) jld. I hal. 10
[31] Utsman bin Umar bin al-Hajib, Mukhtashâr al-Muntahâ al-Ushûlî, jilid 2, cet. II, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah thn. 1403 H), hal. 76; Al-Amidî, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, jilid 2, cet. II, (Beirut : Al-Maktab al-Islamiyah, thn. 1402 H), hal. 160
[32] Lihat Muhibullah bin Abdul Syakur, Musallam al-Tsubût fî Ushûl al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1983) jilid II hal. 120
[33] Abu Ya'lâ Muhammad bin Husain al-Hanbalî, al-Uddatu fî Ushûl al-Fiqh, jilid 3, cet. II, (ttp. Thn. 1410 H), hal. 988
[34] Abu al-Qasim al-Husainî bin Muhammad al-Raghib Al-Isfahani, Al-Mufradât fî gharîb al-Qur'ân (Mesir: Musthafa al-Babî al-Halabî wa awladuh, th. 1382 H= 1961 M), hal. 275
[35] Al-Asqalânî, Kitab al-Ishâbah, jilid I hal. 10 dan Nur al-Din 'Itr, Manhaj al-Naqd fî 'Ulûm al-Hadîts hal. 123
[36] Al-Asqalânî, Al-Isti'âb fî Asmâi al-Ashhâb, juz I, hal. 2
[37] Lihat 'Izzuddin al-Jazari, Usdul-Ghâbah, Juz 2, hal. 3
[38] Al-Asqalânî, Al-Ishâbah, juz I, hal 17
[39] Al-Amidî, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, juz I hal. 274
[40] Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Difa' an al-Sunnah (Maktabah al-Sunnah, Kairo cet. I, Jumadil akhir 1408) 1989 M) hal. 92
[41] Ahmad Mushthafa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi, (Beirut, Dar al-Fikr, tth. ) jilid II, hal 4
[42] Nuruddin Itr, Manhaj Maqd fî 'Ulûm al-Hadîts, cet. Ke III (Dimasyq, Dar al-Fikr, thn. 1997 M=1418 H.) hal. 121
[43] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr fi al-aqîdah, wa al-Syari'ah, wa al-Manhaj, cet. I (Beirut, Darul Fikr, thn. 1411 H=1991 M) jilid 4 hal. 44
[44] Ibnu Said al-Thufi, Syarh Mukhtashar al-Raudhah, cet. I, (Beirut, Muassasah al-Risalah, tah. 1410 H.) jilid II, hal. 181
[45] Lihat Ibnu Katsir, Juz IV hal. 186-188, 190191, 194-200; AL-Qurthubî, Juz XVI, hal. 274-278
[46] Lihat Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munîr fi al-aqidah, wa al-Syari'ah, wa al-Manhaj, cet. I (Beirut, Darul Fikr, thn. 1411 H=1991 M) jilid 26 hal. 210
[47] Lihat Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munîr …jilid 26 hal. 210-211
[48] Di antara ayat-ayat lain yang menjadi pijakan oleh ulama sunnî yaitu QS al-Taubah (9) ayat 100; QS al-Hasyr (59) ayat 8; QS al-Anfal (8) ayat 74. Lihat Abdul Aziz bin Abdurahman al-Said, Ibnu Qudamah wa Atsaruhu al-Ushuliyah, cet. IV (Riyadh, Uni. Ibnu Sa'ud, 1408 H.) hal. 199
[49] Subhi Shalih, 'Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 396-397
[50] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 9 no. 53, hal 41-42, dan Imam al-Suyuthi, Thabaqât al-Huffâdz, juz I, no. 560, hal. 252-253
[51] al-Hasanî, Dirâsât fî al-Hadîts wa al-Muhadditsîn, hal. 123 dan Hadyu Tsâri. Berdasarkan penelitian Muhammad Fuâd 'Abd al-Bâqi –seorang ahli hadis muta'akhir- dari sunnî bahwa jumlah seluruh hadis dalam shahih Bukhari adalah 9082 hadis (termasuk hadis yang berulang-ulang, muallaq yang hanya disebutkan sebagian periwayatnya, hadis mauquf dan maqthu'). Setelah dikurangi hadis muallaq, mauquf dan maqthu' tinggal 7563 hadis. Bila dikurangi lagi dengan hadis yang berulang-ulang tinggal 2607 hadis. Lihat 'Ajjaj al-Khathib, Ushul., hal. 312 pada catatan kaki. Muhammad Mustafa al-Bagha dalam al-Tajrîd al-Sharîh yang merupakan Mukhtashar Shahih al-Bukhâri, setelah mengabaikan hadis-hadis yang tidak muttashil, tidak marfu' dan tidak berkaitan dengan hadis Nabi saw. maka hanya menghimpun 2134 hadis.
[52] al-Hasanî, Dirâsât fî al-Hadîts wa al-Muhadditsîn, hal. 124; Dhuhâ al-Islam juz III, hal 111-112; Ibnu Katsir, al-Bâits al-Hatsîts, hal. 25 dan Muqaddimah Fathu al-Bâri, juz III, hal. 248-249
[53] Ajjaj al-Khatib, Ushul., hal. 449; al-Hamsy, Ruwât al-Hadîts, hal. 31. Qutaibah bin Said berkata, Aku telah berjumpa ahli hadis, ahli ra'yu, ahli fikih, ahli ibadah dan orang zuhud, namun saya belum pernah bertemu yang seperti Muhammad bin Ismail, Ibnu khuzaimah berkomentar bahwa di kolong langit ini tidak ada ahli hadis yang melebihi Muhammad bin Ismail, Abu Hatim al-Razi berkata; Khurasan belum pernah melahirkan seorang yang melebihi Bukhari dan di Irakpun tidak ada yang menandinginya. Lihat Abu Syhbah, Fî al-Rihab al-Sunnah al-kutub al-Shihahi al-Sittah terjemahan Ahmad Usman, (Surabaya, Pustaka Progressif, thn. ), hal. 43 dan Abu Ja'far berkata; "Seandainya aku mampu menambah usia Muhammad bin Ismail dari umurku, pasti kulakukan karena kematianku hanya merupakan kematian seorang sementara kematiannya adalah kematian ilmu". Lihat al-Zahabî, Syi'ar 'Alâm al-Nubalâ jilid 12 (Beirut, Muassasah al-Risalah cet. 7 thn. 1990) hal. 418
[54] Di antara pujian kitab Shahih Bukhari misalnya Al-Zahabî berkata; Jami'u al-Bukhari al-Shahih kitab yang agung dan yang afdhal setelah Al-Qur'an. Lihat Abil 'Abbas Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Qasthalanî, Irsyad al-Sari ilâ Shahih al-Bukhari, jilid I, (Bairut, Darul Fikr tth.) hal. 29 dan Muhammad Najmi, Ta'ammulât fî al-Shahihain, (Beirut, Darul Ulum thn. 1408/1988 M), hal. 71
[55] Dia seorang orientalis dari Hungaria yang mengeritik hadis jalur al-Zuhri yaitu "Tidak diperintahkan bersafar kecuali tiga masjid yaituMasjid Haram diMakkah, Masjid al-Nabawi di Madinah dan Masjid al-Aqsha di Palestina". Menurutnya hadis ini palsu bermuatan politik. Munculnya hadis ini diawali rasa khawatiran oleh Abdul Malik bin Marwah di Damaskus. Ia merasa khawatir kepada Abdullah bin Zubair di Makkah yang mengambil baiat kepada orang-orang Syam yang menunaikan haji. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Abdul Malik mengalihkan orang Syam supaya tidak haji ke Makkah tetapi cukup ke Kubbah al-Shakhr6a di palestina. Dari fenomena tersebut, ia mengintruksikan al-Zuhri membuat hadis seperti tersebut di atas dengan sanad yang bersambung kepada Nabi saw. Lihat MM. Azami, Studies in Early Hadith Literature, hal.127-131. Bucaille mengkritis beberapa hadis yang dianggapnya tidak autentik karena bertolak belakang dengan sains di antarnya hadis tentang lalat yang jatuh di dalam gelas yang ada airnya, demam dari api neraka dan perkembangan Emberio. Lihat Bible Qur'an dan Sains Modern dan Ali Musatafa Ya'qub, Imam Bukhari danMetodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, cet. III, (Jakarta, Pustaka Firdaus, than 1996M) hal. 36
[56] Lihat Ignaz Goldziher, Muslim Studien, jilid II (London : George Allen & Unwin, 1971), hal. 382
[57] Di antara hadis yang dikritiknya yaitu hadis yang mengatakan bahwa 100 tahun akan datang tidak ada orang yang hidup di muka bumi. Lihat Mustafa Ya'qub, hal. 36
[58] Bagi yang ingin menelaahnya lebih intensif, lihat Al-Hafidzh Jamaluddin Yusuf bin Abdi al-Hadi al-Hanbalî –ia lebih dikenal dengan Ibnu al-Mubarrad -, Dalam kitab al-Ikhtilâf bayna ruwâti al-Bukhâri, ia menginformasikan 'ilal beberapa periwayat Bukhari di antaranya Abu Ali yaitu Said bin Usman bin al-Sakan, Abu Muhammad yaitu Abdullah bin Ahmad al-Hamuwaî, Abu Ishak yaitu Ibrahim bin Ahmad al-Mustamilî. 'Ilal tersebut umum terjadi pada jalur periwayatan Abi Ishak Ibrahim bin Ma'qil bin al-Hujjaj al-Nasafî. Lihat hal. 17-18
[59] Bagi yang ingin menelaah lebih serius, lihat Abu Hasan Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdi al-Daraquthnî (306-385 H), al-Iltizâmât wa al-Tatabbu', (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah thn. 1405 H/1985 M
[60] Kritikan lainnya kepada Imam Bukhari karena ia tidak meriwayatkan hadis dari al-Kazhim, al-Ridha, al-Jawad al-Hadi dan Hasan al-Askari (imam ini hidup sezaman dengan Bukhari) dan ahlu bait lainnya. Sementara Bukhari berhujjah dengan riwayat tokoh kaum Khawarij yang sangat benci kepada ahlul Bait yaitu 'Imran bin Haththan penyanjung Abdurahman bin Muljam pembunuh Ali bin Abi Thalib. Lihat al-Fushûl al-Muhimmah fî Ta'lîf al-Ummah, Tarjamah, Isu-isu Penting Ikhtilaf Sunnah Syi'ah, hal. 198

Tidak ada komentar:

Posting Komentar