KAJIAN HADITS DALAM PANDANGAN SUNNI
(Sebuah Perbandingan)
disusun untuk
memenuhi Tugas
Mata Kuliah Studi
Hadits
Dosen Pengampu Dr. Hj. Umi Sumbulah, Mag dan Dr. Muzakki
Penyusun
Bayu Kusferiyanto (14720081)
PENDIDIKAN
BAHASA ARAB
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK
IBRAHIM MALANG
Juni, 2015
Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim.
Puji-Syukur kami panjatkan kehadirat
Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat dan salam semoga terlimpah-curahkan
kepada Rasul, Nabi Muhammad SAW, guru semesta alam.
Makalah ini disusun untuk memenuhi
tugas Matakuliah Studi Hadis yang diampu Ibu Dr. Umi Sumbulah dan Bapak Dr. Muzakki dengan judul Kajian
Hadis dalam Pandangan Sunni: Sebuah Perbandingan di
Program Magister Pendidikan Bahasa Arab Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim Malang.
Sejarah
penulisan, pengumpulan dan pembukuan Hadis dan ilmu Hadis telah melewati
serangkaian fase historis yang sangat panjang. Dimulai
semenjak Nabi SAW, sahabat, tabi’in dan seterusnya hingga mencapai puncaknya
pada kurun abad ke tiga Hijriah. Perjuangan ulama Hadis yang telah berusaha
dengan keras dalam melakukan penelitian serta penyeleksian hadis betul-betul
dilakukan degan sungguh-sungguh. Mereka memilah dan memilih mana hadis yang
shahih, dan mana hadis yang da’if. Dari usaha-usaha mereka itu kemudian
melahirkan metode-metode yang cukup
“kaya”, mulai dari metode penyusunan dalam berbagai bentuknya (musnad, sunan, jami’
dan lain-lain) hingga kepada kaidah-kaidah penelusuran hadis. Kaidah-kaidah tersebut, kemudian berkembang
menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri
yang disebut dengan Ilmu Hadis.
Kami berharap makalah ini dapat
berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Studi Keislaman,
utamanya ilmu Hadis. Betapa pentingnya ilmu Hadis ini untuk kita
ketahui bersama. Lebih-lebih kita yang belajar di program bahasa Arab, yang
kerap sekali didentikkan dengan cendikiawan agama, al-qur’an, hadis, tafsir,
fiqih dan sebagainya.
Kami juga menyadari bahwa di dalam
makalah ini terdapat banyak sekali kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh
sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah
yang akan kami susun berikutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami selaku
penyusun khususnya, atau bagi siapapun yang membacanya secara umum. Demikian dan akhirnya kami
ucapkan terimakasih.
Penyusun
Daftar Isi
Cover
Kata Pengantar ......................................................................................... i
Daftar Isi .................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ......................................................................... 2
1.3 Tujuan ........................................................................................... 2
BAB II : PEMBAHASAN ........................................................................ 3
2.1 Pengertian
Hadis di kalangan Sunni ............................................. 3
A.
Pengertian Hadis .................................................................... 3
B.
Hadis menurut terminologi Sunni .......................................... 3
2.2 Klasifikasi Otentisitas Hadis Sunni .............................................. 3
A.
Hadis Dilihat dari Aspek Kuantitas Rawi ............................. 4
B.
Hadis Dilihat dari Aspek Kualitasnya ................................... 4
2.3 Penulisan dan Pengumpulan (Tadwin) Hadis di kalangan Sunni . 5
2.4 Adalat
al-shahabah di
kalangan Sunni ......................................... 10
A.
Shahabat dalam Terminologi Sunni ....................................... 10
B.
‘Adalah Shahabat ................................................................... 11
C.
Dalil-dalil kalangan Sunni mengenai
‘Adalah Shahabat ........ 12
2.5 Penggunaan Hadis sebagai Hujjah di kalangan Sunni .................. 15
2.6 Literatur Utama Hadis Sunni: Shahih Bukhariy ........................... 15
A.
Shahih Bukhariy dan Sunni ................................................... 15
B.
Komentar Ahli Hadis tentang
Bukhari dan Kitab Shahihnya. 17
C.
Kritik kepada Imam Bukhari dan Kitab
Shahihnya............... 17
BAB III : PENUTUP ................................................................................ 19
Kesimpulan ................................................................................... 19
Daftar Pustaka .......................................................................................... 20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Hadis
dalam studi keislaman mempunyai sejarah yang unik dan panjang. Ia pernah
mengalami masa transisi dari tradisi oral ke tradisi tulisan. Kodifikasinya pun
membutuhkan waktu yang cukup panjang. Persaingan politik antar kelompok Muslim
dalam rangka perebutan kekuasaan juga ikut mewarnainya. Sampai pada akhir abad
ke-9 M, usaha kodifikasi tersebut dapat menghasilkan beberapa koleksi besar
(kitab hadis) yang dianggap otentik, di samping sejumlah besar koleksi hadis
lainnya.
Terdapat
satu anggapan, bahwa perbedaan aqidah dalam aliran-aliran Islam berdampak atau
bahkan merupakan sumber pada perbedaan hadis yang diakui oleh masing-masing
kelompok. Kelompok Sunni misalnya, hanya berpegang pada riwayat Sunni
saja, sementara kelompok Syi’ah hanya mengakui hadis-hadis riwayat kelompok
Syi’ah saja. Demikian seterusnya. Masing-masing kelompok cenderung egois dan
hanya mementingkan kelompoknya. Lebih parah lagi, hadis-hadis yang ada banyak
dibuat oleh kelompok tertentu demi kepentingan kelompoknya, bahkan tidak
sedikit yang mendiskreditkan mazhab yang berseberangan. Dampak terbesar dari
anggapan ini adalah, hadis-hadis yang ada tidak bisa dipertanggungjawabkan
otentisitasnya karena dibuat/dipalsukan oleh mazhab-mazhab tertentu demi
kepentingan mereka.
Perbedaan
konsepsi secara metodologis tentang hadis antara Sunni dan Syi’ah bergulir pada
wilayah kajian epistimologi. Upaya untuk melihat konstruk hadis ini sangat
urgen lantaran hadis sebagai laporan sejarah masa lampau mengenai kehidupan
Nabi yang telah lenyap ditelan waktu, sebuah pengalaman yang berada jauh dari
jangkauan pengetahuan inderawi. Jarak waktu yang cukup
lama antara Nabi dan para penghimpun hadis serta adanya perbedaan visi dan misi
politik mazhab menambah rumitnya pembuktian otentisitas hadis. Prinsip
mendasar yang perlu dicermati adalah kriteria-kriteria yang kedua faksi ini
gunakan dalam mengukur keshahihan sebuah hadis yang diduga kuat bersumber dari
Rasulullah saw.
Mencermati latar belakang permasalahan tersebut di atas, nampaknya
masalah ini menjadi kajian penting dan mendasar antara mazhab sunnî dengan
mazhab syî'î. Dari permasalahan dan perbedaan tersebut, penulis
termotivasi untuk menyusun makalah dengan judul “Kajian Hadis dalam
Pandangan Sunni: Sebuah Perbandingan”. Makalah ini dimaksudkan untuk
mengkaji masalah tersebut lebih intensif agar nampak duduk permasalahannya. Makalah
ini diharapkan dapat bersifat ilmiah, tematik serta berguna bagi para pencinta
hadis atau sunnah Nabi saw.
1.2
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, Kami merumuskan beberapa
masalah yaitu sebagai berikut:
1.
Bagaimana
Pengertian Hadis di kalangan Sunni?
2.
Bagaimana
Klasifikasi Otentisitas Hadis Sunni?
3.
Bagaimana
Penulisan dan Pengumpulan (Tadwin) Hadis di kalangan Sunni?
4.
Bagaimana
Adalat
al-shahabah di kalangan Sunni?
5.
Bagaimana
Penggunaan Hadis sebagai Hujjah di kalangan
Sunni?
6.
Bagaimana
Literatur Utama Hadis Sunni: Shahih Bukhariy?
1.3
Tujuan
Mengacu pada rumusan masalah, maka ada beberapa tujuan
penulisan makalah ini, yaitu untuk:
1.
Memahami
Pengertian Hadis di kalangan Sunni.
2.
Memahami
Klasifikasi Otentisitas Hadis Sunni.
3.
Memahami
Penulisan dan Pengumpulan (Tadwin) Hadis di kalangan Sunni.
4.
Memahami
Adalat
al-shahabah di kalangan
Sunni.
5.
Memahami
Penggunaan Hadis sebagai Hujjah di kalangan
Sunni.
6.
Memahami
Literatur Utama Hadis Sunni: Shahih Bukhari.
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Pengertian Hadis di kalangan Sunni
A.
Pengertian Hadis
Secara etimologi kata hadis berasal dari bahasa arab; hadîts jamaknya
al-ahâdîts, al-hidtsân, atau al-hudtsân. Kata ini memiliki beberapa
arti, di antaranya, al-jadîd (sesuatu yang baru) sebagai antonim dari
kata qadîm (yang lama); al-khabar yaitu kabar atau berita.[1]
Semua yang dinisbahkan kepada Nabi saw. disebut hadîts (baru)
sebagai antonim dari wahyu Allah swt. (kalâm Allâh) yang bersifat qadîm.[2]
Defenisi yang serupa dikemukakan pula oleh ‘Ajjaj al-Khatib yaitu hadits berarti al-hadîts minal asyyâ’ (sesuatu yang
baru).[3]
Para ulama hadis sunnî dan syi'î berbeda dalam memahami hadis
dari aspek terminologinya.
B.
Hadis menurut
terminologi Sunni
Ulama hadis sunnî pada umumnya berpendapat, bahwa yang dimaksud
dengan hadis adalah segala sabda, perbuatan, taqrîr (pengakuan), dan hal
ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Hadis dalam pengertian ini
oleh ulama sunnî disinonimkan dengan istilah al-sunnah.[4]
Sebagian ulama memandang hadîts dan khabar sama. Khabar jamaknya
akhbâr secara etimologi berarti al-naba' dan terminologinya yaitu
apa yang datang dari Nabi saw., shahabat dan al-tabi'în. Khabar yang
disandarkan langsung kepada Nabi saw. disebut khabar marfu', khabar yang
hanya sampai kepada shahabat Nabi saw. disebut khabar mawquf, dan
khabar yang cukup disandarkan kepada tabi'in disebut khabar maqthu'.
Dikatakan bahwa hadis yaitu apa yang datang langsung dari Nabi saw. sementara khabar
apa yang datang selain Nabi saw. Tegasnya setiap hadis pasti khabar dan
tidak semua khabar termasuk hadis Nabi saw.[5]
1.2
Klasifikasi Otentisitas Hadis Sunni
Klasifikasi adalah derajat atau tingkatan yang
digunakan ulama dalam mengkategorikan hadis dilihat dari aspek kuantitas dan
kualitas rawi. Telaah ini dilakukan dalam upaya menelusuri secara akurat
sanad pada setiap hadis yang dikumpulkannya. Dengan penelitian kedua aspek
inilah, upaya pembuktian sahih tidaknya suatu hadis lebih dapat
dipertanggungjawabkan.
Perbedaan konsep-konsep dasar yang sangat substansial mengenai hadis antara
Sunni dan Syi’ah membawa implikasi pada kualitas hadis yang dapat dijadikan pegangan
sekaligus sebagai dasar hukum. Perbedaan kriteria yang
ditetapkan oleh Sunni dan Syi’ah berimplikasi klasifikasi terhadap kualitas
hadis masing-masing.
A. Hadis Dilihat dari Aspek Kuantitas Rawi
Dalam menyampaikan sebuah hadis terkadang Nabi berhadapan dengan sahabat
yang banyak jumlahnya, terkadang hanya beberapa sahabat, bahkan terkadang hanya
satu atau dua orang saja. Begitu seterusnya sampai
dengan generasi yang menghimpun hadis dalam berbagai kitab. Sudah barang tentu,
informasi yang dibawa oleh banyak orang lebih meyakinkan dibanding informasi
yang dibawa oleh hanya satu atau dua orang saja. Dengan demikian, maka menurut
pembagian hadis dari aspek kuantitas periwayat adalah sebagai berikut:[6]
a.
Hadis Mutawatir
Menurut al-Baghdadi, hadis mutawatir adalah suatu hadis yang
diriwayatkan oleh sekelompok orang dengan jumlah tertentu yang menurut
kebiasaan mustahil mendustakan kesaksiannya. Sedangkan
ulama yang paling jelas dan rinci menerangkan hadis mutawatir adalah
al-’Asqalani, menurutnya, hadis mutawatir adalah hadis yang diriwayatkan oleh
sejumlah orang yang mustahil, menurut kebiasaan, mereka melakukan kesepakatan
untuk berdusta dan merekalah yang meriwayatkan hadis itu dari awal sampai akhir
sanad. Jadi berdasarkan definisi di atas, terlihat
secara jelas bahwa proses mutawatir ada dan berjalan secara gradual dari
generasi ulama ke generasi ulama lainnya.
b.
Hadis Masyhur
Hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan dari Nabi oleh beberapa orang
sahabat tetapi tidak mencapai derajat mutawatir. Boleh jadi di tingkat tabi’in dan seterusnya pada generasi yang lebih muda,
hadis tersebut diriwayatkan secara mutawatir.
c.
Hadis Ahad
Hadis ahad adalah hadis yang diriwayatkan oleh satu, dua atau sedikit orang
yang tidak mencapai derajat masyhur, apalagi mutawatir.
B. Hadis Dilihat dari Aspek Kualitasnya (Maqbul
atau Mardud)
Seluruh jenis hadis dilihat dari segi
kualitasnya dibagi menjadi dua: (1) maqbul (dapat diterima sebagai
dalil) yang nantinya dikenal dengan sebutan shahih dan hasan. Dan
(2) mardud (tidak dapat diterima sebagai dalil) yang nantinya dikenal
dengan sebutan dla’if. Mulai abad III H, atau tepatnya pada masa
al-Tirmidziy, telah dikenal pembagian hadis antara shahih, hasan, dan
dla’if. Dengan begitu kategori hadits ini sudah muncul di kalangan Ahl
as-Sunnah wa al-Jama’ah sejak era ulama mutaqoddimun.
Berikut maksud hadis yang dimaksudkan di
atas:
a.
Hadis Shahih
Ulama hadis Sunni sepakat mengenai definisi hadis sahih yaitu hadis yang
sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh
orang-orang yang adil dan dhabit, serta tidak ada syadz (janggal)
dan tidak ada‘illat (cacat).
b.
Hadis Hasan
Hadis hasan adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh rawi
yang adil, yang rendah tingkat kekuatan hafalannya, tidak rancu dan tidak
bercacat
c.
Hadis Dla’if
Hadis dha’if adalah hadis yang tidak memenuhi persyaratan dari hadis sahih
di atas, misalnya, sanadnya ada yang terputus, di antara periwayat ada yang
pendusta atau tidak dikenal, dan
lain-lain.
1.3 Penulisan dan Pengumpulan (Tadwin) Hadis di kalangan Sunni
Hampir tidak ada kesepakatan di kalangan ulama sunnî mengenai
proses kodifikasi hadis. Sebagian mereka mengakui kodifikasi secara resmi baru
dimulai pada awal abad kedua Hijriyah atas ide dan prakarsa Khalifah Umar bin
Abd al-Aziz (99-101 H.) ketika ia memerintahkan Abu Bakr bin Muhammad bin Hazm
dan penduduk Madinah untuk menghimpun dan menuliskan hadis.[7]
Ibnu Hajar al-Asqalani (w. 852 H.) mengatakan bahwa al-Zuhri lah (w.124 H.)
orang pertama yang menyelesaikan tugas khalifah tersebut.[8]
Pendapat ini dipegangi pula oleh Imam malik.[9]
Para orentalis memandang masalah ini dengan pendapat yang
berbeda-beda. William Muir (Inggris) setuju dengan pendapat mayoritas sunnî dengan
argumentasi tidak ditemukannya peninggalan yang otentik dari kompilasi manapun
sebelum pertengahan abad kedua Hijriyah.[10]
Goldziher (orientalis terkemuka dari Hongaria, 1850-1921) juga berpendapat
bahwa pencatatan hadis baru dilakukan pada awal abad kedua Hijriyah. Meskipun
ia mengakui adanya shahifah yang ditulis pada masa Rasulullah saw. namun
pernyataan dan kebenaran informasi ini menurutnya banyak meragukan.[11]
Joseph Schahct mengatakan bahwa informasi penulisan hadis yang
dilakukan al-Zuhri adalah palsu, sebab hadis-hadis fikih baru muncul sesudah
Umar bin Abd al-Aziz.[12]
Kebenaran pendapat ini karena ia mengira bahwa kitab al-Muwaththa' Imam Malik
(93-179 H.) merupakan kitab hadis pertama. Tetapi harus dipahami bahwa kitab
tersebut hanya merupakan hadis pertama yang dibukukan berdasarkan metode
penyusunan kitab-kitab hukum.
Kronologi keterlambatan penulisan hadis di kalangan sunnî disebabkan
karena beberapa faktor. Menurut Ja'fariyan faktor-faktor tersebut yaitu; pertama,
karena sunnî meyakini betul adanya pelarangan penulisan hadis yang
bersumber dari Nabi saw. Pendapat ini berbeda dengan kaum syi'ah yang
mengabaikan pelarangan tersebut; Faktor kedua adalah karena tindakan
politis kedua khalifah yaitu Abu Bakr dan Umar bin Khaththab yang berinisiatif
sendiri melarang penulisan hadis dengan maksud mengekang kritikan dan
mengkonsolidasikan kekuasaannya lebih jauh.[13]
Alasan yang kedua ini menurut penulis masih perlu ditelusuri dan ditelaah lebih
lanjut tentang kebenarannya. Keterlambatan pembukuan hadis sampai seratus tahun
lebih menurut Muhammad Mustafa Azami[14]
dalam disertasi doktornya karena mereka hanya mengikuti pendapat yang telah
populer di kalangan sunnî seperti yang diungkapkan oleh Ibnu Hajar
al-Asqalani. Menurut al-Asqalani tidak dibukukannya hadis Nabi saw. pada masa
sahabat dan tabi'in besar karena tiga faktor. Pertama, mayoritas
mereka tidak dapat tulis-menulis; kedua, hafalan mereka sangat kuat
sehingga lebih mengandalkan hafalan; ketiga, semula karena adanya
larangan penulisan hadis yang diduga kuat bersumber dari nabi saw. –seperti
tersebut dalam kitab hadis shahih Muslim- karena kekhawatiran bercampur dengan
Al-Qur'an sekaligus menjadi alasan keterlambatan penulisan hadis.[15]
Ketiga alasan itu, dianalisa kembali oleh Azami sekaligus
dibantahnya dengan beberapa argumentasi. Pertama Azami menolak argumentasi
pertama karena sudah banyak shahabat yang pandai menulis. Bila hal ini kita
tolak, bagaimana al-Qur'an dapat ditulis? Apa maksud larangan penulisan hadis
bila para shahabat tidak pandai menulis? Disamping itu di temukannya informasi
tentang banyaknya sekretaris Nabi saw. dari kalangan sahabat yang mahir membaca
dan menulis. Alasan kedua, tentang kekuatan hafalan mereka, namun dalam sejarah
mereka aktif menulis syair-syair dan lain sebagainya. Penolakan alasan yang
ketiga bahwa ada tiga sahabat yaitu Sa'id al-Khudri, Abu Hurairah dan Zaid bin
Tsabit yang meriwayatkan pelarangan penulisan hadis. Di antara ketiga shahabat
ini hanya satu jalur sanad yang sahih yaitu Abu Sa'id al-Khudri melalui
jalur periwayatan Hamman bin Yahya. Hadis lainnya yaitu dari Zaid bin Tsabit
dan Abu Hurairah adalah dha'îf (lemah). Kualitas hadis itu lemah karena
riwayatnya melalui seorang periwayat yang bernama Abdurahman bin Zaid yang dikenal
dalam kalangan ahli hadis berstatus lemah. Hadis riwayat Zaid bin Sabit adalah mursal
karena salah seorang periwayatnya yang bernama al-Muthalin bin Abdullah
tidak belajar atau menerima langsung dari Zaid bin Aslam. Adapun hadis Abu
Sa'id di atas yang dianggap berkualitas shahih namun Bukhari menilainya hadis mawquf
karena merupakan pernyataan Abu Sa'id sendiri.[16]
Dari uaraian itu menurut Azami tidak ada satupun alasan yang konkrit untuk
melarang penulisan hadis.[17]
Nampaknya al-Azami cenderung kepada pendapat Imam Bukhari yang
mengatakan hadis itu mawquf, atau Imamiyah yang menolak hadis pelarangan
penulisan hadis. Namun bila status hadis itu marfu’ maka pelarangan itu
menurutnya lebih cenderung hanya bersifat sementara artinya pelarangan itu
berlaku pada saat penulisan hadis bersamaan dengan penulisan Al-Qur'an karena
khawatiran akan terjadi percampuran.[18]
Terlepas dari perbedaan yang telah dideskripsikan namun hampir sepakat
ulama sunnî bahwa orang yang pertama memikirkan pengumpulan pencatatan
sunnah dari kalangan tabi'in adalah Umar bin Abdul Aziz (dari bani
Umayah). Sejarah mencatat peristiwa ini ketika Umar mengirim Abu Bakr ibn Hazm,
yaitu menteri dan qadhinya ke Madinah[19]
dan berpesan; "Perhatikanlah apa dari hadis Rasulullah saw. kemudian
catatlah, karena aku khawatir akan hilangnya ilmu karena perginya (wafat) para
sarjana". Tugas suci inipun dilakukannya dan ia menulis untuk Umar hadis
yang ada pada 'Umrah bin Abdurahman al-Anshariyah (w. 98 H) dan al-Qasim bin Muhammad
bin Abi Bakr (w. 120 H). Intruksi ini bukan hanya pada Ibnu Hazm, Abu Naim
menceritakan dalam bukunya, Tarikh Isbahan, bahwa Umar menulis kepada
penduduk daerah, "Perhatikanlah hadis Rasulullah saw. dan kumpulkan".[20]
Usaha pengumpulan hadis yang dilakukan Ibnu Hazm belum maksimal, artinya ia
belum sempat menuliskan semua sunnah dan merekam secara tercatat cerita masa
lalu yang ada di Madinah. Pencatatan hadis selanjutnya disempurnakanlah oleh
Imam Muhammad ibn Muslim ibn Syihab al-Zuhri (w. 124 H) seorang ahli hadis yang
menonjol di zamannya dalam bidang sunnah. Umar bin Abdul Aziz telah mengutus
pembantunya untuk menemuinya. Al-Zuhri disebut-sebut oleh Muslim telah
mengetahui dan memiliki sembilan puluh hadis yang tidak dituturkan oleh orang selainnya.
Ulama hadis menilainya sekiranya bukan karena al-Zuhri, maka pasti banyak
sunnah yang hilang. Meskipun pada zamannya ada al-Hasan. Pencatatan yang
dilakukan al-Zuhri pun belum sempurna seperti pembukuan yang telah di lakukan
Bukhari, Muslim atau Ahmad dan sarjana hadis. Pencatatan itu baru sebatas
penulisan yang telah di dengar dari shahabat tanpa membaginya ke dalam bab-bab
tertentu. Pencatatan pada masa ini masih tercampur antara sabda Nabi saw.,
dengan ucapan para sahahabat, dan perkataan tabi'in.[21]
Al-Zuhri diakui oleh sunnî sebagai orang yang pertama meletakkan batu
pondasi dalam pembukuan sunnah pada saat sejumlah tabi'in masih alergi
dan benci penulisan sunnah (ilmu). Umumnya mereka menolak rencana pembukuan
sunnah dengan argumentasi akan melemahkan hafalan. Al-Zuhri termasuk menolak
usaha ini pada awalnya.[22]
Usaha pencatatan hadis berkembang pesat setelah generasi al-Zuhri. Pengumpul
hadis yang pertama di Makkah oleh Ibnu Juraij (w. 150 H) dan Ibnu Ishaq (w. 151
H), di Madinah oleh Sa'id bin Abi 'Urûbah (w. 156 H), al-Rabih ibn Shabiîh (w.
160 H), Imam Malik (w. 179 H), di Bashrah oleh Hammad bin Salamah (w. 176 H),
di Kufah oleh Sufyan al-Tsaurî (w. 161 H), di Suriah/Syam oleh Abu Amr al-Awzâi
(w. 156 H) di Wasith oleh Hasyim (w. 188 H), di Khurasan oleh Abdul malik ibn
Mubarak (w. 181 H), di Yaman oleh Ma'mar (w. 153 H) di Ray oleh Jarir bin Abdul
hamid (w. 188 H). Pencatatan hadis pun di lakukan oleh Sufyan bin 'Uyainah
(w.198 H) di Makkah, Laits bin Sa'ad (w. 175 H) di Mesir dan Syu'bah bin
al-Hajjaj (w. 160 H) di Bashrah/Irak.[23]
Pada abad ketiga, mulailah semarak pengkajian hadis dengan tampilnya
sarjana-sarjana hadis dengan karyanya yang agung. Penulisan pada masa ini dalam
sejarah sunnî dimulai dengan metode isnad yaitu mengumpulkan
dalam satu bab hadis-hadis yang diriwayatkan oleh shahabat meskipun hanya
berbagai pokok bahasan saja. Yang pertama merintis dan pelopor usaha ini yaitu
Abu Daud Ibn al-Jarad al-Thayalisi (w. 204 H) diikuti oleh Abdullah bin Musa
al-Absi al-Kufi, Musaddad al-Bashri, Asad bin Musa dan Na'im bin Muhammad
al-Khuzai. Imam Ahmad pun menulis kitab Musnadnya yang dikenal (Kitab
al-Muwaththa') dan Ishaq bin Rahawih dan Utsman bin Abi Syaibah dan lain-lain.
Metode yang mereka tempuh adalah menyusun secara terpisah hadis Nabi saw.
dengan ucapan shahabat dan fatwa para tabi'in. Kelemahan metode ini, karena
mereka masih mencampuradukkan yang otentik dengan lainnya, hadis shahih dan
lemah, pengulangan lafaz hadis yang diriwayatkan oleh banyak shahabat, sulitnya
mencari hadis-hadis yang membahas suatu permasalahan tertentu seperti hukum.
Adapun kelebihannya mudah mencari hadis bila pencari hadis mengetahui perawi 'alâ
(nama shahabat yang meriwayatkan hadis).[24]
Kondisi itulah yang mendorong para ahli hadis selanjutnya sekaligus
tantangan bagi mereka untuk menempuh metode baru dalam karyanya yaitu dengan
hanya membatasi kepada pencatatan hadis yang shahih saja menurut metodenya sendiri.
Usaha ini menurut sunnî dipelopori oleh Muhammad bin Ismail al-Bukhari
(w. 256 H) dengan di tulisnya kitabnya yang masyhur, al-Jâmi al-Shahîh.
Kemudian usaha ini diikuti oleh ahli hadis sezamannya dan muridnya yaitu Imam
Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairî (w. 261 H), dengan disusunnya kitab shahihnya
yang terkenal Shahîh Muslim. Metode penulisan yang dilakukan Muslim
sedikit berbeda dengan pendahulunya.
Karya kedua ulama sunnî ini diakui oleh sebagaian kaum Sunnî
sebagai karya yang sudah lolos sensor terutama Imam Bukhari, "Setiap
yang diriwayatkan dari Bukhari pasti telah melewati jembatan" Maksudnya kualitas
periwayatannya standar di atas syubhat dan ihtimâlat.[25]
Kedua ahli hadis sunnî itu berjasa dalam meratakan jalan di depan para
peneliti hadis untuk mengetahui mana hadis shahih dan dha'if tanpa
harus meneliti sendiri dan bertanya kepada tokoh Hadis. Secara umum keduanya
telah menghimpun hadis-hadis shahih dalam kitab al-Shahihain. Keshahihan
hadis yang mereka maksud bukan berarti tidak ada yang mengoreksi keshahihan. Dalam
perkembangan kajian hadis banyak ulama hadis sesudahnya mengkaji ulang dan
mengkritisinya.[26]
Menurut penulis nampaknya inilah salah satu yang menjadi perbedaan antara Sunnî
dengan Syi'î, di mana kaum Syi'ah Imamiyah tidak pernah mengklaim
satupun kitab hadisnya yang sudah lewat jembatan. Sebaliknya mereka membuka
peluang selebar-lebarnya untuk dikritisi.
Prakarsa dari kedua ulama hadis sunnî inilah menjadi
motivator ahli hadis sesudahnya dengan tersusunnya beberapa kitab hadis yang
ditulis oleh pakar hadis di antaranya; Abu Daud (w. 275 H), al-Nasa'i (303 H),
al-Turmudzi (w. 279 H), Ibnu Madjah (w. 273 H). Setelah priode ini berakhir, para
ahli hadis pada abad keempat tidak terlalu banyak kontribusinya terhadap
perkembangan hadis, mereka hanya menambah sedikit yang mereka temukan. Kegiatan
mereka sekedar menghimpun apa yang telah dikumpulkan oleh pendahulunya, dengan
bersandar kepada metode kritik yang telah ada pada mereka dan memperbanyak
saluran hadis. Para pemuka yang terkenal abad ini ialah Imam Sulaiman bin Ahmad
al-Tabrani (w, 360 H) yang meyusun tiga buah Mu'jam yang berisikan nama
shahabat di susun berdasarkan abjad dan memuat duapuluh ribu limaratus
limapuluh hadis dan disusun pula nama-nama gurunya berdasarkan abjad. Termasuk
tokoh abad ini ialah al-Daraquthni (w. 385 H), Ibnu Hibban al- Busthi (w. 354
H), Ibnu Khuzaimah (w. 311 H) dan al-Thahawi (w. 321 H).[27]
Kemudian bagi ulama priode berikutnya hanya melakukan enovasi dan sedikit
penemuanpenemuan baru yang dipelopori di antaranya al-Hakim (w. 405 H),
al-Baihaqi (w. 458 H) dan terakhir oleh al-Bagawi (w. 505 H).
Berakhirnya priode tersebut, maka selesailah menurut Sunnî pembukuan
sunnah, pengumpulan dan pemisahannya, yaitu mana hadis yang shahih dari
yang lainnya. Bagi ulama hadis pada abad-abad selanjutnya tidak ada yang
tersisah kecuali beberapa penemuan baru dan para ulama pun menerima sebagian
dari penemuan itu dan menolak sebagian lainnya.
1.4 Adalat
al-shahabah di kalangan Sunni
A.
Shahabat
dalam Terminologi Sunni
Jumhur ulama sunnî mendefinisikan shahabat dari aspek
terminologi sebagai orang yang melihat Rasulullah saw., beragama Islam walaupun
tidak lama berinteraksi dengannya dan belum meriwayatkan satu hadis. Perluasan
makna menurut kaum sunnî sampai kepada yang melihat merupakan suatu
upaya menunjukkan betapa mulia kedudukan Nabi saw.[28]
Banyak dari kalangan ulama sunnî mutaqaddiîin dan mutakhirîn yang
mendefinisikan shahabat secara terminologi. Ulama mutaqaddimîn diwakili
di antaranya Said bin Musayyib (w. th 93 H), Ahmad bin Hanbal, Ibnu Katsir dan
Bukhari. Sementara ulama mutakhirîn diwakili oleh Ibnu Shalah,
al-Sakhawi dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani (773-852 H.). Said bin Musayyib seorang
ulama hadis sunnî memberi batasan bahwa tidak dianggap shahabat kecuali
orang yang berinteraksi dengan Nabi saw. satu atau dua tahun atau berperang
bersamanya satu hingga dua kali peperangan.[29]
Menurut Ibnu Hajar al- ‘Asqalani "Shahabat adalah orang yang pernah
bertemu dengan Nabi saw. beriman dan hidup bersama beliau baik lama maupun
sebentar. Meriwayatkan hadis darinya maupun tidak. Termasuk orang yang pernah
melihatnya walaupun sebentar atau pernah bertemu namun tidak melihat Nabi saw.
karena buta."[30]
Shahabat menurut sebagian ahli ushul sunnî ialah orang yang
pernah bertemu dengan Nabi saw., beriman kepadanya dan menyertai kehidupan Nabi
saw. dalam rentang waktu yang panjang, meriwayatkan atau tidak dan mati dalam
keadaan muslim.[31] Ulama
lainnya menambah persyaratan untuk disebut shahabat dalam hubungannya dengan syara'
yaitu pada dirinya terdapat bakat atau bawaan (malakah) dalam bidang fiqh,
sehingga tidak semua orang yang menyertai kehidupan Nabi disebut shahabî. Yang
lain mengatakan bahwa "shahabat adalah seorang yang bertemu dengan
Rasulullah saw. dan beriman kepadanya serta ikut dan hidup bersamanya dalam
waktu yang panjang. Dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai
hubungan khusus dengan Rasulullah saw. sehingga secara adat disebut
shahabat". Namun ada yang mempersingkat identitas shahabat yaitu
"orang-orang yang bertemu dan beriman kepada Nabi Muhammad saw. serta
hidup bersamanya dalam waktu yang cukup lama".[32]
Tidak dikatakan al-shahâbî secara 'uruf (adat)
kecuali orang yang telah lama melakukan pershahabatan dan banyak bergaul dengan
Nabi saw.[33]
Al-Raghib al-Isfahani seorang pakar tafsir mengatakan bahwa tidak disebut
shahabat dalam adat kecuali setelah berinteraksi dalam rentang waktu yang
panjang.[34]
Pendapat ini dianut pula oleh Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (w. 505 H.)
dalam kitab al-Mustashfâ. Termasuk Ibnu Atsir (w. 620 H.) dalam kitab Jami'
al-Ushûl dan al-Amidi (w. 621 H.) dan kitab al-Ihkâm.
Dari uraian di atas dapat difahami bahwa ahli hadis dan ushul sunnî
sekalipun berbeda namun mereka sepakat bahwa tidak dikatakan shahabat selain
orang-orang yang bertemu, beriman kepada Nabi dan mati dalam keadan Islam.
Menurut uruf (adat) tidak disebut shuhbah sebelum terjadi pershahabatan
secara lama dan berinteraksi dengannya tanpa terbatasi oleh rentang waktu.
Perluasan makna dan perbedaan dalam mendefiniskan shahabat menurut kaum sunnî
merupakan suatu upaya menunjukkan betapa mulianya kedudukan Nabi saw.
B.
‘Adalah
Shahabat
Mayoritas ulama sunnî, bahkan hampir seluruhnya baik salaf
maupun khalaf menilai para shahabat Nabi saw. 'udûl (bersifat
adil) tanpa terkecuali. Ulama salaf diwakili oleh Abu Zur'ah al-Razi
(wafat 264) H., dan ulama khalaf diwakili di antaranya Ibn 'Abdil Barr,
Ibnu Atsir, Ibnu Hajar, Ibnu Katsir (w. 774 H.), al-Razî (w. 606 H.) dan
al-Khatib. Abu Zur'ah al-Razi menutup secara ketat untuk mengkritisi shahabat.
Ia berkata; "Siapa yang mengeritik shahabat Nabi saw. yang mengakibatkan
menurunnya kehormatan dirinya, maka orang itu termasuk zindiq. Dia telah
menentang penghormatan Allah dan Rasul-Nya yang telah diberikan kepada para shahabat
Nabi saw."[35]
Ibn 'Abdil Barr berkata; "Kami menetapkan bahwa kedudukan mereka
seluruhnya adalah baik".[36]
Ibnu Atsir mengungkapkan bahwa;
"sunah-sunah
Nabi saw. adalah sumber syariat Islam, halal dan haram, dan termasuk segala
persoalan agama. Ke-shahih-an hadis dan qath'inya dapat diketahui
setelah dianalisa rijal sanad-sanad dan periwayatperiwayatnya. Para
shahabat menempati posisi tertinggi dalam sanad dan periwayat. Orang
yang tidak mengenal shahabat, pasti mereka tidak akan dikenal, akan ditinggal dan
diingkari. …Shahabat mempunyai kesamaan dengan periwayat-periwayat lainnya
kecuali satu hal yaitu para shahabat Nabi saw. tidak berlaku jarh dan ta'dil
karena mereka 'udul, tidak tercela. Allah swt. menetapkan mereka
sebagai orang bersih dan orang baik. Pendapat ini sudah masyhur (ahlu sunnah)
tanpa argumen lagi."[37]
Ibnu Hajar dan al-Khatib mengaminkan pendapat ini, yang intinya bahwa
al-shahhâb kulluhum 'udûl.[38]
Al-Amidi seorang ulama fuqaha sunnî bersikap realistik. Ia
mengatakan bahwa keadilan shahabat bukan ijma ulama tetapi merupakan
kesepakatan atau pendapat mayoritas ulama.[39]
Maksud semua shahabat adil menurut ulama hadis, fuqaha dan
ushul sunnî, adalah mereka mustahil melakukan kebohongan dengan sengaja
atas nama Nabi saw. karena kuatnya iman, takwa, muru'ah (tingginya
nilai-nilai akhlaknya), dan frekuensi perhatian mereka terhadap masalah ini
sangat tinggi. Adil dalam hal ini bukan ma'shûm (suci) dari maksiat,
lupa, atau keliru, tetapi ucapan dan pendapat mereka pasti berdasarkan sanad
dan dalil.[40]
C.
Dalil-dalil
kalangan Sunni mengenai ‘Adalah Shahabat
Dalam penetapan keadilan shahabat, ulama sunnî berargumen
bahwa pridikat keadilan itu bukan berdasarkan hasil ijtihad fardi (individu)
dan penelitian terhadap para pribadi shahabat Nabi saw. akan tetapi berdasarkan
teks-teks al-Qur'an dan hadis serta ijma' (konsensus) ulama sunnî,
antara lain:
1.
Firman
Allah dalam surat al-Baqarah :143 yang berbunyi :
Nabi Muhammad saw. telah menafsirkan pengertian ayat tersebut. Kata
وسطاً (wasath) pada ayat itu beliau artikan dengan عدلا (adil).[41]
Menurut ulama sunnî, mukhâtab (yang diajak
berbicara) pada nash ayat ini secara langsung adalah
shahabat. Kata wasath pada nash ini menjadi petunjuk bahwa seluruh
shahabat Nabi saw. adalah adil.[42]
2.
Firman
Allah dalam surat Ali Imran :110 yang berbunyi:
Mayoritas ulama sunnî berpendapat, bahwa kata كنتم خير أمة yang digunakan ayat di
atas adalah kata kerja yang sempurna (kâna tâmmah) yang berarti kamu (umat)
wujud dalam keadaan sebaik-baik umat dan sebagian lainnya mengartikan kata
kerja yang tidak sempurna. Konsekuwensinya sebagai umat ideal maka pendahulu
umat ini secara otomatis menjadi terbaik dari sesudahnya. Kata كنتم خير أمة pada nash di
atas didukung hadis Nabi saw. menjadi petunjuk oleh ulama sunnî bahwa
siapa yang ber-shuhbah dengan Nabi saw. atau pernah melihatnya walaupun
hanya sekali dalam hidupnya dengan beriman kepadanya, maka ia lebih baik
daripada orang sesudahnya yang tidak melihatnya.[43]
3.
Firman
Allah swt. dalam surat al-Fath (48) :18 yang berbunyi:
Ulama sunnî sepakat bahwa ayat ini merupakan pernyataan
kerelaan Allah swt. kepada orang-orang yang beriman yang telah melakukan sumpah
setia di bawah sebatang pohon. Kata لقد
رضي الله (sungguh Allah ridha) pada nash ini
menjadi petunjuk keadilan mereka karena mustahil mereka dipuji oleh Allah tanpa
memiliki sifat adil.[44]
Sumpah itu dikenal dengan nama Bay'at al–Ridhwan, terjadi di Hudaybiyah,
menjelang perdamaian Hudaybiyah. Umat Islam (shahabat) yang hadir pada masa itu
sekitar seribu empatratus atau seribu lima ratus orang. Mereka menyatakan
sumpah setia kepada Nabi saw. dan tidak akan meninggalkan Hudaybiyah untuk menghadapi
serangan orang-orang musyrik Quraisy Mekkah. Dalam ayat itu Allah swt.
menjanjikan kemenangan kepada umat Islam pada waktu yang dekat.[45]
Maka, ayat di atas merupakan salah satu bukti bahwa para shahabat Nabi saw.
diberikan keutamaan khusus oleh Allah swt. yaitu keadilan.
4.
Firman
Allah swt. dalam surat al-Fath (48) : 29 yang berbunyi:
Menurut ulama sunnî, kata والذين
معه sebagai petunjuk adilnya para shahabat
Nabi saw.. Ayat ini menjadi argumen Imam Malik mengkafirkan kelompok Rafidhah
yang membenci shahabat. Menurutnya orang Rafidhah telah membenci shahabat
sementara para pencerca shahabat adalah kafir berdasarkan ayat ini.[46]
Ibnu Katsir menegaskan bahwa pendapat ini merupakan kesepakatan para ulama atau
sekelompok Ulama sunni saja. Berdasarkan realita mereka hanya
dikategorikan sebagai orang-orang fasik. Perselisihan dan pembunuhan yang telah
terjadi di antara shahabat menurut sunni merupakan darah-darah yang
telah disucikan Allah swt. dari tangantangan kita, maka tidak pantas
mengotorinya dengan lidah-lidah kita. Peristiwa tersebut ibaratnya seperti
peristiwa antara Yusuf dengan Zulaikha.[47]
Dalil-dalil naqli dari al-Qur'an yang disebutkan di atas
secara sharih menjadi dalil umum oleh ulama sunnî untuk
melegitimasi keadilan setiap shahabat tanpa harus menginterprestasikanya.[48]
Dalam memperkuat agrumentasi sunnî, tentang keadilan setiap
shahabat disamping dengan dalil-dalil al-Qur'an, juga di dukung oleh
beberapa riwayat-riwayat yang diyakini bersumber dari Nabi saw. Di antaranya;
1.
Berdasarkan
hadis Nabi saw. yang diriwayatakan oleh Bukhari Muslim:
لا تسبوا اصحابي
فو الذي نفسي
بيده لو ان
احدكم انفق مثل
احد ذهبا ما
بلغ مد احدهم
ولا نصيفه
"Janganlah
kalian mencaci maki sahabatku. Sekiranya di antara kalian bersedekah emas
sebesar bukit uhud, niscaya (sedekahmu itu) tidak akan sampai menyamai secupak
ataupun separuh cupak dari para sahabtku itu" (Hadis ini melalui jalur
periwayatan Bukhari, Muslim, Abu Daud, Al-Turmudzî dan Ahmad dari Abî Said
Al-Khudrî).
Kata لا تسبوا أصحابي sebagai petunjuk sharîh tentang tidak bolehnya men-jarah
(mencela) salah satu shahabat Nabi saw.. Pelarangan ini sebagai bukti
pengakuan Nabi saw. tentang keutamaan dan keadilan para shahabat.
2.
Hadis
Nabi saw. yang berbunyi
خير الناس
قرني ثم الذين
يالونلهم ثم الذين
يالونلهم
"Sebaik-baik
kamu sekalian (umat islam) adalah generasiku, kemudian generasi berikutnya dan
generasi berikutnya lagi" (Hadis ini melalui jalur periwayatan al-Bukharî,
Muslim, Abu Daud, al-Turmudzî, Ibnu Majah, dan Ahmad, di antara melalui jalur
periwayatan dari 'Abdullah bin Mas'ud, Imran bin Husayn, Umar bin Khattab, Abu
Hurairah, Anas bin Malik dan segian dari shahabat yang lain).
Hadis ini menginformasikan, bahwa generasi umat Islam yang terbaik
ialah generasi Nabi saw., kemudian generasi berikutnya dan kemudian generasi
berikutnya lagi. Shahabat menjadi generasi terbaiknya umat ini karena mereka
telah ber-shuhbah dan melihat langsung Nabi saw. serta mengorbankan
diri, harta, tenaga bahkan darah sekalipun untuk tegaknya kebenaran. Kata خير الناس قرني menjadi petunjuk keadilan para shahabat Nabi saw.
1.5 Penggunaan Hadis sebagai Hujjsah di kalangan
Sunni
Keluasan makna sunnah serta
didukung dalil-dali sya'ri, maka mazhab sunnî berpendapat bahwa sumber
otoritatif setelah Al-Qur’an adalah al-sunnah. Argumentasi ini diperkuat
sunnî dengan sabda Nabi saw.
اني قد تركت
فيكم أن اعتصمتم به فلن تضلوا أبداً كتاب الله وسنة نبيه
Abu Bakar bin Ishaq al-Faqih telah menceritakan kami, Al-Abbas bin
al-Fadhl memberitahukan al-Ashfathî, kami bersama Ismail bin Abi Uwais (akhbaranî)
Ismail bin Muhammad bin al-Fadhl al-Sya'ranî, Tsannâ kakekku Tsannâ Ibn Abi Uwais telah diceritakan aku oleh Bapakku dari Tsaur bin
Zaid al-Daylî dari Ikrimah dari Ibn Abbas Rasul saw bersabda: "Sesungguhnya
aku telah meninggalkan pada kamu sekalian (dua perkara), sekiranya kamu
sekalian berpegang teguh dengannya maka kamu tidak akan sesat selama-lamanya
yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya" (HR al-Hakim).
Diantara sekian sanad yang ditemukan, menurut ulama hadis sunnî
hanya hadis jalur Ibnu Abbas (w. 68). yang mukharij-nya al-Hakim
(w.405 H) dianggap representatif seperti bunyi teks tersebut di atas. Sepanjang
pengamatan penulis riwayat ini tidak ditemukan dalam "kutub sitta".
Hadis ini hanya melalui dua jalur shahabat yaitu jalur Ibnu Abbas (w. 68 H)
sebanyak 4 hadis dan Abu Hurairah (w. 57-9 H) sebanyak tiga hadis.
Sunni hanya membatasi pada segala sesuatu yang
bersumber dari Nabi s.a.w. sebagai hadis dan sumber kehujjahan agama.
Karenanya, Sunni sama sekali tidak mengakomodasi hadis-hadis yang
ketersambungan sanadnya tidak sampai kepada Nabi s.a.w. Adapun riwayat-riwayat
yang berasal sahabat disebut hadis mauquf dan riwayat-riwayat dari
tabi'in disebut hadis maqtu', keduanya tidak dapat dijadikan hujjah.
Perbedaan ini berimplikasi kepada banyaknya materi hadis yang bisa dijadikan
hujjah.
Di samping itu, perbedaan yang juga tidak kalah pentingnya antara Syi'ah
dan Sunni adalah Syi'ah masih mengakomodasi para periwayat lain di luar para
Imam, sekalipun derajat hadis dari jalur ini berbeda dengan derajat hadis dari
jalur Imam mereka. Sedangkan Sunni (dalam hal ini al-Bukhari), tidak satu pun
mengutip riwayat-riwayat yang mengkhabarkan tentang kekhalifahan Ali bin Abi
Talib atau menjelaskan keutamaan-keutamaannya, dan riwayat hidup putra-putranya
yang diberkahi yang tidak lain adalah keluarga Rasulullah s.a.w.
1.6
Literatur Utama Hadis Sunni: Shahih Bukhariy
A.
Shahih Bukhariy dan Sunni
Keseriusan Imam Bukhari menghimpun dan menyeleksi hadis yang
dituangkan dalam kitab shahihnya tidak diragukan. Karya Imam Bukhari ini diakui
oleh kaum sunnî sebagai hadis yang paling tershahih di antara kitabkitab
hadis shahih yang ada. Keunggulanan karya Imam Bukhari dari karya ulama-ulama
hadis lainnya menjadikan kitab hadisnya sebagai kitab hadis yang menempati
posisi teratas dari kitab-kitab hadis lainnya sekalipun sekelompok kecil sunnî
mendahulukan kitab Shahih Muslim. Kitab ini ditulis oleh Imam Bukhari
sebagai karya monumental yang sangat berharga di bidang hadis sunnî.
Kitab ini menghimpun hadis-hadis shahih yang berjudul al-Jâmi' al-Shahîh
al-Musnad al-Mukhtashar min Umûri Rasulillah saw, wa sunanih wa Ayyâmih yang
lebih dikenal Shahih Bukhari. Signifikansi kitab hadis ini terlihat
banyaknya ulama hadis memberikan perhatian serius baik kelompok sunnî maupun
dari kelompok syî'î tentang hadis yang terdapat di dalamnya. Sekitar
80-an lebih karya susulan yang lahir untuk men-syarah kitab ini di
antaranya –yang terkenal- Fath al-Bârî karya Ibnu Hajar al-Asqalani (852
H), 'Umdat al-Qârî oleh al-'Aini (855 H), Irsyad al-Târî oleh
Ahmat al-Qasthalâni (923 H), dan lain-lain.[49]
Shahih Bukhari ditulis oleh orang yang terkemuka di bidang hadis sunnî.
Di kalangan pemerhati hadis sunnî nama penulisnya tidak asing lagi
bahkan di kalangan komunitas syî'î pun sangat dikenal. Nama lengkapnya
Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju'fi
al-Bukhari, atau Abu Abdillah al-Bukhari, lahir di Bukhara tahun 194 H. Beliau
wafat di desa Khartank, Samarkand pada tahun 256 H. dalam usia 62 tahun.[50]
Ibnu Hajar seorang pakar hadis sunnî mengatakan bahwa
seluruh hadis yang terdapat dalam shahih Bukhari yang matan-nya
bersambung tanpa pengulangan redaksi hanya berjumlah 1602. Sementara hadis yang
matan-nya mu'allaq dan marfu' namun sanad-nya tidak
di-istishal-kan di tempat lain sebanyak 159 hadis sehingga jumlah
keseluruhan hanya 1761 hadis. Menurut al-Hasani sebanyak 7397. Jumlah hadis itu
akan lebih banyak menurut al-Hasani bila hadis-hadis mu'allaq dan mutaba'at
digabungkan, maka jumlah secara keseluruhannya sebanyak 9072. Hadis itu,
akan berkurang menjadi 2762 bila hadis-hadis tersebut dikeluarkan hadis-hadis
yang berulang-ulang dan dihitung hanya hadis muttashil sanad-nya sampai
kepada Rasulullah saw.[51]
Imam Bukhari telah meriwayatkan hadis melalui periwayatan
shahabat-shahabat Nabi saw. Di antara shahabat tersebut yaitu dari Marwan bin
Hakam, Abu Sufyan, Mu'awiyah, Amr bin 'Ash, Mughirah bin Syu'bah, Abdullah bin
Amr bin 'Ash, Nu'man bin Basyir al-Anshari. Hadis yang paling banyak
diriwayatkan oleh Bukhari ialah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah sebanyak
446 hadis, Abdullah bin Abbas sebanyak 217 hadis, - kabanyak hadisnya melalui
jalur periwayatan Ikrimah yang tertuduh sebagai pengikut Khawarij, Aisyah
sebanyak 242 hadis, Mu'awiyah sebanyak 50 hadis, Umar bin Khattab, Abdullah bin
Umar sebanyak 270 hadis, Abdullah bin Amr bin Ash, Ali hanya 29 hadis, Abu Musa
al-Asy'ari sebanyak 57 hadis, Mughirah bin Syu'bah sebanyak 8 hadis, Nu'man bin
Basyir sebanyak 6 hadis, Miqdad bin Aswad sebanyak satu hadis, Ammar bin Yasir
dan Salaman hanya 4 hadis, Fatimah al-Zahrah hanya satu hadis, dan sama sekali
tidak meriwayatkan hadis dari Hasan dan Husen yang digelar sebagai syabab
ahlu jannah (pemudah ahli surga) oleh Nabi saw.[52]
B.
Komentar
Ahli Hadis tentang Bukhari dan Kitab Shahihnya
Banyaknya komentar positif tentang Imam Bukhari dan kitab shahihnya,
menunjukkan keunggulannya dalam bidang hadis di kalangan kaum sunnî.
Dengan berbagai keunggulan yang dimiliki Imam Bukhari, cukup bagi penulis untuk
menginformasikan penilaian para ulama hadis yang memberikan gelar dan
penghargaan tertinggi di bidang hadis dengan gelar Amir al-Mukminîn fî
al-Hadîts.[53]
Kaum sunnî pun menempatkan karya al-Jâmi' al-Shahih-nya yang
paling shahih di antara kitab-kitab hadis yang ada setelah Al-Qur'an.[54]
C.
Kritik
kepada Imam Bukhari dan Kitab Shahihnya
Eksistensi Imam Bukhari dan kitab Shahihnya tidak lepas dari
kritikan. Kritik pertama datang dari eksternal (luar kelompok Islam) yaitu
kelompok orientalis di antaranya dilontarkan oleh Ignaz Goldziher (1850-1921
M). dan Maurice Bucaille.[55]
Goldziher memandang struktur kitab hadis (al-Jâmi' al-Shahîb termasuk Shahih
Bukhari) bukan merupakan hadis-hadis yang murni.[56]
Kedua kritik dari internal kelompok Islam baik sunnî lebih lebih kaum Syi'î.
Kritik sunnî terhadap Imam Bukhari dan kitab shahihnya di antaranya
diwakili oleh Muhammad Amin[57]
dan al-Daraquthni, dan Ibnu Mubarrad (w. 909 H).[58]
Keseriusan al-Daraquthni dalam mengkritik Bukhari dengan menulis kitab al-Tatabbu'.
Sekitar 200 hadis yang dia kritik di dalam shahih Bukhari.[59]
Kritik yang paling tajam muncul dari kelompok syî'î. Ulama
hadis Syî'î banyak mengeritik Imam Bukhari dan kitabnya. Di antaranya
mereka menganggap bahwa Imam Bukhari tidak proporsional dalam menerima
periwayat hadis dari kalangan shahabat. Data otentik membuktikan bahwa Imam
Bukhari sangat sedikit meriwayatkan hadis dari keluarga Nabi saw. terutama
kepada al-Hasan cucu Nabi saw. dan Ja'far al-Shadiq padahal ia hidup semasa
Imam Bukhari.[60]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dalam pandangan
Sunni, yang dimaksud dengan hadis ialah segala sabda, perbuatan, taqrir,
dan hal-ihwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Hadis dalam pengertian
ini oleh ulama hadis disinonimkan dengan istilah al-sunnah. Dengan
demikian, menurut umumnya jumhur ulama hadis, bentuk-bentuk hadis atau al-sunnah
ialah segala berita berkenaan dengan; sabda, perbuatan, taqrir, dan
hal-ihwal Nabi Muhammad saw. Klasifikasi hadis dilihat dari kuantitas rawinya,
hadis menurut pandangan Sunni terbagi menjadi tiga, yaitu mutawatir, masyhur
dan ahad. Sedangkan secara kualitasnya terbagi atas tiga, yaitu hadis shahih,
hasan, dan dlo’if.
Perjalanan historis kompilasi dan kodifikasi (tadwin) hadis,
khususnya di kalangan Sunni mencapai puncaknya pada periode atba’ atba’
al-tabi’in. hal itu ditandai dengan munculnya enam kitab hadis utama yang
dikenal dengan al-Kutub al-Sittah, yakni Shahih al-Bukhariy (w.
256 H), Shahih muslim (w. 261 H), Sunan Abi Dawud (w. 275 H), Jami’
al-Tirmidziy (w. 279 H), Sunan al-Nasa’iy (w. 303 H), Sunan Ibn
Majah (w. 273 H). Selain itu, masih ada kitab-kitab hadis lainnya, seperti Musnad
Ahmad ibn Hanbal (w. 241 H), Musnad ‘Abd ibn Humaid (w. 249 H), Musnad
Ishaq ibn Rahawaih (w. 237 H), Musnad al-Harits ibn Muhammad (w. 282
H), Musnad Ahmad ibn ‘Amr al-Bazar (w. 292 H), Mushannaf Ibn Abi
Syaibah (w. 235 H), dan Sunan al-Darimiy (w. 255 H).
Daftar Pustaka
Abdul Aziz bin Abdurahman al-Said. 1408. Ibnu Qudamah wa
Atsaruhu al-Ushuliyah. cet. IV. Riyadh: Univ. Ibnu Sa'ud
Abu Syhbah. Fî al-Rihab al-Sunnah al-kutub al-Shihahi al-Sittah terjemahan
Ahmad Usman. Surabaya: Pustaka Progressif
‘Ajjaj al-Khâtib. 1975. Ushûl al-Hadîts ‘Ulumuhâ wa
Mushthalahuhâ. Beirut: Dâr al-Fikr
Abdurahman bin Abu Bkr al-Syuthi. 1380. Tadrîb al-Rawî, fî Syarh
Taqrîb al-Nawawi. Beirut: Dar al-Fikr
Al-Amidî. 1402. Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm. jilid 2, cet.
II. Beirut: Al-Maktab al-Islamiyah
Abu Ya'lâ Muhammad bin Husain al-Hanbalî. 1410. al-Uddatu fî
Ushûl al-Fiqh, jilid 3. cet. II
Abu al-Qasim al-Husainî bin Muhammad al-Raghib Al-Isfahani 1382. Al-Mufradât
fî gharîb al-Qur'ân. Mesir: Musthafa al-Babî al-Halabî wa awladuh
Ahmad Mushthafa al-Maraghi. Tafsîr al-Marâghi. jilid II.
Beirut: Dar al-Fikr
Abil 'Abbas Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Qasthalanî. Irsyad
al-Sari ilâ Shahih al-Bukhari. jilid I: Bairut: Darul Fikr
Ali Musatafa Ya'qub. 1996. Imam Bukhari dan Metodologi Kritik
dalam Ilmu Hadis, cet. III. Jakarta: Pustaka Firdaus
Abu Hasan Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdi al-Daraquthnî. 1985. al-Iltizâmât
wa al-Tatabbu'. Beirut: Darul Kutub al-Ilmiyah
al-Khatib, M. Ajaj. 1989. Usul al-Hadis
‘Ulumuhu wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Fikr
al-Salus, Ali Ahmad. 1997. Ensiklopedi
Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &Fiqih. Jakarta: Pustaka
al-Kausar
al-Baghdadi, Abu Bakar ibn Ahmad ibn
Sabit al-Khatib. T.t. al-Kifayah fi ‘ilm al-Riwayah. Kairo: Dar al-Kutub
al-Hadisah
al-Siba’i, Mustafa. 1991. Sunah dan
Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam; Sebuah Pembelaan Kaum Sunni, Terj.
Nurcholis Madjid. Jakarta: Pustaka Firdaus
Azami, Muhammad Mustafa. 1999. Hadis Nabawi
dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Mustafa Ya’qub. Jakarta: Pustaka Firdaus
al-Harabi, Mamduh. 2009. Mujmalu ‘Aqaidi al-Syi’ah fi Mizani Ahli
al-Sunnah wa al-Jama’ah. al-Jizah: Imraniyyah lil Aufasat
al-Zahraniy, Muhammad ibn Mathar. 1412 H. Tadwin
al-Sunnat al-Nabawiyyah. Tha’if: Maktabat al-Shadiq
Wahyuni sifatur rahmah. 2006. Epistimologi hadis dalam pandangan
Sunni dan Syiah. Yogyakarta: Junal Studi Ilmu-ilmu al-Qur’an dan Hadis
Ibrahim Unais, al-Mu’jam al-Wasîth cet.
II/tp./.,/t.tp./.,juz I,/t.th./.,h.159-160
Muhammad Subhi Shâlih. 1989. ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu.
Beirut: Dâr al-‘Ilm al-Malâyîn
M.M. Azami, 1994. Hadis nabi dan Sejarah Kodifikasinya,
terjemah Mustafa Ya'kub. Jakarta: Pustaka Firdaus
G.H.A. Juynboll. 1967. Muslim Tradition Studies in Chronologi,
Provenance and Authorship of early Hadith. Cambridge: Cambridge University
Press
Al-Khatib al-Baghadadi. 1313. al-Kifâyah fî al-'Ilmi al-Dirâyah.
Haydarabat: Dâirah al-Ma'ârif al-Islamiyah
Makki al-Syami. 1999. al-Sunnah al-Nabawiyah wa Math'inu
al-Mubtadi'ah fiha. Amman: Dâr 'Imâr
Muhammad Zuhri. 1997. Hadis Nabi: Tela'ah Histori dan
Metodologi. Yogyakarta: PT Tiara Wacana
Mustafa al-Siba'i. al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyri'
al-Islâmi. penerjemah: Nurchalish Madjid. 1991. cet. I. Sunnah dan
Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus
Muhammad Mubarak al-Sayyid. 1988. cet. Ke II. Manhaj
al-Muhadditsîn. Kairo
Muhammad Nashiruddin al-Albani. 1422. cet I. al-Raudh al-Dânî fî
al-Fawaid al-Hadîtsiyah. Amman: al-Maktabah al-Islamiyah
Mahmud al-Thahan. 1979. Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsatu al-Asânîd.
Beirut: Dârul al-Qur'an al-Karîm
Ibnu Said al-Thufi. 1410. Syarh Mukhtashar al-Raudhah. cet.
I. jilid II. Beirut: Muassasah al-Risalah
Ignaz Goldziher. 1971. Muslim Studien. jilid II. London:
George Allen & Unwin
Ibnu Shalah. 1398. Muqaddimah Ibnu Shalah. Beirut: Darul
al-Kutub al-Ilmiyah
Ibnu Hajar al-Asqalani. 1978. al-Ishabah fî Tamyiz al-Shahabah.
Beirut: Dar al-Fikr
--------------.
1325. Tahdzîb al-Tahdzîb. India: Majlis Da’irat al-ma’arif
al-Nizhammiyah
--------------. Fathu al-Bari.
juz I. Mesir: Matha’ah al-Halabi
--------------. 1404. Nuzhatu al-Nadzhar. Madinah: Maktabah Thayibah
Utsman bin Umar bin al-Hajib. 1403. Mukhtashâr al-Muntahâ
al-Ushûlî. jilid 2, cet. II. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah
Muhibullah bin Abdul Syakur. 1983. Musallam al-Tsubût fî Ushûl
al-Fiqh. jilid II. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah
Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah. 1989. Difa' an al-Sunnah.
cet. I. Kairo: Maktabah al-Sunnah
Nuruddin Itr. 1997. Manhaj Maqd fî 'Ulûm al-Hadîts. cet. III.
Dimasyq: Dar al-Fikr
Wahbah Zuhaili. 1991. al-Tafsîr al-Munîr fi al-aqîdah, wa
al-Syari'ah, wa al-Manhaj, cet. I. jilid 4.. Beirut: Darul Fikr
al-Zahabî. 1990. Syi'ar 'Alâm al-Nubalâ. cet. 7. jilid 12.
Beirut, Muassasah al-Risalah
Muhammad Najmi. 1988. Ta'ammulât fî al-Shahihain. Beirut:
Darul Ulum M), hal. 71
MM. Azami, Studies in Early Hadith Literature,
Zahra’, Muhammad Abu. T.t. al-Imam al-Sadiq Hayatuhu wa ‘Asruhu wa Fiqhuhu.
Beirut: Dar al-Fikr
[1] Ibrahim Unais,
al-Mu’jam al-Wasîth cet. II/tp./.,/t.tp./.,juz I,/t.th./.,h.159-160
[2] Muhammad Subhi Shâlih, ‘Ulûm al-Hadîts wa Mushthalahuhu,
(Beirut, Dâr al-‘Ilm al-Malâyîn, thn. 1989), hal. 4-5
[3] ‘Ajjaj al-Khâtib, Ushûl al-Hadîts ‘Ulumuhâ wa Mushthalahuhâ,
(Beirut Dâr al-Fikr, thn. 1975), hal 26
[4] Lihat,
al-Khatib, Ushûl al-Hadîts, hal. 28
[5] Lihat Abdurahman bin Abu Bkr al-Syuthi, Tadrîb al-Rawî, fî
Syarh Taqrîb al-Nawawi, (Beirut: Dar al-Fikr, thn. 1380 H.), juz I, hal. 42
dan Ibnu Hajar al-Asqalani, Nuzhatu al-Nadzhar, (Madinah: Maktabah
Thayibah thn 1404 H), hal. 18
[6] al-Khatib, M. Ajaj. 1989. Usul al-Hadis
‘Ulumuhu wa Mustalahuhu. Beirut: Dar al-Fikr. Hal. 301-302
[7] Al-Darimi, Sunan
al-Darimi, I hal. 126
[8] Al-Asqalani, Fathu al-Bâri, I hal. 194-195; 208; Abu Zahw, al-Hadîts
wa al-Muhadditsîn, hal. 127
[9] Al-Baghdadi, Taqyid
al-'Ilm, hal. 5; al-Qurtubi, Jâmi' Bayan al-'Ilm, I hal. 76
[10] Lihat Sir
William Muir, Life of Mahomet, London, 1894, hal. Xxx-xxxi, London, 1894
[11] Lihat Ignaz Goldziher, Muhammadanische Studien, hal.
241-250; lihat Subhi Shaleh, 'Ulûmu al-Hadîts, hal. 34
[12] Lihat MM.
Azami, Hadits Nabawî, hal. 108
[13] Lihat
Ja'fariyan, Tadwin., vol. VI, no. 1
[14] Muhammad Musthafa al-'Adzami meraih gelar doktor di Cambridge
University dengan judul disertasi Studies in Early Hadith Literature, yang
kemudian disertasinya diterbitkan di Indiana Polish, Amerika pada tahun 1978.
Pada tahun 1980 diterjemahkan kedalam bahasa Arab dengan judul Dirâsat fî
al-Hadîts al-Nabawi wa al-Tarîkh Tadwînih
[15] Lihat MM.
Azami, Ulumul Hadis dan Sejarah Kodifikasinya, hal. 110
[16] Al-Asqalani, Fath
al-Bâri, I hal. 208
[17] Lihat MM. Azami, Metodologi Kritik Hadis, hal. 55-56 dan Hadis
Nabawi., hal. 155. Nabi Abbott dan M.M Azami memaparkan secara detail
tentang bukti konkrit tradisi penulisan hadis pada masa awal Islam. Namun
bukti-bukti yang diajukan keduanya dibantah oleh Juynboll. Menurut Juynboll
manuskrip-manuskrip yang dimaksud tidak realistik (unearthed) dan hanya
bersifat dugaan sebagai teks-teks kuno yang gampang dipalsukan pada generasi
berikutnya. Bukti yang ditunjukan Azami dan Abbott dianggap lemah ditinjau dari
aspek filologi. Lihat M.M. Azami, Hadis nabi dan Sejarah Kodifikasinya,
terjemah Mustafa Ya'kub (Jakarta: Pustaka Firdaus, thn 1994) hal. 132-134 dan
G.H.A. Juynboll, Muslim Tradition Studies in Chronologi, Provenance and
Authorship of early Hadith (Cambridge: Cambridge University Press, thn
1967), hal. 6-32
[18] Lihat MM. Azami, Hadis Nabawi., hal. 155-156. Lihat pula
al-Khaththabi, Ma'alim al-Sunan, IV hal. 184. Alasan tidak menulis hadis
karena Kekhawatiran bercampur dengan al-Qur'an merupakan alasan yang tidak
rasional, banyak dibantah dengan asumsi yaitu: Pertama, ditinjau dari aspek
bahasa al-Qur'an para shahabat yang kental dengan nuansa sya'ir sangat mudah
membedakan bahasa wahyu dengan sabda Nabi saw.; Kedua, selama Nabi saw hidup
berdampingan dengan shahabatnya, kesalahan dapat dilacak dan diperbaiki
langsung; Ketiga, terdapat banyak saksi di antara shahabat yang mayoritas
penghafal al-Qur'an; Kempat, Implikasi negatifnya ketika hadis dibiarkan
berserakan dari mulut ke mulut tanpa tulisan, karena situasi itu memudahkan
orang lain untuk memalsukan hadis dikemudian hari dibandingkan dengan pemalsuan
al-Qur'an. Lain halnya jika alasan pelarangan itu karena skala prioritas.
Artinya memprioritaskan penulisan dan perhatian umat Islam (shahabat) kepada
al-Qur'an ketimbang sabda Nabi saw. maka pelarangan itu bersifat sementara atau
sama sekali ditolak.
[19] Makki al-Syami, al-Sunnah al-Nabawiyah wa Math'inu
al-Mubtadi'ah fiha, (Amman, Dâr 'Imâr, thn. 1999), hal. 49
[20] Ibnu Hajar,
al-Asqalani, Fathu al-Bari, juz I, (Mesir, Matha,ah al-Halabi tth.) hal.
174
[21] Muhammad Zuhri, Hadis Nabi (Tela'ah Histori dan Metodologi), (Yogyakarta.
PT Tiara Wacana, thn. 1997) hal. 58
[22] Lihat Mustafa al-Siba'i, al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyri'
al-Islâmi (Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam), penerjemah,
Nurchalish Madjid cet. I, (Jakarta, Pustaka Firdaus, thn. 1991) hal. 75
[23] Lihat Muhammad Mubarak al-Sayyid, Manhaj al-Muhadditsîn,
cet. Ke II, (Kairo, tp. 1988) hal. 32; Muhammad Luqman al-Salafî, Ihtimâm
al-Muhadditsîn bi Naqdi al-Hadîts, hal. 59-61; Mustafa al-Siba'i, al-Sunnah
wa Makânatuhâ fî al-Tasyri' al-Islâmi. Sunnah dan Peranannya dalam
Penetapan Hukum Islam, penerjemah, Nurchalish Madjid cet. I, (Jakarta, Pustaka
Firdaus, thn. 1991) hal. 76
[24] Muhammad
Mubarak al-Sayid, Manhaj al-Muhadditsîn, hal. 69
[25] Hasyim Ma'ruf
al-Husainî, Dirasah fil-Hadîts, hal. 118
[26] Muhammad Nashiruddin al-Albani, al-Raudh al-Dânî fî al-Fawaid
al-Hadîtsiyah, cet I, (Amman, al-Maktabah al-Islamiyah, thn. 1422 H), hal.
72
[27] Mahmud al-Thahan, Ushûl al-Takhrîj wa Dirâsatu al-Asânîd,
(Beirut, Dârul al-Qur'an al-Karîm, thn. 1979) hal. 45. lihat Mustafa al-Siba'I,
al-Sunnah wa Makânatuhâ fî al-Tasyri' al-Islâmi. Sunnah dan Peranannya
dalam Penetapan Hukum Islam, penerjemah, Nurchalish Madjid cet. I, (Jakarta,
Pustaka Firdaus, thn. 1991) hal. 77
[28] Lihat Ibnu Shalah, Muqaddimah Ibnu Shalah, (Beirut, Darul
al-Kutub al-Ilmiyah, 1398 H.) hal. 1346
[29] Al-Khatib al-Baghadadi, al-Kifâyah fî al-'Ilmi al-Dirâyah,
(Haydarabat: Dâirah al-Ma'ârif al-Islamiyah, thn. 1313 H.) hal. 50
[30] Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishabah fî Tamyiz al-Shahabah,
(Beirut, Dar al-Fikr, 1978) jld. I hal. 10
[31] Utsman bin Umar bin al-Hajib, Mukhtashâr al-Muntahâ al-Ushûlî,
jilid 2, cet. II, (Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyah thn. 1403 H), hal. 76;
Al-Amidî, Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm, jilid 2, cet. II, (Beirut :
Al-Maktab al-Islamiyah, thn. 1402 H), hal. 160
[32] Lihat Muhibullah bin Abdul Syakur, Musallam al-Tsubût fî Ushûl
al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1983) jilid II hal. 120
[33] Abu Ya'lâ Muhammad bin Husain al-Hanbalî, al-Uddatu fî Ushûl
al-Fiqh, jilid 3, cet. II, (ttp. Thn. 1410 H), hal. 988
[34] Abu al-Qasim al-Husainî bin Muhammad al-Raghib Al-Isfahani, Al-Mufradât
fî gharîb al-Qur'ân (Mesir: Musthafa al-Babî al-Halabî wa awladuh,
th. 1382 H= 1961 M), hal. 275
[35] Al-Asqalânî, Kitab al-Ishâbah, jilid I hal. 10 dan Nur
al-Din 'Itr, Manhaj al-Naqd fî 'Ulûm al-Hadîts hal. 123
[36] Al-Asqalânî, Al-Isti'âb
fî Asmâi al-Ashhâb, juz I, hal. 2
[37] Lihat
'Izzuddin al-Jazari, Usdul-Ghâbah, Juz 2, hal. 3
[38] Al-Asqalânî,
Al-Ishâbah, juz I, hal 17
[39] Al-Amidî, Al-Ihkâm
fî Ushûl al-Ahkâm, juz I hal. 274
[40] Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, Difa' an al-Sunnah (Maktabah
al-Sunnah, Kairo cet. I, Jumadil akhir 1408) 1989 M) hal. 92
[41] Ahmad
Mushthafa al-Maraghi, Tafsîr al-Marâghi, (Beirut, Dar al-Fikr, tth. )
jilid II, hal 4
[42] Nuruddin Itr, Manhaj Maqd fî 'Ulûm al-Hadîts, cet. Ke III
(Dimasyq, Dar al-Fikr, thn. 1997 M=1418 H.) hal. 121
[43] Wahbah Zuhaili, al-Tafsîr al-Munîr fi al-aqîdah, wa al-Syari'ah,
wa al-Manhaj, cet. I (Beirut, Darul Fikr, thn. 1411 H=1991 M) jilid 4 hal.
44
[44] Ibnu Said al-Thufi, Syarh Mukhtashar al-Raudhah, cet. I,
(Beirut, Muassasah al-Risalah, tah. 1410 H.) jilid II, hal. 181
[45] Lihat Ibnu
Katsir, Juz IV hal. 186-188, 190191, 194-200; AL-Qurthubî, Juz XVI, hal.
274-278
[46] Lihat Wahbah Zuhaili, al-Tafsir al-Munîr fi al-aqidah, wa
al-Syari'ah, wa al-Manhaj, cet. I (Beirut, Darul Fikr, thn. 1411 H=1991 M)
jilid 26 hal. 210
[47] Lihat Wahbah
Zuhaili, al-Tafsir al-Munîr …jilid 26 hal. 210-211
[48] Di antara ayat-ayat lain yang menjadi pijakan oleh ulama sunnî yaitu
QS al-Taubah (9) ayat 100; QS al-Hasyr (59) ayat 8; QS al-Anfal (8) ayat 74.
Lihat Abdul Aziz bin Abdurahman al-Said, Ibnu Qudamah wa Atsaruhu
al-Ushuliyah, cet. IV (Riyadh, Uni. Ibnu Sa'ud, 1408 H.) hal. 199
[49] Subhi Shalih, 'Ulûm
al-Hadîts wa Mushthalahuh, hal. 396-397
[50] Ibnu Hajar al-Asqalani, Tahdzîb al-Tahdzîb, juz 9 no. 53,
hal 41-42, dan Imam al-Suyuthi, Thabaqât al-Huffâdz, juz I, no. 560,
hal. 252-253
[51] al-Hasanî, Dirâsât fî al-Hadîts wa al-Muhadditsîn, hal. 123
dan Hadyu Tsâri. Berdasarkan penelitian Muhammad Fuâd 'Abd al-Bâqi
–seorang ahli hadis muta'akhir- dari sunnî bahwa jumlah seluruh
hadis dalam shahih Bukhari adalah 9082 hadis (termasuk hadis yang berulang-ulang,
muallaq yang hanya disebutkan sebagian periwayatnya, hadis mauquf dan
maqthu'). Setelah dikurangi hadis muallaq, mauquf dan maqthu'
tinggal 7563 hadis. Bila dikurangi lagi dengan hadis yang berulang-ulang
tinggal 2607 hadis. Lihat 'Ajjaj al-Khathib, Ushul., hal. 312 pada
catatan kaki. Muhammad Mustafa al-Bagha dalam al-Tajrîd al-Sharîh yang
merupakan Mukhtashar Shahih al-Bukhâri, setelah mengabaikan hadis-hadis
yang tidak muttashil, tidak marfu' dan tidak berkaitan dengan
hadis Nabi saw. maka hanya menghimpun 2134 hadis.
[52] al-Hasanî, Dirâsât fî al-Hadîts wa al-Muhadditsîn, hal.
124; Dhuhâ al-Islam juz III, hal 111-112; Ibnu Katsir, al-Bâits
al-Hatsîts, hal. 25 dan Muqaddimah Fathu al-Bâri, juz III, hal.
248-249
[53] Ajjaj al-Khatib, Ushul., hal. 449; al-Hamsy, Ruwât
al-Hadîts, hal. 31. Qutaibah bin Said berkata, Aku telah berjumpa ahli
hadis, ahli ra'yu, ahli fikih, ahli ibadah dan orang zuhud, namun saya
belum pernah bertemu yang seperti Muhammad bin Ismail, Ibnu khuzaimah
berkomentar bahwa di kolong langit ini tidak ada ahli hadis yang melebihi
Muhammad bin Ismail, Abu Hatim al-Razi berkata; Khurasan belum pernah
melahirkan seorang yang melebihi Bukhari dan di Irakpun tidak ada yang
menandinginya. Lihat Abu Syhbah, Fî al-Rihab al-Sunnah al-kutub al-Shihahi
al-Sittah terjemahan Ahmad Usman, (Surabaya, Pustaka Progressif, thn. ),
hal. 43 dan Abu Ja'far berkata; "Seandainya aku mampu menambah usia
Muhammad bin Ismail dari umurku, pasti kulakukan karena kematianku hanya
merupakan kematian seorang sementara kematiannya adalah kematian ilmu".
Lihat al-Zahabî, Syi'ar 'Alâm al-Nubalâ jilid 12 (Beirut, Muassasah
al-Risalah cet. 7 thn. 1990) hal. 418
[54] Di antara pujian kitab Shahih Bukhari misalnya Al-Zahabî berkata; Jami'u
al-Bukhari al-Shahih kitab yang agung dan yang afdhal setelah Al-Qur'an.
Lihat Abil 'Abbas Syihabuddin Ahmad bin Muhammad al-Qasthalanî, Irsyad
al-Sari ilâ Shahih al-Bukhari, jilid I, (Bairut, Darul Fikr tth.) hal. 29
dan Muhammad Najmi, Ta'ammulât fî al-Shahihain, (Beirut, Darul Ulum thn.
1408/1988 M), hal. 71
[55] Dia seorang orientalis dari Hungaria yang mengeritik hadis jalur
al-Zuhri yaitu "Tidak diperintahkan bersafar kecuali tiga masjid
yaituMasjid Haram diMakkah, Masjid al-Nabawi di Madinah dan Masjid al-Aqsha di
Palestina". Menurutnya hadis ini palsu bermuatan politik. Munculnya hadis
ini diawali rasa khawatiran oleh Abdul Malik bin Marwah di Damaskus. Ia merasa
khawatir kepada Abdullah bin Zubair di Makkah yang mengambil baiat kepada
orang-orang Syam yang menunaikan haji. Untuk mengantisipasi hal tersebut, Abdul
Malik mengalihkan orang Syam supaya tidak haji ke Makkah tetapi cukup ke Kubbah
al-Shakhr6a di palestina. Dari fenomena tersebut, ia mengintruksikan al-Zuhri
membuat hadis seperti tersebut di atas dengan sanad yang bersambung
kepada Nabi saw. Lihat MM. Azami, Studies in Early Hadith Literature,
hal.127-131. Bucaille mengkritis beberapa hadis yang dianggapnya tidak autentik
karena bertolak belakang dengan sains di antarnya hadis tentang lalat yang
jatuh di dalam gelas yang ada airnya, demam dari api neraka dan perkembangan
Emberio. Lihat Bible Qur'an dan Sains Modern dan Ali Musatafa Ya'qub, Imam
Bukhari danMetodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, cet. III, (Jakarta, Pustaka
Firdaus, than 1996M) hal. 36
[56] Lihat Ignaz Goldziher, Muslim Studien, jilid II (London :
George Allen & Unwin, 1971), hal. 382
[57] Di antara hadis yang dikritiknya yaitu hadis yang mengatakan bahwa
100 tahun akan datang tidak ada orang yang hidup di muka bumi. Lihat Mustafa
Ya'qub, hal. 36
[58] Bagi yang ingin menelaahnya lebih intensif, lihat Al-Hafidzh
Jamaluddin Yusuf bin Abdi al-Hadi al-Hanbalî –ia lebih dikenal dengan Ibnu
al-Mubarrad -, Dalam kitab al-Ikhtilâf bayna ruwâti al-Bukhâri, ia
menginformasikan 'ilal beberapa periwayat Bukhari di antaranya Abu Ali
yaitu Said bin Usman bin al-Sakan, Abu Muhammad yaitu Abdullah bin Ahmad
al-Hamuwaî, Abu Ishak yaitu Ibrahim bin Ahmad al-Mustamilî. 'Ilal tersebut
umum terjadi pada jalur periwayatan Abi Ishak Ibrahim bin Ma'qil bin al-Hujjaj
al-Nasafî. Lihat hal. 17-18
[59] Bagi yang ingin menelaah lebih serius, lihat Abu Hasan Ali bin
Umar bin Ahmad bin Mahdi al-Daraquthnî (306-385 H), al-Iltizâmât wa
al-Tatabbu', (Beirut, Darul Kutub al-Ilmiyah thn. 1405 H/1985 M
[60] Kritikan lainnya kepada Imam Bukhari karena ia tidak meriwayatkan
hadis dari al-Kazhim, al-Ridha, al-Jawad al-Hadi dan Hasan al-Askari (imam ini
hidup sezaman dengan Bukhari) dan ahlu bait lainnya. Sementara Bukhari
berhujjah dengan riwayat tokoh kaum Khawarij yang sangat benci kepada ahlul
Bait yaitu 'Imran bin Haththan penyanjung Abdurahman bin Muljam pembunuh Ali
bin Abi Thalib. Lihat al-Fushûl al-Muhimmah fî Ta'lîf al-Ummah,
Tarjamah, Isu-isu Penting Ikhtilaf Sunnah Syi'ah, hal. 198
Tidak ada komentar:
Posting Komentar