Pages - Menu

Senin, 22 Februari 2016

I - Review (Classical logic in Islamic philosophy Creating dichotomy or catalyst - By SAFIA AOUDE)



CLASSICAL LOGIC IN ISLAMIC PHILOSOPHY
Creating dichotomy or catalyst?
By Safia Aoude


 
Bayu Kusferiyanto. Senin, 29 Desember 2014


I.         PENDAHULUAN
Kegiatan berfikir muncul berbarengan dengan adanya manusia pertama. Manusia diberi potensi berfikir untuk memikirkan dirinya dan segala sesuatu yang berada di luar dirinya. Namun, mengenai berfikir sistematis (dalam pengertian secara Mantiq), para penulis ilmu Mantiq mengatakan bahwa secara konsepsional dan sistematis kegiatan berfikir yang kemudian melahirkan tata cara berfikir yang dituangkan dalam suatu disiplin ilmu itu disebut Mantiq.
Dalam Islam, secara umum dapat dilihat dua perspektif berseberangan. Pertama adalah dengan menggunakan metodologi logika Aristoteles klasik untuk menguraikan konsep Islam metafisik, sementara yang lain mengklaim logika Aristoteles telah merusak dasar-dasar akidah Islam dengan keterbatasan semantik. Walaupun demikian, tak dapat disangkal bahwa logika klasik Yunani memang memainkan peran penting dalam pengembangan ide-ide filosofis antara filosof Muslim, namun tampaknya ada perbedaan dalam pendekatan dikotomis dan tidaknya.
Tulisan untuk melihat ke dalam pandangan beberapa pemikir terkenal dalam filsafat Islam, penggalian pendapat spesifik mereka terhadap logika klasik Aristoteles. Apa pandangan menganai logika Aristotelian dalam pengembangan ide-ide mereka sendiri?. Untuk itu, berikut ulasannya!

II.      PEMBAHASAN DAN ANALISIS
A.      Pembahasan
Mantiq ('ilm al-Kalam) dalam bahasa Arab berarti "pengetahuan tentang berbicara". Tradisi Kalam dalam Islam didasarkan pada mencari dasar pikiran teologis melalui perdebatan dan argumentasi di bawah diskusi "rasional". Singkatnya, Ilm al-Kalam adalah Islam dipahami bukan hanya dalam kerangka al-Qur'an, atau Sunnah, atau pendapat dari tiga generasi pertama Muslim (abad ke-7), tetapi juga melalui penalaran dari para ulama. 'ilm al-Kalam adalah cikal bakal kemudian bergaya metodologi argumentatif, yang disebut Mantiq - alat penalaran Islam.
Perkembangan Mantiq dalam Islam klasik awalnya dimulai dengan etika Islam dalam berbeda pendapat (al-ikhtilâf) antara ulama syariah Islam. Pada masa khalifah Abbasiyah, cendekiawan Muslim mengadakan perdebatan rutin antara satu sama lain dan atau dengan non-Muslim untuk mempertajam kecerdasan mereka melalui keterampilan retorika, dan untuk memperjelas masalah iman dan hukum.
Namun, pada abad ke-8 Mantiq dianggap menjadi bagian dari ilmu-ilmu asing, terutama digunakan untuk memahami bahasa. Karena bahasa Arab berbeda dalam sintaks dan tata bahasa dari bahasa Yunani, banyak sarjana Arab Muslim tradisional menolak untuk menerima Mantiq sebagai sesuatu yang bernilai untuk pengembangan filsafat Islam.
Pengenalan Logika dalam Filsafat Islam (al-Kindi)
Filsuf Muslim Ya'qub bin Ishaq al-Kindi (830 M) digambarkan sebagai akademis Muslim pertama yang menerjemahkan sebagian besar dari Organon ke dalam bahasa Arab, menambahkan komentar kepada teks asli. Dia menganalisis bagian dari Organon menjadi konteks Islam, mencoba untuk menggunakan metodologi klasik dan filsafat (berdasarkan ide-ide Aristoteles dan Plato) dalam menjawab pertanyaan persoalan agama. Ide-ide dan karya al-Kindi telah menyiapkan benih filosofis bagi banyak wacana intelektual nanti, antara filosof dan cendekiawan Muslim.
Membela Aristoteles (Al-Farabi)
Pada abad ke-9 sarjana Muslim Abbasiyah, Abu Nasr al-Farabi (872-950 M) menerjemahan sendiri Organon (dan karya Aristoteles lainnya), menambahkan komentar sendiri dan menulis risalah sendiri, terutama tentang masalah silogisme. Ia juga menerjemahkan dan mengomentari gangguan analogis logika Stoic. Bahkan, al-Farabi diketahui telah mengembangkan definisi independen silogisme berdasarkan pengalaman manusia. Dengan cara itu al-Farabi memperkuat esensi qiyas (analogi) dalam syariah Islam.
Al-Farabi menolak gagasan Islam klasik bahwa Mantiq hanya berguna untuk analisis tata bahasa asing, ia menegaskan bahwa aturan logika berlaku universal untuk semua bahasa manusia, dan bukan hanya untuk tata bahasa - bahkan "bahasa batin", yaitu metafisika. Pemikiran al-Farabi dan pengaruhnya terhadap perkembangan logika dalam filsafat Islam begitu tepat, ia dijuluki "Guru Kedua", mengacu pada kebiasaan Arab menyebut Aristoteles "Guru Pertama".
Menerima Logika sebagai Bagian Konseptualisasi Islam (Ibn Sina)
Filosof Al-Husain bin Abdullah Ibnu Sina (980-1037 M) juga menerjemahkan dan mengomentari Aristoteles. Ibnu Sina menjelaskan tujuan logika sebagai salah satu yang memungkinkan seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang tidak diketahui sebelumnya. Kontribusi terbesar Ibn Sina dalam sejarah logika mungkin adalah presentasinya dalam mengembangkan sistem baru logika, yang benar-benar mengganti penggunaan logika Aristotelan dalam filsafat abad pertengahan. Seperti al-Farabi, ia membela kebutuhan untuk logika dengan menyatakan bahwa kapasitas bawaan penalaran tidak cukup untuk menjamin tercapainya tujuan, dan dengan demikian dibutuhkan bantuan dari sebuah seni, yang itu disebut logika.
Kausalitas (sebab-akibat) Logis Api dan Kapas (al-Ghazali)
Filosof dan ulama Muslim, Muhammad Ibnu Ghazali (1058-1111 M) memiliki karya yang terkenal dalam logika Islam, yaitu Tahafut al-Falasifah. Tahafut al-Falasifah adalah ringkasan asli ajaran filsafat Ibnu Sina, dimana Ghazali menunjukkan 17 kesalahan logis, di beberapa titik bahkan menuduh Ibnu Sina bid'ah.
Al-Ghazali ingin metodologi logika sepenuhnya terpisah dari filsafat Yunani, menggunakan logika dan rasionalisme sebagai alat argumentatif untuk mempertahankan nilai-nilai dan ajaran Islam. Logika tidak menjadi bagian dari filsafat Islam, tetapi hanya alat untuk mengekstraksi pengetahuan tersembunyi yang berguna. Sebagai contoh ini, Al-Ghazali menulis bahwa "ketika kebakaran dan kapas ditempatkan dalam kontak, kapas dibakar langsung oleh Tuhan bukan oleh api", dengan argumentasi bahwa api itu mati, tidak menyebabkan kapas untuk membakar karena alasan atau keinginan. Dalam Tahafut al-Falasifah, Ghazali membuat referensi yang jelas untuk argumen kosmologis Yunani klasik - "Sebab Pertama" atau "Pertama Menjadi" - yang sangat diperdebatkan oleh Aristoteles dan Plato.
Kembali ke Yunani (Ibnu Rusyd)
Muhammad Ibn Rusyd (1126-1198 M) berkomentar intensif pada karya-karya Aristoteles, pendekatan filosofis terhadap logika adalah bahwa logika adalah alat penting untuk penemuan kebenaran, bersama wahyu Ilahi dan hadits Nabi SAW. Karena individu yang berbeda memiliki berbagai tingkat pemahaman, Allah SWT berbicara kepada manusia melalui tiga jenis wacana: dialektika (al-aqawil al-jadaliyya); retorika (al-aqawil al-khitabiyya) dan silogisme demonstratif (al-aqawil al-burhanniyah). Ibn Rusyd juga menganjurkan logika sebagai prasyarat untuk interpretasi wahyu Islam dan hadits Nabi SAW.
Melawan al-Tahafut al-Falasifah al-Ghazali, Ibnu Rusyd menulis Tahafut al-Tahafut, menunjukkan kesalahan al-Ghazali secara harfiah. Menurutnya penerapan logika klasik menjadi konteks sah secara hukum Islam. Karya Ibnu Rushd yang lebih penting mungkin Kitab al-Kashf -kritik filosofis pada sistem Asy'ariyah dari Mantiq, mengusulkan keras (atau lebih kostentative) penerapan logika Aristoteles dalam wacana Islam.
Mengakui Ibnu Sina (al-Razi, al-Tusi)
Filosof Muslim Nasir al-Tusi (1201-1274 M) membela Ibnu Sina dari kesalahan-kesalahan Aristotelian. Demikian juga, cendekiawan Muslim Fakhr ad-Din al-Razi (1150-1210 M) mendukung kritik Ibnu Sina dari "angka pertama" Aristoteles, Ibn Sina merumuskan sistem logika Islam induktif, bayangan modern sistem penalaran induktif dikembangkan oleh John Stuart Mill (1806-1873 M). Menurut Wael B. Hallaq, ar-Razi juga menerapkan logika induktif untuk Syariat Islam dan Fiqh.
Bantahan Mantiq dalam Filsafat Islam (Ibn Taimiyyah)
Menurut cendekiawan dan filosof Muslim, Taqi al-Din Ibn Taimiyyah (1263-1328 M) logika telah merusak manusia dalam usahanya untuk Tuhan ini rida (penerimaan), sehingga kesimpulan metafisis sering sesat dicapai oleh para filosof Islam, teolog, mistikus, dan lain-lain. Dalam rangka untuk membersihkan filsafat Islam dari kesalahan ini, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa seseorang harus kembali ke posisi yang diambil oleh para ulama Muslim awal -seperti imam Syafi'i-, meninggalkan pikiran yang dibentuk atas dasar mendukung penalaran.
Dalam karya kritisnya pada logika, Jahd al-Qâriha fi tajrid al-Naîiha, Ibnu Taimiyah menentang kepastian argumen silogisme, ia lebih memilih doktrin Islam analogi (qiyas), bukan silogisme. Argumennya adalah bahwa kesimpulan yang diambil tidak sepenuhnya benar tapi hanya kemungkinan. Dengan demikian, silogisme berdasarkan konsep tersebut tidak lebih pasti daripada argumen berdasarkan analogi. Ia bahkan mengklaim bahwa induksi ilmiah itu sendiri didirikan pada proses analogi. Menurutnya kesalahan logis silogisme membuktikan ketidakmampuan logika sebagai instrumen penalaran yang benar. Kritik Ibnu Taymîya terhadap logika klasik (Yunani) dan gagasan bahwa analogi bisa lebih valid dari silogisme, telah mengambil jalan filosofis yang sangat berbeda dalam filsafat Islam.
Kebangkitan Mantiq dalam Filsafat Islam Modern
Setelah 500 tahun wacana filosofis Mantiq Islam akhirnya diterima sebagai bagian dari ilmu pengetahuan Islam di abad ke-12, dan Mantiq diajarkan secara luas di Madrasah (sekolah Islam), khususnya kepada mahasiswa sekolah hukum Shafa'i dan Hanafi; menggabungkan Mantiq sebagai bagian terpadu dari kurikulum Islam.
Namun, pada abad ke-14 kita melihat filosof Islam, seperti Ibnu Khaldun, membela gagasan bahwa logika tidak dapat mendefinisikan kepercayaan agama seperti tauhid (keesaan Tuhan), karakter Ilahi, kebenaran nubuat dan akhirat (al-Qiyamah). Wacana pada logika dan penerapannya dalam filsafat Islam tampaknya semakin memudar.
Sesuai dengan tradisi Muslim Arab, keunggulan Mantiq dipuji bahkan melalui puisi. Pada awal abad ke-16, sarjana Muslim Abd ar-Rahman al-Akhdari menulis puisi terkenal As-Sullam al-Munawraq Fi Ilm al-Mantiq, yang menjelaskan dasar-dasar logika Aristoteles untuk mendukung keyakinan Islam (aqidah) dan hukum (fiqh) dalam 144 ayat yang ditulis indah.
Saat ini beberapa filosof Islam modern atau kontemporer telah memilih untuk menganggap ilmu logika sebagai penengah antara pengetahuan tradisional Islam dan ilmu fisika modern, sedangkan menurut Islam fundamentalis, sebagian besar digunakan dalam kaitannya dengan hukum dan jarang sebagai alat untuk refleksi filosofis.

B.       Analisis
Logika Islam terinspirasi terutama oleh korpus logis Aristoteles, Organon (yang menurut taksonomi Yunani akhir juga termasuk Retorika dan Poetics). Untuk para filosof Islam, logika mencakup tidak hanya studi mengenai pola-pola formal dan validitas kesimpulan mereka tetapi juga unsur-unsur filsafat bahasa dan bahkan epistemologi dan metafisika. Di bidang analisis logis formal, mereka dielaborasi teori istilah, proposisi dan silogisme sebagaimana yang dirumuskan dalam Kategori Aristoteles. Dalam semangat Aristoteles, mereka menganggap silogisme sebagai bentuk yang semua argumentasi rasional dapat dikurangi, dan mereka menganggap teori silogisme sebagai titik fokus logika.
Ilmu Mantiq Aristoteles dapat diterima dan berkembang di dunia pemikiran islam disebabkan oleh beberapa faktor berikut. Pertama, Islam mengajarkan prinsip persamaan drajat antara pemeluk islam bangsa Arab dan non-Arab, berbeda dengan agama non-Islam yang kerap kali memandang rendah masyarakat jajahannya. Kedua, Adanya prinsip kebebasan berfikir bagi setiap individu muslim. Ketiga, Adanya sikap terbuka untuk mempelajari ilmu pengetahuan peninggalan karya pemikir Yunani sebagai bagian dari objek kajian ilmiah.
Al-Farabi adalah tokoh Logika muslim pertama yang mengembangkan logika non-Aristoteles. Dia mendiskusikan topik-topik seperti kontingensi masa depan, angka-angka, hubungan antar klasifikasi, hubungan antara logika dengan tata bahasa, bentuk definisi (inference) non-Aristoteles. Dia juga dianggap sebagai yang mencetuskan pembagian Logika menjadi 2 bagian yang berbeda yaitu ide dan bukti.
Al-Ghazali meyatakan bahwa teologi retoris sangat kering bila hanya berkutat pada logika tanpa adanya rasa demonsratif. Ilmu Mantiq dalam pandagan Al-Ghzali terbagi menjadi dua, pertama: Mantiq Aristoteles yang mencakup segala ilmu pengetahuan kecuali teologis. Kedua: Mantiq Kasyfi yang hanya mencakup masalah ketuhanan. Pandagan yang diusung oleh Al-Ghazali bukan hanya secara harfiahnya (yaitu; pembicaraan), melainkan dalam pembicaraan yang bernalar dan menggunakan logika.
Dalam dunia Islam pun mencoba memberi visi etis dan metodelogis dari ilmu-ilmu pengetahuan sesuai dengan pesan sentralnya yang termaktub dalam kitab suci Al-qur’an. Dan posisi logika - sebagai yang diakui oleh kalangan ummat islam, telah dirumuskan oleh pemikir-pemikir di dalam ilmu-ilmu Islam.
Pandangan Al-Ghazali tentang ilmu logika menjadi titik tengah di antara pandangan Ulama’-ulama’ yang lain dan juga menjadi solusi dalam menentukan kebenaran pendapat yang sesuai degan penalaran logika yang rasionalis dan demokratis. Maka ciri khas Ilmu Kalam adalah rasionalitas atau Logika.
Akhirnya, menjelang zaman kemunduran Islam, timbullah kritikan-kritikan pedas yang diarahkan kepada orang yang menjadikan logika sebagai penyebab lahirnya faham-faham Zindiq dan Atheis karena terlalu memuja-muja akal di dalam menentukan sebuah kebenaran. Lalu muncullah beberapa fatwa yang mengharamkan belajar ilmu logika, seperti fatwa dari Ibnu Shalah, An-Nawawi, Ibnu Taimiyah, dsb.
Dan pada akhirnya pengaruh fatwa tersebut sangat kuat sekali dikalangan masyarakat sehingga kegiatan dan perkembangan berfikir didunia Islam mengalami keterbelakangan dan kebekuan (jumud). Sehingga dunia barat menyambutnya dengan keriangan dan rasa gembira, dan pada akhirnya lahirlah zaman kebangunan (renaissance) di eropa. Menjelang penghujung abad ke-19, bangkitlah gerakan pembaharuan (reformer) dunia Islam yang diprakarsai oleh Jamaluddin al-Afghani dan Mohammad Abduh serta Rasyid Ridla. Sejalan dengan perhatian penuh yang muncul di Negara Mesir, dan Negara tajdid ini menyebar ke seluruh dunia Islam termasuk ke Indonesia.
Dengan warna-warni perjalanan sejarah perkembangan ilmu logika di dalam dunia Islam, pada akhirnya ilmu logika tersebut bisa berkembang dengan pesat khususnya di dalam dunia Islam.

III.   PENUTUP
Logika merupkan ilmu hasil ijtihad atau kreasi manusia yang tentu saja dimaksudkan sebagai alat untuk berinteraksi dan berkomonikasi dengan orang lain, secara lebih efektif dan produktif. Dan yang perlu kita ingat bahwa keberadaan ilmu logika dalam kehidupan manusia harus tetap dalam koridor dan perspektif Islam.
Terlihat filosof Muslim sangat bergantung pada penggunaan logika Yunani klasik untuk kedua dukungan dan membantah ide-ide dan argumen mereka. Beberapa telah memeluk metodologi logika klasik dalam bentuk paling murni (Ibnu Rusyd), yang lain telah mencoba untuk beradaptasi manfaat logika dalam filsafat Islam (al-Ghazali), sementara yang lain telah menolak gagasan logika sah bagian dari konsep Islam (Ibn Taimiyah).
Namun, dari wacana agama dan intelektual yang panjang, yaitu sekitar 1400 tahun dalam logika Aristotelian, metodologi khas penalaran Islam telah muncul (Mantiq), yang sekarang dianggap kurikulum di sekolah-sekolah Islam, dan disajikan ke dunia luar sebagai sesuatu yang khas Islam. Wallaahu A’lam Bis-shawab.






*****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar